Laman

Rabu, 24 Juni 2015

Si Temonyo Ditinggal Nikah

(Iku Salah’e Wong Akeh)

Pernikahan tidak hanya urusan cinta, tapi juga perlu materi untuk membuat cinta itu tetap hidup. Tapi, seharusnya pernikahan lebih besar dari uang, dari materi. Pernikahan harus lebih besar dari status sosial dan kesanggupan-kesanggupan membeli hidup. Bila pernikahan hanya perkara siapa yang sanggup membayar lebih mahal, apa bedanya pernikahan dengan pelacuran?
*
Saya mengenalnya di suatu hari yang berengsek. Suatu ketika dimana saya harus mendatangi wisuda kawan seangkatan. Waktu itu, dia hadir dengan sorot mata yang menyebalkan. Namun, harus kuakui di wajahnya yang menerbitkan hasrat untuk menonyo; meninju (temonyo) menerbitkan rasa iba di hati. Saya masih ingat apa yang dikatakannya waktu itu, ”Lho, ndak wisuda, mas? Sampean anak pers itu kan? Ini kan yang wisuda angkatannya sampeyan. Seneng, ya, wisuda itu. Foto-foto bersama. Sampeyan ndak pengen foto bareng temen-temenmu, mas?”
Apa ndak brengsek kata-kata semacam itu? Kata-kata yang diucapkan dengan teramat ringan itu sama sekali tidak pas, tidak toleran dan menusuk dalam-dalam. Misalnya ada orang buta, ya, sebaiknya ndak usah tanya, ”Lho, sampeyan itu buta, ya?”
Mungkin bapak ibunya banyak mengirim Al Fatihah ke si anak busuk ini, sehingga banyak welas-asih di mukanya dan membuat saya tidak tega untuk meninju mukanya. Alhasil demi kebaikan bersama saya batal untuk menghajarnya. Lagi pula saya juga tidak ingin digelandang di Polsek Bangkalan dan tidak bisa meneruskan kuliah karena ngandang di penjara karena meninju muka orang. Apa kata Radar Madura nanti?
Stres Belum Lulus Kuliah, Citra Pukuli Adik Kelas
Tidak! Itu tidak lucu. Alhasil, saya hanya nyengir kuda di depannya. Tapi, kali ini, saya kembali nyengir kuda melihat dia nongol di depan mata saya.
Pertemuan kali ini begitu berbeda. Saya sudah lulus kuliah dan dia belum. Ini kesempatan yang langka sekali, bukan? Tapi, muka bocah temonyo ini nampak mendung. Matanya merah, kumisnya  nampak jarang-jarang dan rambutnya tak tersisir rapi. Dan jaketnya, insyaallah bisa saya pastikan sangat tidak bersahabat dengan sabun cuci.

Senin, 15 Juni 2015

Defy dan Tulah


Dukun Bejat
Sampai sekarang saya masih ingat betul dengan kata-kata Dukun Bejat, saat saya mengantarnya ke Probolinggo H+3 lebaran tahun 2013 lalu: salah sijine dalan kesaktian iku teko roso “teraniaya”, “gak berdaya”, seng pancene diniati dilakoni utowo akibat nasib’e (Salah satu jalan kesaktian itu dari rasa “teraniaya”, “ketidakberdayaan”, yang memang benar-benar diniati atau dilakukan atau karena sudah nasib).

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di sepanjang perjalanan kami ke Probolinggo.
*
Setelah usai bergulat dengan kerumitan para MG swasta, saya dan Dukun Bejat memutuskan bertemu dengan Defy yang kebetulan juga ada di Probolinggo. Kita berjanji bertemu di sebuah warung bakso pinggir jalan. Singkat kata, saya mendapati Defy bersama I*&^^6$%. Kami saling bersalam-salaman karena memang masih dalam suasana lebaran.
Waktu itu, ceritanya si Defy diantar oleh I*&^^6$%, karena kebetulan usai bersilaturahmi dengan keluarga I*&^^6$%. Usai bicara ngalor-ngidul, Dukun Bejat mengajakku menemui kawannya di Kemangsan, Probolinggo. Karena sedang menganggur, jadi saya iyakan saja ajakan Dukun Bejat dan mengajak Defy turut serta di perjalanan kami.

Rabu, 10 Juni 2015

STA, Defy Sontoloyo, dan Agama Baru Pers Mahasiswa

(Nasihat Bagi Mantan Sekjen yang Keblinger)

Defy dengan Rambut Sai Baba
Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta — Sultan Takdir Alisjahbana.

