Laman

Sabtu, 31 Agustus 2013

#6 Ja Sagender



Sore ini sesak. Napasku tersengal dan mataku berkunang melihat orang-orang berlalu-lalang. Tiba-tiba aku merasa ingin sendiri, tapi dimana? Namun, yang ganjil adalah ketika aku sedang ingin sendirian, tiba-tiba selintasan rasa bersalah pada hidup menguat hebat. Seharian ini kulewati tanpa bicara dengan orang yang kukenal dan menjadi merasa belum genab sebagai manusia. Dan semakin jauh jarakku dengan sesamaku, sesama manusia.

Aku ini orang macam apa?

Sebentar, biar kulengkapi lagi. Setelah tak bicara sepatah kata pun pada orang yang kukenal, aku masih merasa mampu menerjemahkan dan mendefinisikan hidup. Aku adalah salah satu penghardik teori-teori sosial yang sembrono dalam memotret  hidup, tapi tiba-tiba aku jadi orang yang berusaha menafsirkan sesuatu yang terlalu besar untuk kuterka. Meminjam istilah Nietzsche, ja sagender atau meng-iya-kan hidup?

Apa benar aku sedang meng-iya-kan hidup?

Dunia boleh salah terka, tapi kesempurnaan yang subjektif ada di dalam diri. Mencari kesempurnaan (tanpa menghardik dan justifikasi) dalam batin, ketika melihat sesuatu yang salah adalah barbar. Tapi, bukankah hidup berjalan dengan cara demikian? Kebijaksanaan ditulis, diyakini, lantas dilembagakan. Sungguh! Aku sungguh takut nihilism itu benar adanya. Aku takut ia hadir di depan mataku sebagai jam weker dan isyarat: dunia itu sah untuk dihancurkan; dikampak seperti patung berhala di tangan Ibrahim. Sebab, aku hanya ingin menjadi “taat”, yang berarti “tidak pergi kemana pun” sebab surga hanya ada di sekitaran kampung dan halaman rumahku, di sekitaran rutinitas dan ritus-ritus beragama.
Tiba-tiba kelapanganku menerima hidup lenyap tak berbekas. Perjalanan bertemu orang-orang seperti hilang tanpa sisa. Hanya ada ketakutan pada sesuatu yang tak jelas, absurd. Menyaksikan orang lewat, lalu makna-makna mengalir deras begitu saja. Dan mereka seperti tak peduli denganku. Apa ini yang mereka sebut kegigilan hidup? Inikah kegigilan yang membunuh banyak orang dengan jalan akhir paling sadis: tali jemuran.
Tapi, aku menolak untuk mati. Diriku telah lama “mati”. Dan tidak ada kematian setelah mati. Yang ada hanya kembali memunguti sisa-sisa serta berkompromi untuk menyusun puzzle dan sebentuk kebijaksanaan absurd namun menghangatkan. Mungkin saja pacarku sedang kedinginan, atau anak-anakku kelak. Maka aku lah yang akan memeluk mereka.
Lalu bagaimana dengan “Tuhan”? Sesuatu yang being dan pernah kutemukan di punggung Arjuna setelah sekian lama tak mengakui tuhan. Tapi, bukankah 'ateis' adalah jalan menuju Islam yang sejati dalam konteks syahadat: meniadakan tuhan-tuhan palsu duniawi sebelum mengakui hanya ada satu tuhan (Allah). Apa hari ini dia tidak di sisiku---sekali pun logikaku meyakini Dia melingkupiku---dan Ia hanya (ada) pada rasa takut kesendirian?

Dan saya tidak mau meneruskan....

