Laman

Sabtu, 30 Mei 2015

Bulu Pantat KPK

Sambil menunggu subuh dan batrai hp saya penuh, saya baca-baca status facebook artikel yang mengulas teori pergerakan dan revolusi untuk meningkatkan pemahaman saya akan persoalan terkini.
”Halo gahool?!?! Lagi mendadak goblok dan sentimentil, ya?”
”Cuk, orang ini lagi.” Kawan lama yang sekaligus jadi guru darurat; sekaligus ”keparat” pemeras rokok paling tengik se Purabaya. Kali ini kedatangan kawan karib saya (yang sudah lama meninggal) agak berbeda. Yang membuat saya terkesan adalah dandanannya sudah cukup mbois.
Rori mengenakan celana jeans belel ketat. Di bagian lutut nampak begitu lusuh, rantas, ngengat, seperti bekas dan dialihfungsikan untuk menggosok batu. Dia memakai kaus agak longgar warna putih dengan gambar perempuan merokok bertuliskan: ”Saya jablay, bang”. Yang paling bikin kepala saya cenut-cenut adalah sabuknya sekepal tinju yang biasa dipakai remaja bodreksin tawuran di konser musik. Dan yang paling kekinian adalah kelima jarinya penuh dengan akik beraneka warna, dari aneka batu.
 ”Ini?!” kata Rori, sambil menunjukan akik di telunjuknya ke mata saya. ”Bacan! Sudah diisi aneka mahluk gaib macam tuyul bokong biru, genderuwo gayam, macan kunting, bedes belek, buluh perindu dan kelek buto oleh beberapa dukun di Mbangil. Sangat cespleng mengusir demit masa silam. Pelaris. Lancar jodho. Tolak miskin dan betah isin. Bisa juga dipakai mendamaikan hati; menulikan kuping dari pro-kontra Jokowi itu mbalelo atau pahlawan yang tertunda,” terangnya.
”Cuk!” Saya memprotes. Tapi, dia tidak peduli dan tetap melanjutkan.
”Ini...?!?! Jamrud Menur!! Batu ini diambil dari kencing orang gila yang mengkristal. Kalau lagi pusing, bisa diendus-endus untuk meredakan stres. Bisa juga untuk mempercepat suksesnya manteg ajiaan mbudeg.”

Rabu, 27 Mei 2015

Pesan Dalbo Gahool untuk Mbak Semlohay yang Ditinggal Pacarnya

Mung Conto
Untuk membuktikan keseriusan saya menjadi remaja gahoool kota, maka saya putuskan untuk ke Sevel pukul tiga pagi dan nongkrong di sana. Tapi, yang saya temui hanya kekecewaan. Karena jam segitu tidak ada muda-mudi yang nongkrong kecuali seorang tukang parkir yang mulai mengantuk. Jadi bisa disimpulkan, kadar ke-gaul-an saya lebih besar dari remaja-remaja Jakarta. Yes.
Saya berencana untuk tetap berada di sevel sampai adzan subuh. Dan kalau sampai subuh tidak ada muda-mudi yang nongkrong, berarti saya menang dan berhak mendapat penghargaan sebagai “Remaja Gaul Radikal in This Year”.
Menjelang pukul empat pagi, ketika hendak menyalakan rokok, saya dikejutkan oleh sebuah Pajero yang menikung tajam dan berhenti di parkiran sevel.
Bangsat betul itu supirnya, pikirku. Tiba-tiba seorang perempuan berambut mengombak dan bodi semlohay keluar dari mobil sambil merajuk. Ia membanting pintu mobil dan berjalan terhuyung-huyung ke arahku dan duduk tak jauh dari kursiku. Tak lama setelah itu, seorang pria keluar dengan tatapan gamang dan bibir dikulum seperti sedang menyesal.
Sementara si pria masuk ke sevel, aku mencuri pandang dengan perempuan di sampingku yang mulai terisak-isak. Ingin sekali bertanya, tapi sejurus kemudian kubatalkan karena pelajaran penting hidup di kota adalah: jangan ikut campur urusan orang lain. Tak lama berselang, si pria datang dengan dua gelas minuman aneh yang keluar dari mesin kopi yang sampai sekarang, jujur saja, tak bisa kuoprasikan. Tapi, sebagai anak gaul, saya berjanji dalam hati: suatu saat saya pasti bisa cara mengoprasikan mesin yang bisa keluar kopinya itu.
”Lo ini kenapa, sih? Kalau gak sayang gw lagi ngomong dong. Gak usah ninggal pake alesan kaya gini,” kata si perempuan dengan teriakan tertahan.

Sorga dari Keprawanan Mbak Cantik

Suatu malam, seorang kawan datang kepada saya dan mengatakan bila dia akan menikah dua bulan lagi. Dia mengaku merasa senang karena akan memiliki seseorang yang bertanggungjawab penuh pada hidupnya. Karena, selama ini dia hanya dimanfaatkan para bergajul-bergajul cengegesan untuk kesenangan hormonal. Tapi, yang menjadi keresahan mbak cantik di depan saya itu adalah salah satu dari para bergajul cengengesan itu telah merenggut keperawanannya.
Di sisi lain, pria yang akan menikahinya ini tidak tahu bila si mbak cantik ini sudah tidak perawan. Kata si mbak cantik, hidup calon suaminya itu begitu lurus. Selain itu, pria ini juga sangat konservatif dalam urusan seks dan sangat percaya pada “mitos keperawaan” saat malam pertama. Inilah yang membuat hati mbak cantik—yang  salah satu hobinya adalah mentraktir saya nasi soto dan kopi pahit—ini gundah gulana.
Dia merasa kiamat akan datang di malam pertamanya nanti. Karena selama ini dia belum menceritakan soal masa lalunya pada calon suaminya. Dia kawatir calon suaminya bakal minggat bila tau dia sudah tak perawan. Meski setelah bertunangan dia menyesal karena tidak bercerita ke pasangannya. Sekarang, dia merasa sudah terlambat menceritakan hal itu dan membiarkan suaminya nanti tau sendiri.
Saya lihat mata mbak cantik memejam. Air mata meleleh di sudut matanya. Dulu saya kenal mbak cantik ini sebagai perempuan yang berpikiran ”merdeka”.  Dia menolak segala belenggu pada perempuan, termasuk keperawanan. Tapi, mungkin konstruksi sosial dan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat menggerogoti keyakinannya hingga dia merasa perlu menangis untuk ketakutan yang belum tentu terjadi.