Mungkin nukilan dari ”Gurindam Dua Belas” karya Sultan Takdir Alisjahbana, gubahan Raja Ali Haji adalah ”pengingat” kita semua. Tapi, bukankah hampir semua orang menganggap “kata” adalah pintu masuk; keniscayaan; dan jalan menuju...

Ya, mungkin si doi waktu bikin tuh kata-kata lagi selo banget dan iseng dan lagi mendem congyang.  

Keyakinan saya pada keagungan ”kata” begitu mendalam. Sehingga saat membaca nukilan Gurindam dua belas, saya jadi sensi. Saya berpikir apa yang ditulis Sultan Takdir Alisjahbana (STA) — yang saya bayangkan mencari inspirasi sambil nongkrong di WC dan kebas-kebus Surya 12 — adalah dagelan tak lucu bagi penggiat media alternatif dan media mainstream saat ini. Dan saya rasa, menganggap nukilan gurindam dua belas sebagai ramalan kebangkrutan era media saat ini adalah sikap terburu-buru dan barbar. Tidak gaul banget kan STA ini?
Begitulah orang tua: dekaden dan terlalu kaku dengan gejala-gejala. Dan remaja macam kita, (lagi-lagi) dipaksa memahami dan mentoleransi pandangan orang tua yang udik dan terkesan tidak bisa lihat anak muda seneng.
Mungkin, sejak usia muda, STA ini kuper. Tidak gaul. Tidak ikut persma, tidak kenal budaya diskusi sambil mabok (simbok). Tidak ikut PPMI — organ yang sejak kelahirannya mempunyai cita-cita agung untuk membenahi Indonesia lewat media alternatif. Mungkin juga si doi menghabiskan masa mudannya di pentas ndangdut dan tidak pernah melihat betapa garangnya aktivis PPMI saat membahas isu bersama.

Senin, 01 Juni 2015

Tanggungjawab Moral Ketika Salah Pilih Presiden

Hari ini saya mendapat pelajaran berharga soal ”bertanggungjawab pada pilihan”.
Salah satu contoh bertanggungjawab pada pilihan adalah memilih istri. Ketika sudah memilih pendamping hidup, hendaknya menerima baik-buruk suami atau istri kita dengan lapang dada. Konteks bertanggungjawab pada pilihan juga bisa kita temukan contohnya di wilayah yang lain, seperti memilih tempat belajar — berkomitmen untuk serius belajar apapun yang terjadi. Bisa juga bertanggungjawab itu kita temukan dalam hal yang lebih simpel: memilih ketua kelas, ketua RT, memilih hansip idola, memilih artis terpopuler.
Tapi, bagaimana cara bertanggungjawab pada presiden pilihan kita?
Apakah bentuk tanggungjawab dalam pilihan presiden adalah dengan mendukung semua kebijakan-kebijakan yang dibuat presiden? Atau jadi pembela paling radikal ketika si presiden dihujat karena mengeluarkan kebijakan yang populis dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat? Atau mungkin dengan memberikan kritik pedas saat si presiden sedang kalap dan melupakan janji kampanye? Atau bahkan yang lebih ekstrim dari itu: bunuh diri massal sebagai upaya penebusan dosa? Silahkan pilih.
Soal salah pilih presiden tolong dicatat saya tidak pernah menaruh dendam kepada sekumpulan orang desa yang pada saat pilpres kemarin ikut memilih. Saya tidak benci kepada para janda-janda tua korban ancaman pak RT; korban serangan fajar. Karena sebagian besar dari mereka “tak paham” dengan figur yang mereka pilih.
Hal ini bisa dimaklumi karena hampir tak ada koran atau televisi yang serius memberikan pendidikan politik dan memberikan gambaran mendalam terkait track record Prabowo dan Jokowi. Karena di pilpres kali ini, beberapa media yang notabene (dianggap) netral juga ikut ambil bagian dan terang-terangan diam-diam mendukung salah satu calon. Yang paling mengerikan adalah semua orang seakan larut dalam pertunjukan kosmetik massal.
Inilah yang membuat saya memaklumi orang-orang desa sampai salah pilih dan mau-maunya dipaksa ke TPS untuk menandatangani sendiri kontrak duka lima tahun mendatang. Kesibukan di sawah membuat orang desa tidak mungkin punya banyak waktu mencari tahu siapa sosok pantas memimpin Indonesia lima tahun mendatang. Mereka tidak sempat melihat debat calon, melihat pro-kontra pendukung masing-masing calon, dan tidak mampu membuka-buka internet.
Tapi, bagaimana dengan mereka yang diam-diam menyebut diri mereka intelektual muda, analisator zaman, akademisi? Seperti apa tanggungjawab yang seharusnya mereka ambil ketika salah pilih presiden?