Surabaya, Agustus 2013



Sabtu, 10 Agustus 2013

#5 Big bos, begawan, kiyai sastra: ampuni saya

Ngawulo

Saya ini malu kalau harus menggurui bos besar sastra. Tapi, rasa sayang saya pada big bos melebihi cinta saya pada sastra; puisi; cerpen dan segala taik kucingnya. Karena saya yakin cinta saya pada big bos akan membuat sastra yang ‘sastra’; tidak palsu, seperti perkancutan sastra yang sering sampean bilang.
Saya ini ngawulo, patuh, setia pada sodara, pada persahabatan saya dengan big bos. Apalagi saya hanya anak bawang yang selalu gagal untuk tulus pada apa yang saya tulis dan tidak sesuci tujuan big bog di dunia sastra. Terlebih lagi saya bukan pertapa dalam urusan sastra. Big bos sudah malang melintang di dunia sastra jauh ketika saya masih getol main play station perang-perangan.
Jujur saja, saya ini masih bandit. Kalau meminjam istilah Si Tahu, saya ini ‘pengusaha’ (semua-semua diusahakan), termasuk dalam menulis. Saya masih terlalu dungu untuk menahan hasrat ngopi, ngudut, dolan, yang mana semuanya itu butuh uang. Ini terang-terangan saja, lho. Saya itu bisa saja menulis dengan hati datar sesuai keinginan koran agar dapat duit. Dan setelah dapat uang, larinya ndak ke sastra, ndak buat ongkos bikin komunitas seperti yang big bos lakukan.
Saya pernah dengar tentang Umbu, seorang begawan yang pernah jadi presiden Malioboro. Dia adalah guru yang pernah membesarkan orang-orang wow sekarang. Katakanlah Linus Suryadi dengan ‘pengakuan pariyem’, atau Cak Nun dengan sepak terjangnya di dunia sastra dan kemanusiaan. Tapi, kalau saya boleh memberikan nilai pada Umbu dan big bos, saya akan memberi nilai 9 pada big bos dan 5 pada Umbu. Alasannya simpel: lha, yang saya kenal big bos. Yang sering nraktir kopi dan saya miskinkan urusan rokok adalah big bos, bukan Umbu. Mungkin, Umbu tidak akan sebegitu dekat dengan murid-muridnya seperti big bos pada saya. Dan yang lebih ekstrim, mungkin murid-murid Umbu tidak ada yang se bandit saya: yang berani kurang ajar dan bicara sembarangan tanpa aturan pada gurunya. Tapi, justru di situlah kelebihan big bos: mampu menahan diri dengan barbarnya orang macam saya. Kurangnya rasa hormat saya mungkin karena saya masih terlalu liar dan belum siap dengan segunung beban dan tanggung jawab di dunia sastra seperti yang njenengan alami. Saya ini masih belepotan dan belum kuat menahan budrek belum ngopi dan ngudut seharian dan segala sesuatu yang fana. Sementara big bos telah melampaui itu semua. Bahkan big bos pun sangat tahan dihantam kritik, meski sekali waktu saya kerap menjumpai big bos merengut dan ngambek karena kritik orang yang tak sekaliber big bos.
Aduh, bos. Kejam nian dunia memperlakukan big bos sebagai seorang maestro. Kadang saya ndak tega dengan banyak keresahan big bos yang dihantam ngalor ngidul soal karya big bos. Tapi dengan berat hati saya katakan: begitulah cara dunia bekerja. Sekarang siapa saja berhak memaki dan numpang tenar dengan cara barbar: memaki. Saya pikir mereka tak tau berhadapan dengan siapa. Hidup mereka pasti tak dapat pencerahan dan ilham dalam urusan sastra. Salah satunya ya saya ini.
Sekali waktu, big bos ini perlu refresh sejenak biar tidak terlalu kaku urat lehernya menyikapi orang-orang awam tukang kritik yang keblinger dan tak tau diuntung. Sesekali  big bos perlu pergi ke mall untuk membeli jeans, makan siang di restoran cina untuk beli fu yung hai dan minum Tras (air minum berteknologi RO), serta pencuci mulutnya bandrek panas. Menjelang sore, big bos bisa mampir ke lapak buku bekas dan mencari-cari stensilan dan membacanya di cafe pinggir pantai sembari menikmati coklat panas. Menjelang malam, adalah yang paling ditunggu, yakni karaokean. Big bos bisa menyewa purel paling bahenol di karaokean. Dan semuanya saya yang urus, asalkan uangnya dari big bos. Ini semua tidak berlebihan. Tuhan pasti tahu kelelahan big bos ketika siang malam menjalani tanggung jawab moral untuk memperjuangkan dunia sastra  tanpa berharap imbalan apa-apa. Semuanya tulus ikhlas. Soal materi, menurut saya, adalah soal nomor 357 bagi begawan sastra sekaliber big bos. Jadi Tuhan akan welas asih pada titik nadir kesanggupan big bos dalam mengarungi perjuangan di dunia sastra.
Setahu saya yang awam ini, di dunia sastra, jumlah kritikus itu lebih banyak dari para penulisnya. Terusterang saya ndak setuju dengan istilah matinya tukang kritik. Siapa yang bilang kita sedang minim kritikus sastra? Karena ‘kritik’ adalah kritik. Berkualitas atau tidak, kritik tetap kritik. Bahkan kalau anjing rajin beli koran minggu dan baca rubrik sastranya, si anjing boleh men-jancuk karya-karya yang dimuat, terlepas berbobot atau tidak dasarnya. Asumsi bila kritik harus berangkat dari orang yang punya kapasitas adalah sebentuk upaya meremehkan kualitas kemanusiaan; tidak menghargai rasa-pirasa dari orang lain. Bukan berarti tukang beca tak boleh men-jancuk karya seorang penyair. Saya rasa penyempitan pengertian kritik inilah salah satu faktor yang membuat memble dunia sastra hari ini. Dan setahu saya yang kemeruh ini, tugas penyair adalah terus belajar, berkarya, dan berbenah diri. Merenunglah dan sesekali berbenah lalu kembali menulis lagi. Memusingkan dan terlalu repot membuat alibi serta serangan balasan pada orang yang mengkritik kita adalah perbuatan dekaden yang merugi.  
Bos, apa yang saya tulis di sini memang menjijikkan dan nampak begitu menjilat. Tapi, ini adalah penebusan dosa saya atas segala tindakan barbar saya sebagai murid; sebagai pemburu materi dari apa yang saya tulis. Terus terang saya sangat terpukul dengan sms yang berisi kata-kata Afrizal soal penulis puisi di koran akhir-akhir ini:
Ribuan puisi antri di belakang meja redaksi media cetak untuk dimuat, bukan sebagai penawaran kreatif, melainkan lebih sebagai ‘setoran karya’. Seakan-akan ada ketakutan bahwa mainstrem akan melupakannya kalau dalam batas waktu tertentu puisinya tidak dimuat di media massa cetak.
Tapi, jujur saja. Sms itu sangat menyinggung saya. Ironisnya, barbarnya saya dalam dunia tulis menulis tiba-tiba membuat saya merasa tidak pantas untuk marah. Sms itu benar adanya, dan saya sangat berterimakasih karena sms itu menjadi aspirin untuk sakit kepala saya soal dunia sastra. Sepertinya, gairah muda saya ingin terus berpacu melawan kanonisasi sastra mainstream yang hanya didominasi penyair tua yang sudah bau kuburan. Sehingga karya yang saya kirim (boleh jadi) semacam branding image pada para redaktur yang juga tak ingin korannya tak laku. Tapi hal itu wajar, karena umur saya tidak lebih tua dari kancut para penyair yang sudah karatan. Sehingga para redaktur akan berpikir jutaan kali untuk memasukkan karya dari penulis muda seperti saya.
Saya ini tidak pernah menaruh dendam pada big bos. Tapi, saya punya sedikit pertanyaan dengan Bang Afrizal: apa dia berani mengungkapkan hal itu ketika dia masih belajar merangkak seperti saya? Sementara saya masih kerap menemukan tulisannya di koran-koran. Itulah kenapa, saya tidak marah dengan big bos. Sebab, sejak awal big bos berani angkat bendera perang terhadap penganut sastra koran dan lebih memilih untuk membesarkan komunitas-komunitas.
Upaya membangun komunitas adalah sebentuk perang paling kongkrit melawan sindrom eksistensi serta sastrawan tua yang sudah turun mesin. Komunitas akan menjadi kawah candradimuka dalam membentuk iklim kreatif dimana di dalamnya ada pembelajaran, pendampingan, serta diskusi. Dan yang paling penting adalah: komunitas adalah wadah dimana KRITIK bisa mewarnai proses perjalanan sastrawan muda. Tapi, saya pikir big bos ini juga awet muda kok, sehingga layak untuk dihujani kritik agar semakin matang.
Bos, betapa taik kucing ya dunia sastra sekarang: berebut duit receh dan ngantri seperti pengungsi. Dan perlu dicatat, bila saya juga termasuk para pengungsi itu. Saya sadar, di mata bos, saya ini termasuk bandit karena ikut-ikut mengantri duit receh. Tapi, lagi-lagi bos pasti kecewa karena tuhan tidak hanya menciptakan para nabi, bromocorah juga. Pernahkah bos pikir bila tanpa saya, kenabian bos tidak akan mengkilat seperti sekarang? Meski demikian, saya tau bila bos tak butuh dinabikan dalam dunia sastra. Namun, kalau semua kata-kata saya ini salah, mengapa bos kerap mengkhawatirkan hal-hal yang sudah tidak lagi lux: orang mengantri dan menghamba pada koran.
Bos, setiap orang punya caranya sendiri dalam memperjuangkan apa yang dia yakini. Terlepas orang yang terus mengirim tulisan ke media ibarat ‘mencuci baju dengan air kencing’, tapi yang jelas dia telah melakukan sesuatu yang dia anggap baik. Kalau bos sedang mencuci dengan air bersih, maka doakan kami agar segera sadar dan mengikuti jalan lurus dari big bos sang begawan agung.
Ada satu hal yang terus saya percaya, bos: jalan menuju kebaikan itu menanjak, terjal, dan berliku. Mungkin penganut sastra mainstream sedang tersesat mencari jalan pulang yang puisi; sastra yang ‘sastra’. Yang tidak palsu. Oleh karena itu besar harapan saya pada sang begawan untuk sesegera mungkin membuat komunitas-komunitas sastra agar jadi pelita dan penunjuk jalan bagi kami yang tersesat ini. Saya teramat yakin bila hanya bos yang tau formula paling tepat untuk membuat sebuah komunitas sastra yang tidak palsu. Dan sekedar saran, bos. Tolong fokus dengan komunitas yang akan bos bangun. Dunia sastra menunggu pencerahan dari big bos. Semagaaaaaaat ya bosss :p
 Bos, sodaraku yang rendah hati. Diantara kita sebenarnya sama-sama mengerti mengapa kita tidak pernah bertemu. Tapi, sejak dulu bos tidak pernah menjawab pertanyaan saya: apa ‘bertemunya’ kita itu ketika saya sepemahaman dengan bos? Selalu mendukung dan ikut mencaci oknum yang membuat panas kuping bos panas lantaran kritik orang yang tak kapabel? Apa ‘bertemunya’ ketika saya mengalah dan meladeni ego bos yang Subhanallah itu? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika saya tak bisa beli rokok? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika menganggap musuh bos sebegai musuh bersama kami pula?  
Bos, saya sedikit ingin membagi rahasia kecil tentang diri saya. Jujur, bos adalah orang pertama yang membuat saya kembali percaya pada sastra. Maka maafkanlah bila terkadang mulut saya terlampau bengis dengan karya dan sikap bos sehari-hari. Ini semua hanya agar bos ingat cara menginjak bumi. Sedih rasanya menyaksikan muka bos jadi kian merangsang saat anak-anak kecil memuji-muji karya bos. Dan perih rasanya melihat muka bos jadi berang mendengar dalam sebuah diskusi, karya bos dihakimi. Terusterang saya kawatir bila bos tidak terima kritik, hanya terima pujian.
Eman bos, kalau harus jatuh karena barang sepele. Meskipun njenengan ini begawan, tapi orang-orang sekarang sangat gampang dibunuh dengan pujian. Kuatir saya ini, bos. Ada janji yang saya pengang teguh untuk terus mendampingimu, bos.
Bos, yang rendah hati. Sekian dulu, catatan dari saya. Esok disambung kembali, ya. Bagai mana kalau agenda ngopinya kita pindah di Mataram saja. Saya ingin belajar rendah hati seperti bos J

