Laman

Senin, 20 Februari 2017

Perempuan dan tidur


Perempuan itu meremas tanganku usai memberiku tidur. Matanya nyalang seperti protes klakson Jakarta menjelang magrib: cerewet tanpa penjelasan. Menghampiri sekali lagi dadanya yang bantal. Kupeluk tubuhnya sampai ia berkata, ”apa kau ingin tidur dengan mata terbuka?”

Selepas mandi, tubuh perempuan itu mirip bokong pizza: licin, haram, panas, memabukkan dan tiada. Aku pernah ke sana untuk mabuk dan minum-minum sampai larut. Sampai perempuan kembali memberi tidur yang gemas.  
Dia kerap membuatku menyala di pukul tiga pagi. Saat aku melancong             ke tengkuknya yang getas. Ada api menjilat mengimbangi lidahku sampai pertarungan diakhiri sebotol minuman bersoda.
Begitu manis cintanya hingga berhari-hari tak kembali?

Tapi aku bersabar menunggunya pulang. Saat ia mengentuk pintu kamar nanti
aku akan melompat ke jantungnya. Menyaksikan urat sepi berdegub pelan-pelan; memompa rindu – waktu – yang digugurkan tualang.
Di jantung perempuan, aku melihat cinta diiris melintang seperti makanan cepat saji yang ia pesan satu jam lalu.

Aku kerap menyaksikan ia bersama kata, paragraf yang membelah-belah
rasa sakit. ”Kita tak perlu sendirian, malam ini,” ujarku.
Tapi langkahnya ke kamar mandi melenyapkan tubuh dan ingatan.
Kita sama-sama saling melupakan saat aku dibakar kesibukan kantor-kantor aborsi dan ia dilenyapkan tidur siang.

Kepergian perempuan adalah kesetiaannya menyalakan lampu kamar, menjahit, dan memberiku tidur seperti biasa. Ia juga mengangkat jemuran ketika hari hujan. Mengepel genangan air dari genting yang bocor. Tapi, perempuan itu tidak lagi menyapaku. Hanya sorot matanya sesekali menyisirku sembari mengolesi minyak zaitun.

Aku diam dalam pangkuannya. Aku menyala diantara cintanya yang tak ada.
Di pahanya yang bantal, tersimpan arsip tidur. Di tengkuknya yang gemas cintaku tumbuh. Di tubuhnya yang perempuan, aku tidur lagi sebagai kekasih yang tak pernah ada; yang tak pernah ia ingat sebagai cerita.



Jakarta, 2016

 gambare dalbo

Minggu, 05 Februari 2017

Cabai Mahal dan Mencret Massal

Curhat dan Analisa Peramal Togel (yang Gagal)