Cdv_t

Kamar, 10 Agustus 2013

Jumat, 09 Agustus 2013

#4 Selamat Ultah Universitas LPM Spirit Mahasiswa, fakultas trunojoyo

Spirit Mahasiswa


Kami adalah generasi rumah sakit jiwa. Mungkin karena itu kita (hampir) tak pernah kepikiran untuk menyerahkan hidup kami pada rumah-rumah gila. ‘Kemapanan’ punoutput pasar manusia (Trunojoyo)kami masuki dengan malu-malu.

Selamat ulang tahun Universitas LPM Spirit Mahasiswa, Fakultas Trunojoyo.  

Kampus Spirit Mahasiswa, ‘Rumah’ kami itu tak sebesar dapur kuno rumah nenekku di Kabupaten Nganjuk.

Oya, tahun ini saya tidak wisata lebaran di Nganjuk karena nenekku yang akan kemari. Aneh rasanya, di sini aku merasa seperti tidak ikut-ikutan pesta orang-orang lebaran. Rasa-rasanya pulang ke Nganjuk itu seperti naik haji. Mungkin rasanya tak jauh berbeda dengan beberapa orang-orang di lereng Gunung Bawakaraeng yang merasa telah naik haji bila telah mendaki  Gunung ini. Dan setiap orang bebas ingin naik haji ke mana. Atau saya sebut saja perjalanan spiritual karena takut saya digebukin ‘preman berpeci’. Karena, menurutku, kita bebas akan berjalan ke mana untuk kembali bertemu puncak paling suwung dalam batin kita, dan itu bisa ke Kremil, Dolly, di dalam rok gadis korek api, atau ke mana saja tempat engkau bersunyi-sunyi. Maka seperti ada yang kurang bila dalam satu tahun saya tak ke sana untuk menyepi, di tempat yang sebenarnya telah jauh ramai lima belas tahun terakhir ini.

Bingung bagaimana saya harus bersunyi-sunyi, maka saya teringat salah satu rumah sunyi saya di Madura sana: universitas SM. Saya juga hampir terlupa kalau tidak di ingatkan oleh si pipit, pacarnya Ghinand Salman (sekarang salah satu staf dosen di universitas SM), bila di tanggal 8 Agustus adalah ulang tahun kampus. Mungkin hanya saya saja yang pikun, atau yang lainnya juga. Karena melupakan ultah kampus adalah hal yang wajar bagi sekumpulan warga RSJ.

Tidak peduli SBY, Anas Urbaningrum atau bahkan anak dari iblis paling tenar pun akan lupa diri bila berada di dalam ruang utama kampus kami. Waktu akan berjalan labih cepat dari biasanya. Bila kau masuk selama lima menit (waktu dunia nyata), kau akan merasa berada di sana lima tahun. Ini nyata, lho. Sumpah (nipu)!

Dulu, sewaktu saya menjadi dosen di kampus itu, hobi saya adalah nyempil di pojokan, di samping rak buku. Bila jam-jam kuliah tiba, mahasiswa saya akan datang membawa kopi dan beberapa rokok eceran sebagai mahar untuk satu mata kuliah. Maklum, kampus ini tidak kecipratan dana besar seperti halnya Fakultas Trunojoyo. Selain itu, setahu saya, rata-rata mahasiswa kami adalah warga yang nama bapaknya terdaftar sebagai penerima raskin, karena tidak pernah terbukti membayar uang kuliah pada kami para pengelola universitas. Mereka memboros-boroskan uangnya untuk jadi kambing congek Fakultas Trunojoyo. Apa itu ndak gila?

Tapi, saya dan beberapa kawan: bunga boid, bunga JR dan bunga Firman (bukan nama sebenarnya) adalah guru tamatan sekolah rakyat yang hidupnya senin kamis karena tak menerima gaji. Bahkan gembel-gembel yang menumpang tinggal di kampus pun tak pernah membayar se sen pun. Saya pribadi sudah menganggap orang-orang di kampus ini sudah seperti keluarga. Tidak ada lagi privasi untuk kami kecuali hutang makan, kopi, rokok, dan ongkos pacaran yang harus ditanggung masing-masing.

Setiap harinya, kalau kami benar-benar menganggur dan tidak ada kerjaan, kami buat buletin gratis untuk jadi lap tangan di kantin sehabis makan gorengan ketimbang sisa minyaknya harus mengotori jeans atau baju. Tak banyak yang tau isi buletin itu adalah informasi, isu terkini dunia waras Fakultas Trunojoyo. Warga Fakutas Trunojoyo dan para dosennya tidak seberapa tau soal apa itu media alternatif. Tapi, yang paling mereka tau SM adalah sebentuk aliran sesat mambu Nasakom; organisasi bandit yang bikin humas Fakultas Trunojoyo sulit cari mahasiswa.

Mungkin karena sudah terlanjur terasing dan menerima dengan pasrah bongkokan labeling yang mereka sematkan pada kita. Ya, kita—baik warga Spirit Mahasiswa atau Fakultas Trunojoyo—adalah produk gagal dan korban ukuran hidup masyarakat dunia ketiga. Maka, sebagai tindakan eskapis kongkrit, Fakultas Trunojoyo membuat penelitian-penelitian yang menggarami lautan dan menumpuknya sebagai sesuatu yang lebih keramat dari tanah kuburan dalam dompet. Berbeda dengan kami warga universitas SM. Sebagai warga sakit akal, ketimbang harus hidup setres macam itu, kami menghabiskannya dengan iseng-iseng belajar jurnalistik sebagai formalitas, main game, nongkrong ber jam-jam di warkop, berkeliling kota dan bertemu banyak orang, saling tukar koleksi bokep, joget ndangdut di karaokean rakyat, dll.

Hidup bagi orang yang sedang tapa nggendeng memang berliku, rumit dan tidak masuk di logika kemapanan model manapun. Untuk logika kewarasan modern, orang-orang macam kami yang berjalan ke titik nol, adalah  orang-orang yang perlu untuk dijauhi. Mengingat mereka sangat membahayakan martabat orang waras. Mungkin diam-diam mereka juga mewanti-wanti anak cucunya agar jangan sampai memilih menantu orang macam kami.

Tapi, kehidupan irasional di SM juga kerap menemui protes dari warga dalam kampus universitas SM. Ada sebagian dari mereka yang menganggap kita menghalangi cita-cita luhur dari orang tuannya untuk bisa kaya dan punya posisi di PNS. Ada juga diantara mereka yang tidak kuat dianggap gila hingga akhirnya kabur dan menjalani kehidupan normalnya sebagai mahasiswa F. Trunojoyo. Ada juga yang takut nama baiknya hancur, ada yang takut sulit lulus, ada juga yang takut tidak dapat jodoh, ada yang takut sulit dapat beasiswa. Sangat beragam dan njancuki alasan mereka. Tetapi, bagi warga dalam yang sangat loyal, hal demikian adalah sikap wajar dan bentuk pertaubatan yang baik. Kita tidak menyalahkan mereka, hanya terkadang sedikit nggerundel sembari mempertanyakan: siapa sebenarnya diantara kita ini yang benar-benar sakit, kami atau mereka.

Terkadang, kalau sedang menemui jalan buntu. Kami memiliki cara masing-masing untuk mencari ‘petunjuk’. Kalau saya, lebih sering berjam-jam duduk di depan sawah, atau yang lebih greget adalah nongkrong lama di WC dan membuat penghuni sekertariat lain resah menunggu.

Dulu, kalau aku sedang di kampus lain, aku kerap berpikir: mengapa aku betah berlama-lama di ruangan yang tak selebar dapur nenekku? Kalau dilihat dari sejarahnya, aku ini juga bukan siapa-siapa di SM. Dulu, waktu awal-awal terbentuk dan beberapa waktu mandek, aku yang sedang tidak ada kerjaan diajak untuk jadi litbang. Waktu itu, entah demit dari mana yang sedang ikut campur dan akhirnya aku meng-iyakan tawaran mereka. Saat sedang berkumpul, beberapa kawan mempercayakan (baca: gak onok liyane) jabatan pimpinan redaksi padaku. Dan saya terima dengan senyum nyengir geli.

Saya juga ndak tau playgroup SM ini akan bertahan sampai kapan. Yang jelas, saya yang sudah lulus ini semi-semi pasrah: kadang-kadang liat, kadang-kadang cuek. Kecintaan pada sesuatu memang irrasional dan mistis. Meski saat-saat akhir sebelum menjelang lulus ada juga sisi dramatiknya. Rasa-rasanya ingin kupeluk mahasiswaku seraya berkata: sebenernya saya ini sayang dengan kalian meski kalian ini barbar dan tengik. Terlalu banyak cerita di sana.

Kalau hari ini adalah ulangtahun universitas, saya berterimakasih pada Tuhan bila lebaran tahun ini harus jatuh tanggal 8 Agustus. Sebuah kondisi yang harus membuat lebaran tahun ini gagal nyelempit ke Nganjuk, kampung mami saya :D Dan seharian ini pun saya habiskan dengan nostalgia melihat foto-foto lama sewaktu saya masih jadi warga. Meski sayangnya tidak ada yang bisa mengalahkan ‘kesunyian’ WC kampus saya.
Apa kabar guling saya di SM? Guling itu pasti sudah diperkosa oleh banyak warganya yang kebelet kawin. Juga ternoda dengan iler serta daki para warganya yang jarang mandi.

Apa kabar tulisan-tulisan orang kalah di dinding? Apa kabar papan tulis reot? Apa kabar komputer? Apa kabar rak buku? Apa kabar WC? Apa demit-demit di sana merindukanku? Apa mahasiswa pisang goreng F. Trunojoyo merindukanku? Apa kabar dosen-dosen yang juossssSempakTogogKotoskotos, semoga  cepat kaya, ya? Apa kabar gang dolly gang texas trunojoyo? Apa kabar preman-preman parkir? Apa kabar preman kampus? Apa kabar sawah?
Selamat ulang tahun SM.


Cdv_t


Omah’e pak’ku, 8 Agustus 2013 


Baca juga: #3 Kenangan Kondom Untuk "R"

Selasa, 06 Agustus 2013

#3 Kenangan Kondom untuk "R"



Kenangan itu jahat. Ia memelintir kesanggupan untuk berani melihat hari ini.

Jagoan mana bisa tetap berdiri tegak bila musuhnya adalah kenangan? Sebelum melawan itu semua, saya yakin, si jagoan akan meluangkan waktu beberapa detik untuk ‘menangis’, merasakan sejuk angin mengipas tubuhnya dan merayakan melankolika masa silam.

Apa itu kenangan? Apa ia berbeda dari sejarah dan ingatan?

Sejarah secara umum boleh diartikan sesuatu yang telah lewat; -- terjadi; asal usul sesuatu. Ia memiliki environment  yang lebih luas dan kompleks ketimbang kenangan. Sedangkan kenangan lebih pada proses dalam mengingat karena sebuah sejarah itu (mungkin) membekas dalam memori. Lalu pengalaman adalah proses pengambilan hikmah dari apa yang telah terjadi sehingga kita bisa menyimpulkan dan mempengaruhi proses pengambilan sikap hari ini. Dan ingatan lebih pada prosesnya; berkas; potongan-potongan kejadian yang berhasil kita rekam.

Antara sejarah dan kenangan sebenarnya tidak memiliki beda yang teramat jauh. Hanya pada wilayah mana kita meletakkan konteks kalimatnya saja. Menurutku, kenangan itu tidak beda-beda jauh dengan bedil polisi, namun sama-sama bisa merobohkan. Kalau bedil hampir selalu berhasil merobohkan maling kutang dalam sekali dooor. Juga kenangan—bukan hanya pada maling kutang—Si Anas Urbaningrum (maling gebleg) juga akan lumpuh dan merasa sentimentil bila ingat pacar pertamanya di SMA. Mungkin ia ingat saat melontarkan gombalan ke pacarnya dan mengajak membangun rumah tangga tanpa duit korupsi. Kenangan adalah salah hal yang membuatmu berpikir ulang untuk tidak sembarangan mencatat sejarahmu hari ini.