Sekarang harga cabai mahal. Kalau harga mas kawin sudah melangit sejak dulu. Setelah ini apa lagi?
Saya tidak ingin menyalahkan Jokowi soal cabai. Saya khawatir para pendukungnya marah. Pakewuh kalau nanti dibilang haters. Dianggap simpatisan Prabowo, meski Gusti Allah tahu saya ndak nyoblos pilpres kemarin. Saya takut juga diciduk dan dibilang makar. Karena, pengertian ”makar” itu makin kabur saja akhir-akhir ini. Terlebih lagi pemerintah sekarang ”hangat-hangat tahi ayam”, terkadang mbodo, terkadang melas, terkadang galaknya setengah modyar. Tentu saja tidak sulit ”menertibkan” kelas coro seperti saya ini, jadi saya takut. 
Soal cabai, saya hanya ingin ngedumel sendiri. Soal siapa yang bersalah, saya tak mau ambil pusing. Kalau ada pihak-pihak yang membiarkan harga cabai naik, ya, monggo saja. Jangan nanggung-nanggung dan kalau bisa sekalian menaikkan harga rokok, kopi saset dan kalau perlu menarik bayar pada oksigen yang rakyat hirup. Keinginan saya ngedumel itu karena saya mafhum  kalau ”kata-kata” itu sudah tak punya power untuk membuat bising telinga-telinga buntu. Apalagi para spekulan cabai ndak mungkin baca blog ini.
”Kalau kau pesimis dengan kata, untuk apa kau menulis?”
Terus-terang saya serba pakewuh dengan banyak pihak apabila saya hanya jadi penonton yang gemas sendiri. Saya sungkan dengan adek mahasiswa yang masih berpikir bila saya adalah mantan anak pers kampus. ”Anak pers kok tidak kritis!” Padahal saya berhak tidak peduli dengan anggapan-anggapan itu. Bukankah pers mahasiswa itu suci dan tidak bicara soal remeh-remeh urusan dapur; urusan yang nyelempit sudut genangan busuk pasar sayur. Mereka akan turun dengan sendirinya kalau yang dibahas itu sangat prinsipil, seperti: filsafat, pertentangan ideologi, atau teori nganu... nganu...
Saya ndak enak dengan tetangga kos yang kebetulan ngopi di warkop dan tanya pada saya, ”itu harga cabai mahal, kagak lu tulis? Tega amat pemerintah sama kite-kite. Lu tulis, dong. Elo kan orang tipi?” Kalau sudah seperti itu, saya harus bagaimana? Inilah yang berat buat saya. Meski mereka tidak paham dengan pekerjaan saya, tetapi apa, ya, saya terus-terusan nyengir kuda menaggapi kata-kata mereka. Kalau pun saya boleh sedikit menggawat-gawatkan, tentu saja segala yang sampai pada kita adalah ”ayat”, dimana ia datang bukan tanpa maksud. Ini adalah semiotika tuhan yang mesti saya terjemahkan walaupun sering gagal. Ya, saya ini gampang dibikin sungkan, tetapi untuk potongan saya sekarang, saya ini bisa apa? Kalau pun terpaksa jadi tulisan entah apapun bentuknya, tentu saja ini sekedar gugur kewajiban.
Kembali lagi soal standar harga mas kawin, eh, maksud saya harga cabai yang mahal. Saya pikir, kejadian ini bukan tanpa sebab atau berdiri sendiri. Kalau saya boleh lanjut untuk menggawat-gawatkan, tentu akan banyak pihak yang terseret. Jangankan menteri perdagangan, Jokowi, demit alas, atau bahkan Trump ang baru terpilih juga bisa kena. Bahkan Obama yang sedang menikmati masa pensiun sambil main karambol di pulau pribadi salah seorang pendukungnya pun juga bisa diseret-seret untuk dipersalahkan dan dikemplang. Termasuk saya.  

Jumat, 03 Februari 2017

Suwung Kopi

Kau adalah suatu ketika yang kusembunyikan. Suatu putaran masa ketika debar jantung tergesa-gesa dan terus merapal mantra: memanggil malam. Mungkin kau lupa, jiwa kita pernah berlesatan di hotel murah tempat Camus menulis cerita porno ”Pemberontak” dan Marx menghitung ulang nilai lebih.

Ah, mungkin kau lupa cara menyembunyikanku di sebalik kutangmu ketika orang tuamu memastikan apakah kau telah pulas atau sedang mengingat-ingat percumbuan kita diantara deret baju di Thamrin.

Selalu tak lupa: cara kita saling merajah nama kita diantara gemetar batu-batu. Diantara tanggal tua sekelam wajah orang tuamu yang membayangkan kita berjalan beriringan di busuknya rumah-rumah kardus di Roxy. Semua seperti tergetar, sayang, sebelum beberapa detik aku cium keningmu dan mengusap leleran peluh. ”Sebentar lagi pagi, sayang,” ucapmu. Aku tahu, sebentar lagi dentang lonceng gereja akan membawamu pergi dan aku berdiam sendiri di warung kopi. Mengingat-ingat nama hari dan mencari tahu siapa pengarang jatuh cinta.

Kita tak pernah lupa cara menari diantara bebauan kopi pagi hari. Warung-warung murah yang kita bayangkan seperti cafe mahal bandara dengan bau kemeja (yang lama dilipat di koper) orang lalulalang.

Kau cantik malam ini. Tapi, aku hanya sendiri. Kau tiada lagi. Mungkin kita sama-sama tua dalam tualang; dalam kepergian yang aku tahu pasti, akan kembali lagi.

Sayang, kopi tinggal separuh dan rokok tinggal sebatang tapi malas turun untuk membeli itu rasanya jancuk sekali.


Kosan Lantai Dua Setia Kawan Tiga Yang Ada Sofanya, 2 Februari 2017
Dalbo