Kenangan! Ya, ia seperti serum jahat dari Prof Paijo yang membuat orang seluruh kota jadi lumpuh dan buta akan masa kini #ngawur. Kenangan membuat seorang remaja memerlukan diri menangis sesegukan di kamar mandi. Sebegitu jahat kenangan itu, hingga sebegitu mudahnya menciptakan kanalisasi perasaan dalam penerimaan masa kini. Maka ungkapan ‘saat ini adalah kenyataan’ hanya sebatas angin lalu bila kenangan sudah berbicara. Karena kenangan adalah sebentuk melankolika romantisme membesar-besarkan masa lalu tanpa pernah berpikir: hari ini kita akan melakukan apa?

Ok, baiklah, tuan kenangan. Saya tidak akan menafikan kedigdayaanmu mempengaruhi hidup seseorang. Saya pun pernah keblinger dengan kenangan hingga dalam kurun waktu lima tahun saya habiskan untuk menjadi zombie pengarang puisi cinta yang rodok mesum. Meski saya juga punya kenangan-kenangan manis bersama sahabat, kekasih dan keluarga. Dan terus terang, semua itu membuat saya tak bisa menerima apa yang terjadi hari ini. Yang mungkin kalian tunggu-tunggu soal ‘kenangan membuat kita lebih bijaksana dan lebih arif di masa mendatang’. Ya, itu benar! Tapi, seganas apapun ganja yang membuat orang lupa diri, ia tetap bisa jadi bumbu penyedap. #anggernjeplak. Namun, dengan ungkapan, ‘sejarah pasti berulang’, belajar dari masa silam hanya menjadi sesuatu yang delusif.

Menurutku, belajar dari pengalaman; sejarah, ibarat sebuah proses desalinasi air laut. Memang membuat air laut jadi tawar bukan hal yang mustahil. Kenangan; sejarah, tidak pernah berdiri sendiri karena ada kompleksitas yang menyertainya dan membuat sejarah; kenangan; pengalaman itu tidak sesimpel yang kita banyangkan. Ya, mungkin kita bisa membuat beberapa petak air laut menjadi tawar, tapi tidak mungkin untuk membuat lautan jadi tawar. Seperti ada selubung gelap yang menyertai masa silam dan punya misterinya sendiri untuk kembali terjadi di masa mendatang.

Seperti halnya kenangan, ia bisa membuat kita memacu diri untuk menjadikannya pengalaman berharga dan tak membuat kesalahan di satu momen. Tapi, ya, sebatas itu saja. Lain tidak. Berulangnya sejarah secara global akan kembali lagi dalam siklusnya. Atau bolehlah kita beri nama takdir?

Hmmm, saya yakin kalau anda dibesarkan di universitas, anda pasti jengkel dengan kata takdir. Sebab, takdir selalu membuat segala hal yang bisa diperdebatkan jadi mandek. Tapi, saya sedang tidak memusingkan intelektual overdosis. Kebetulan akhir-akhir ini saya sedang bosan berdebat soal teori dan segala taik kucingnya, memperdebatkan hukum yang wantah.

Di tengah menulis catatan ini, saya jadi berpikir: mengapa saya jadi begitu sentimentil dengan kenangan. Saya ingat, hal ini karena beberapa saya bertemu kawan lama (sebut saja dia kondom: panggilan akrab yang sebenarnya) yang tanpa sengaja terjebak curcol dengan saya. Ternyata, dibalik kemembleannya, dia adalah seorang yang romantik melankolik masokistik alkoholik. Tak usah saya ceritakan bagaimana detilnya, yang jelas si kondom ini menunggu kekasih yang tidak memutuskannya selama tiga tahun. Tapi, dalam rentang waktu itu, kekasihnya menjalin hubungan serius dengan orang lain dengan alasan biar dia fresh lagi. Kondom pun menerima asalkan suatu saat si Mbak R ini kembali ke pelukan kondom. Dalam hal ini, apakah si kondom ini terlalu lugu-lugu-goblog, atau teramat cinta. #mengelusdada

Setelah aku tanya alasan mengapa dia menunggu selama itu, dia menjawab singkat: kenangan. Tapi yang membuat aku terpukul adalah kata-katanya yang ini: “Seng mbiyen-mbiyen tau tak lakoni bareng pas jek pacaran iku, cit, seng mbarai aku gelem ngenteni dek e. Senajan yo arek e tak enteni suwe tapi jebule arek e rabi karo wong liyo. Duh, ancur aku, cit...(yang dulu-dulu pernah dilakukan bersama sewaktu masih pacaran, cit, yang membuat aku mau menunggu dia. Meskipun dia tak tunggu lama tapi ternyata dia menikah dengan orang lain. Duh, hancur aku, cit...)”

Kondom adalah sosok kawan yang dalam bahasa keseharianku disawat taek, jembret. Atau orang yang tak pernah ba bi bu kalau diledek. Ia hanya menggerutu dan memonyongkan mulutnya. Meski pun dia tak pernah marah bila kita terlalu kelewat batas berguraunya. Dan yang membuat dadaku tersayat adalah, ketika kekasihnya memintamaaf padanya, ia hanya tersenyum dan berkata: Silahkan, dijaga baik-baik masnya, jangan ditinggal-tinggal kaya aku, ya. Waktu itu pacarnya menangis dan memeluk kondom. Setelah malam itu, kondom tak pernah lagi mendengar kabar kekasihnya selama beberapa bulan sampai sebuah undangan tiba di rumahnya. Baru saat itu kondom menangis.

Aku membayangkan, apa ketika kondom menerima undangan pernikahan kekasihnya, ia juga memonyong-monyongkan bibirnya seperti ketika aku menggoda kelewat batas? Kini kekasihnya melukai batinnya kelewat batas, tapi apa dia juga menggerutu seperti biasanya? Apa kondom tidak marah seperti biasanya?

Pertama aku mengenal kondom, ia hanya lelaki yang tak banyak tingkah. Tapi, hidup selalu merubah banyak hal. Dan mungkin kali ini kenangan yang merubah kondom hingga jadi seorang pemabuk. Ya, dia menunggu kekasihnya kembali sembari mabuk setiap harinya. Diperkuatnya ingatan tentang kekasihnya. Segala yang manis baginya dan dirasakannya ia memeluk kekasihnya seperti dulu. Setiap ia ingin menangis, ia selalu menenggak jemblung lekas-lekas. Baginya, menangis itu cemen dan bukan lelaki. Tapi, ndom, untuk luka seperti yang kau alami sekarang ini pernah juga kurasakan. Aku mengerti bagaimana rasanya. Namun, kau yang paling mengerti harus bagaimana.

Kenangan yang dibiarkan hidup membuat kondom terus hidup dan bertahan dari luka batinnya. Mungkin di masa-masa penantiannya, bayangan R yang sedang memadu kasih dengan orang lain muncul dan menyiksanya. Kondom adalah seorang jenius dalam bidang ponsel. Sebobrok apapun ponsel bisa ia perbaiki asal tidak digilas trailer. Dulu ia punya konter di plasa marina, dan perlahan seiring kepergian kekasihnya, untungnya pun habis untuk minum. Ketika tak cukup, ia jual barang lain dengan harga serendah-rendahnya. Karena dagangannya habis, ia gulung tikar dan kini membantu tetangganya jadi kuli bangunan.

Setiap harinya, kondom hanya hidup dengan kenangan-kenangannya yang membuatnya merasa kuat di satu sisi tapi remuk di sisi lainnya. Mungkin orang lain hanya akan menganggap kedunguan masa muda atau orang yang labil dan tak siap menerima kenyataan. Tapi, bagiku tidak cukup seperti itu. Setiap orang punya kesunyiannya masing-masing. Cinta satu orang dengan orang lainnya berbeda-beda. Mungkin aku pribadi bisa bangkit dari keterpurukan patah hati karena ketika kekasihku pergi, akan banyak orang lain yang menunggu. Tapi, kondom hanya punya kesabaran dan sebungkus setia yang tak sesimpel orang kira.

Kondom pun bukan satu-satunya yang mengalami masalah seperti ini. Tapi mungkin para pembaca tak peduli karena tak kenal dengannya. Tunggulah sampai kawan dekat, saudara, dan orang terdekat anda terpuruk macam kondom dan baru kalian merasakan. Tapi semoga orang terdekat anda tak mengalami.

Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk patah hati lalu terpuruk. Banyak hal yang mungkin bisa dilakukan selama rentang waktu itu. Namun, demi kenangan kondom mau menunggu. Hal terberat yang menjadi beban kondom hanya satu: orang tuanya sudah terlanjur suka dengan R. Kenangan dikenalkannya R dengan orang tua kondom adalah satu alasan kondom tak berani melihat hari ini.

Ndom, sekarang kalau kau ingin menangis, maka menangislah. Selagi bisa, selagi sempat.
Dalam diam aku berpikir: alkohol yang jadi pelarianmu akan membunuhmu pelan-pelan. Kalau besok kau harus mati, kau mati karena apa: alkohol atau kenangan?
  
cdv_t
Rumah Lalat, 6 Agustus 2013


Baca Juga: #2 Doa Para Bandit

Minggu, 04 Agustus 2013

#2 Doa Para Bandit

Lebaran hanya milik orang yang ‘berpuasa’
Puasa saya masih monumental di ramadhan saja,
Jadi, saya tak tau, punya hak atau tidak untuk lebaran

Seperti menjelang lebaran sebelumnya. Menghabiskan waktu dengan Bang Jul, orang yang sama-sama terbuang dari hidup. Sebenarnya ada satu peserta lagi yang terlewat, yakni Mas Bejat, dukun lamongan penggila poker yang kebetulan pulang dulu di Lamongan karena dibutuhkan anak-anaknnya. Sama-sama menertawai kekalahan dan kepengecutan kita lari dari kenyataan. Mungkin kita juga sama-sama korban dari kedunguan masa muda yang (boleh jadi) menolak kemapanan karena heroisme masa muda: hidup di jalanan. Tapi, mungkin itulah yang membuat hidup kita kini lebih sulit. Kalau kata Mas Bejat, melalaikan Spiritual Quotien. Woy, mas-mas bro, apa Tuhan sedang bikin perhitungan dengan orang macam kita? Seperti kata mas dukun yang terus saja terngiang, ketika aku sedang berharap uang jatuh dari langit: apa Tuhan mengenalku?
Benar juga apa kata Mas Dukun. Dunia itu berbeda dengan sekolah, dimana murid yang paling nakal adalah yang paling dihafal oleh guru. Tapi Tuhan bukan guru. Meski di kedalamanku, aku yakin bila Tuhan mengenal satu persatu hambanya. Jadi, mungkin bukan tidak dikenal, hanya ditinggalkan. Ah, tiba-tiba aku kangen dengan Rori, berandal Jatinegara yang tersesat di Purabaya. Ia pernah bilang padaku di suatu malam: segala kebanalan adalah dasar yang mesti dilewati sebelum seseorang mengerti, mengenal hidup dengan baik sebelum akhirnya tiba pada kesalehan. Kesalehan yang mutlak tak pernah berangkat dari kebaikan murni. Ia harus melalui lembah hitam hidup, karena hidup adalah urusan memahami: baik buruk. Entah dalil dari mana itu, yang jelas aku merasa Tuhan punya sebuah cinta yang ganjil, menggelitik, untuk orang yang penah bergelimang dosa.
Sebenarnya saya tak merasa hidup membuang saya, saya sendiri yang mendefinisikan demikian. Tapi apa bedanya? Yang bisa dilakukan sekarang hanya saling mendoakan bila kita yang sama-sama kalah judi nasib ini bisa kembali bertemu pada lebaran mendatang dengan nasib yang lebih baik dari sekarang. Kalau saya pribadi, bisa merasakan lebaran dengan kemenangan mutlak: kemenangan dari ‘belajar menahan’ dan yang terpenting adalah belajar berkata ‘tidak’.
Tak enak rasanya hidup macam ini. Merasa terbuang dan tak bisa move on dengan kenyataan karena merasa pernah meletakkan standar hidup. Ketika standar itu digilas, lalu kita sama-sama bertanya: apa kita pantas untuk terus bertahan dengan berbagai dalih dan apologi untuk menutup-nutupi kekalahan kita. Yang lebih sakit adalah ketika satu-satunya keinginan untuk bertahan dengan keyakinan dan rasa sakit kekalahan, ada orang yang menunggu kita melakukan sesuatu.
Lebaran. Lebaran, apa aku berhak atasmu. Berhak karena telah lolos dari perkara klasik: menahan dan belajar berkata tidak. Sekarang, kalau kupikir-pikir, berapa banyak aku meng-iya pada hidup. Segala yang dipinjamkan dan diamanahkan pada saya ini semuanya ada karena kebodohanku menolak.
Siapa yang mau hidup menderita? Siapa yang tak mau dalam sekali hidupnya bisa merasa memiliki apa yang disukainya? Tapi, itulah masalahnya sekarang. Kapan aku bisa menang dan berlebaran bila puasa atas hidupku selalu gagal. Ah, tak usah terlalu jauh berlebaran. Kapan aku bisa belajar dewasa bila kita tak pernah belajar menerima hidup bersama segala sesuatu yang tak kita inginkan. Seperti satu contoh kecil dalam hidupku: urusan tas. Dalam sejarah, saya selalu enggan untuk memakai tas yang bukan dalam standar merk dan kualitas yang telah saya tentukan. Satu contoh itu saja sudah menunjukkan betapa saya masih dungu dalam urusan sepele dan terbelenggu dengan segala hiperealitas di keduniawian. Apalagi urusan agama? Duh, Gusti....
Hidup dalam pseudo itu tak enak secara batin. Berkecukupan dan puas tak berarti bahagia. Cuma merasa kosong dan gagal sebagai manusia yang ‘waras’. Ah, tiba-tiba aku malu untuk berdoa. Merasa sangat sungkan dengan Tuhan adalah wajar bila penyakit dunguku ini belum sembuh benar. Sudah tau Tuhan itu tak bisa dibohongi, tapi masih saja membohongi.
Tunjukkan aku jalan yang lurus.
Sudah jutaan kali Tuhan menunjukkan jalan itu padaku, dan jutaan kali pula aku berbelok. Untung saja Tuhan juga menahan diri. Kalau dia tidak puasa, mungkin aku sudah ditinjunya. Apa jadinya seumpama Tuhan berlebaran dan tak lagi berpuasa?
Saya pun sudah berulang kali sadar bila apa yang begitu kuhendaki boleh jadi akan membawa akibat buruk padaku. Tapi demi nafsu dan keinginan-keinginan sesaat, kuterobos juga. Saya tau Kau akan bikin perhitungan denganku. Dan saya pun tau bila Kau memahami bila aku ini masih manusia. Duh Gusti, saya ndak pantes di surgamu, tapi ya mbok nanti jangan lama-lama menghukum saya di neraka. Peace, ya, Gusti. Ampuuun.
Saya ini mengerti kalau Kamis besok saya tidak pantas berlebaran. Meski berlebaran itu dalam ruang batin, tapi, ya, sakit rasanya kalau harus kesepian. Meminjam istilah Mas Bejat, saya ndak keberatan kalau harus di benci di dunia. Tapi, saya ndak betah kesepian tanpaMu. Kalau bisa, ya mbok Njenengan ini tetap mengenal saya dalam sekali hidup. Tak banyak yang bisa memahami kelemahan kemanusiaan saya selain Kau. Jadi jangan tinggalkan saya, ya, please. Saya mengerti kok, lebaran besok bukan buat saya.
Duh, Gusti, kalau gelapnya hidup dan batin kita kali ini adalah hukuman dari Njenengan. Kita tetap berterimakasih, kok. Sebab, dengan begitu kita tau, Kau masih menghafal nama kami bertiga. Masih memaafkan karena hanya menghukum kami di dunia saja, karena kami tidak akan bisa bertahan sampai satu ronde di akhirat sana.
Saya tiba-tiba mikir jadi mikir begini: semoga Islam adalah alamat untuk menuju (sebut saja surga-Mu). Seperti apa yang disampaikan Mas Dukun, orang Lamongan sudah di nash untuk masuk sorga. Dan semoga itu benar, tapi kalau benar ya jangan cuma lamongan. Sidoarjo juga lah. Di sana banyak doa orang-orang yang dianiaya Bakri keparat. Semoga kami kecipratan berkah kesabaran mereka, dan untuk Bakri, tolong dia itu yang lama, ya. Sebab, kami yakin kita tidak akan menang berduel di dunia. Dia adalah bajingan kekar yang rajin fitnes.
Lebaran, seperti apa wajahmu? Apakah anugrah kemenangan itu lebih nikmat ketimbang menang togel? Atau lebih bergairah dari berjoget ndangdut bersama biduan di orkes-orkes? Tapi, aku tak pernah menyangsikan apa yang Kau janjikan. Dan sebelum Kau mengijinkan kami berlebaran tahun depan, boleh lah kau Kau restui Bang Jul dengan kekasihnya menikah tahun depan. Juga aku, agar bisa mendapat pekerjaan tetap sesuai setandar calon meretua. Dan untuk Mas Dukun, saya ndak tau apa yang ia harapkan, tapi bila itu baik, tolong dikabulkan. Saya tau Kau kenal dengan saya yang dulu sering mbandit di terminal.
me

Dukun Bejat

Bang Jul














4 Juli 2013

#1 Nyamuk Surabaya dan Sufi di Gang Dolly

Saya baru saja terbangun karena ganasnya nyamuk Surabaya. Dalam sejarah dunia molor saya, salah satu hal yang mengesalkan ketika tidur adalah diserang barbarnya nyamuk. Apalagi nyamuk Surabaya. Sungguh, mereka tak pernah sekolah. Percayalah!

Masih merasa kesal dengan nyamuk.  Aku mengambil koran dan mengibaskan koran ke dengungan nyamuk. Alhasil, mereka pergi, meski sebenarnya saya tau: nyamuk adalah mahluk setia, kepergiannya selalu untuk kembali #uopooo. Namun, bukan nyamuk Surabaya namanya kalau kepergian mereka tidak membawa perdebatan dan persoalan. Mungkin, jiwa ‘bonek (bondo nekat)’ tidak hanya dimiliki pemuda Surabaya saja. Nyamuknya pun bonek.

Setelah mencoba tidur lagi, dugaan saya tak meleset. Nyamuk di sini benar-benar setia. Ia kembali merubung kaki tangan dan pipi. Saya tak punya autan dan tak berniat untuk keluar membeli anti nyamuk. Akhirnya saya membakar sebatang rokok. Berharap nyamuk-nyamuk liar tadi kepalanya puyeng dengan asapnya.

Ssssshhh ah, menghisap rokok saat bangun tidur selalu memberikan sensasi yang absurd buat saya. Kenikmatannya yang menggelitik membuat rasa kantuk dan jengkel tadi lenyap dan digantikan pikiran-pikiran yang tak tentu arah. Tiba-tiba saya kembali teringat cerita dari Pakde Wahyu, big bos Teater Anu Priuk, tentang seorang kawannya yang hidup nyufi. Kawan pakde itu tidak pernah mengebaskan nyamuk yang sedang menghisap darahnya. Menurut pakde, perasaan pertapa itu terlalu lembut dan welas asih dengan sesama mahluk tuhan. Saya jadi rada merinding mendengar cerita pakde waktu itu.

Entahlah, pikiran saya jadi begitu random sampai konsep sufi pun mengganggu malam saya. Mungkin karena malam ini terlalu sepi. Atau mungkin karena suara ayat-ayat suci di laptop kawan saya masih mengalun memecah sunyi sampai yang saya pikirkan rada-rada mambu agama. Ya, ini semua gara-gara nyamuk barbar yang membuat saya tak jadi tidur dan kepikiran soal sufi.

Hmmm sufi, ya. Orang ‘sakti’ yang ada dalam cerita pakde itu sufi atau bukan, saya kurang paham. Tapi, menurutku, siapa yang sanggup hidup sebagai sufi di zaman sekarang? Mungkinkah seseorang jadi sufi atau nyufi dizaman serba dancuk seperti sekarang? Zaman dimana seseorang tidak sanggup mempertahankan keimanannya barang sejam.

Saya percaya bila keimanan adalah sesuatu yang fluktuatif. Kadang ia naik dan anjlok bergantung pada sikon. Kalau lagi musim baik seperti bulan ramadhan kali ini, seseorang tiba-tiba jadi ustad dadakan. Lihat saja status di facebook dan twitter, semua bertema keimanan. Duh, prettt. Taik kucing.

Ketika keimanan seperti telur di ujung tanduk, lantas bagaimana dengan sufi? Apa mereka bukan manusia juga? Apa mereka juga tidak tergoda ketika tanpa sengaja melihat paha-paha mulus di sepanjang jalan? Meski (andai sufi itu ada) apa pikiran mereka ndak tiba-tiba random seperti saya? Tiba-tiba membayangkan ranjang empuk ber-AC dengan seorang perempuan di atasnya yang sedang njoget erotis.

Bagiku, sufi adalah misteri besar buat saya. Penasaran ini membuat saya membuka-buka kamus dan mencari maknanya. Menurut kamus, sufi adalah orang yang ahli dalam ilmu tasawuf; suluk. Tapi, sebentar, saya masih kurang puas dengan istilah yang digambarkan dalam kamus. Karena saya memiliki seorang kawan yang sangat mengerti soal ilmu tasawuf tapi tengik perilakunya. Dia bisa menjelaskan konsep tasawuf selama berjam-jam sampai saya mengantuk. Tapi, soal kelakuannya, saya kira dia masih sebelas-duabelas dengan saya. Di kosnya, di daerah Bantul, kita pernah menamatkan empat puluh judul bokep (film si unyil) sampai katam dalam semalam. Kalau lagi kepepet, dia juga menerima pesanan skripsi untuk jurusan bahasa arab. Inikah sufi?

Menurutku, konsep sufisme tidak sesederhana seseorang yang menguasai ilmu tasawuf, atau sekedar berperilaku aneh. Banyak pihak menyalahartikan konsep sufisme pada pengertian dan definisi, serta pola perilaku yang tidak lazim. Sufi jelas berbeda dengan dukun; dengan ‘orang gila’. Atau mungkin sufi adalah pola perilaku orang yang sedang kasmaran dengan Allah sehingga menerapkan zuhud. Tapi, disebalik hati saya menolak dengan tegas karena, bagiku, hidup haruslah memakai ilmu salib: keseimbangan antara yang vertikal dan horisontal.

Kalau orang dalam cerita pakde—yang tidak mengebaskan nyamuk barbar yang menyedot darahnya—bisa dikategorikan sebagai sufi? Atau karena orang dalam cerita pakde ini masuk kategori sufi karena perilaku anehnya? Sumpah, saya tidak tau. Dan diam-diam saya punya pikiran tengik macam ini: karena nyamuknya kecil, darah yang akan terhisap mungkin cuma sedikit. Kalau nyamuknya sebesar kucing garong, apa ndak langsung anemia tuh si om sufi?

Apa sufi hanya konsep di megah hadiah dari labeling orang-orang awam di sekitar kita yang hobi mengkeramatkan. Bukankah manusia itu tetap manusia yang (seperti saya) gampang sekali terjebak pada gelimang dosa. Kalau seseorang begitu dekat dengan tuhan, apa dia ujuk-ujuk terlepas dari kodrat kemanusiaan. Kalau dilihat dari itensitas manusia ‘berpacar-pacaran’ dengan tuhannya, mungkin pandangan para orientalis (bisa jadi) salah total. Mereka menganggap ‘sufi’ hanya padanan dari sebentuk perilaku yang dihayati dari filsafat keberagamaan; filsafat ibadah.

 Sudahlah, kita tinggalkan pandangan para orientalis. Pandangan dan penilaian mereka tentang segala hal tentang agama itu meresahkan. Seperti bau-bauan kotoran kucing di tengah malam: meresahkan dan menimbulkan perdebatan.

*
Sek tak sahur sek (pencitraan)

*
Kembali lagi soal sufi. Saya ingat, pakde juga bercerita tentang sikap ‘anti dunia’ pada si orang ini (sebut saja dia om sufi). Ia menolak segala hal yang bersifat keduniawian. Mungkin ia seperti dalam penggambaran orang di jaman jahilliyah yang beribadah di sekitar Ka’bah yang disebut sebagai sufah? Sama-sama beribadah, berbuat kebajikan dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk bermesraan dengan tuhan. Maka pertanyaan saya kemudian: lha wong kuwi kapan dolane, kapan kawine, kapan ngopine?

Memang tidak adil membandingkan dan melihat dari kacamata hidup saya yang bandit ini. Baik para sufah ini atau pun om sufi dalam cerita pakde. Apa yang mereka lakukan itu baik, tapi yo rodok kurang pantes sakjane. Bukankah Islam mengenal habluminallah dan habluminannas. Berdoa sepanjang hayat dan memahami kalam tuhan sepanjang waktu. Lalu kalam tuhan yang bagian mana yang dipahami mereka? Bukankah masterpiece ciptaan tuhan adalah manusia; bagian yang membantu manusia untuk menterjemahkan kalam tuhan yang sebagian besar berupa penafsiran.

Dulu, saya pernah ketemu dengan Matsani, seseorang pejalan dari Kebumen yang kebetulan bercerita pada saya bila ia sedang ingin pergi menyepi ke gunung-gunung untuk mencari hakikat hidup dan melihat wajah semesta serta penciptanya.

Pak, lha sampean ini bade laku nopo?” tanyaku.
Wah arek nom koyok awakmu iki gurung sanggup le. Nek laku iku njowo, nek aku nyufi, le.” Jawabnya sembari menghisap lintingan tembakau di tangannya.

Saya ini orang mblunat, tapi dengan jawaban Matsani, saya juga punya pendapat. Mendekat pada tuhan ketika berada di pondok pesantren, di gua, atau sejelek-jeleknya di desa, itu bukan perkara sulit. Tapi, cobalah hidup lurus saat rumah anda berada satu atau dua blok dari lokalisasi dolly.

Bukan maksud saya meremehkan orang yang berada di lokalisasi dolly. Ini hanya perumpamaan (yang tak tersampaikan pada Matsani) untuk menilai tingkat kesulitan seseorang beragama. Konsepsi sufi yang beragam memang masih gagal saya pahami. Apakah ia berada dalam wilayah filsafat semata, atau sampai pada tingkatan maqam seseorang seperti yang dituturkan Al-Ghazali. Ada atau tidaknya sufi itu tidak penting bagi orang awam seperti saya. Menjalani keseimbangan hidup dengan ilmu salib saya pikir sudah menjadi prestasi yang luar biasa bagi orang sekaliber saya. Itu pun kalau saya bisa menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. 

Saya percaya bila sufisme bukan sekedar konsep. Hanya kedangkalan saya terlalu terbatas untuk mencapainya. Seperti halnya ‘kebaikan’ adalah sebuah tujuan atau garis finish yang harus kita tuju. Soal kebaikan seperti apa; baik itu relatif; saya ndak memusingkan. Setahuku tuhan punya matematikannya sendiri dalam menilai apa yang manusia lakukan. Dunia dan kolektiva saya tak pernah membuat saya menemui orang yang mendekati berbagai macam konsep sufisme. Dan bukankan maqam seseorang ada di tingkat yang mana ada di hati masing-masing orang, meski terkadang ia memancar lewat laku jiwa. Tapi, terkadang saya kerap meminta ditunjukkan seperti apa ‘baik’ itu; seorang sufi tulen yang bukan gunung dan kampung sebagai tujuan perjalanannya, tapi ke dolly. Saya juga ndak terlalu wow seperti Matsani yang ingin melihat wajah tuhan. Saya masih belum sanggup pingsan seperti Nabi Musa dan belum sanggup mengikuti Nabi Khidir. Saya takut kalau-kalau dia tiba-tiba mencekek seorang anak di depan saya. Apalagi mencekeknya di Indonesia. Saya takut ia berurusan dengan kepolisian dan Kontras. Terlebih lagi ilmu saya masih dangkal seperti comberan rumah saya yang mampet. Begitulah saya dengan segala kelemahannya.
Ah, nyamuk-nyamuk Surabaya. Terimakasih untuk gigitanmu yang menggelitik. besok-besok gigit saya lagi dan ajak saya memahami mistisnya sufisme. Nyamuk biasa saja, jangan yang demam berdarah. Peace.

Rumah lalat, 4 Agustus 2013

Cdv_t