Laman

Jumat, 29 Januari 2016

eS eM, Met Ultah EaNg ke tuJuH Eaaahh... Mumumumu :3

Tulisan ini adalah permintaan Riris (salah satu anggota Serikat ‘Mason’) yang meminta saya menulis catatan di ultah SM yang ke tujuh. Tulisan ini sebagai wakil atas ketidakhadiran saya, dan karena satu hal, tulisan ini terkirim, tapi saya minta Riris tak membacakannya. Saya bermaksud menerbitkan tulisan ini lantaran tidak ada gunanya saya simpan sendiri.
Kalau ada orang lain nyasar dan membaca tulisan ini, mohon maaf, tulisan ini sangat “kamar” sekali, karena ini antara saya dan warga SM. Terimakasih pengertiannya.

Saya bergabung di Spirit Mahasiswa—waktu organisasi ini pertama kali berdiri—atas dasar iseng ketimbang nganggur di kontrakan. Waktu itu saya gabung di SM atas tawaran Boyd. Tapi, seingat saya, saya pernah ditawari oleh Onix (teman seangkatan di Komunikasi), yang juga anggota LPM VOL.
Sebenarnya saya khawatir menerima tawaran Boyd, karena waktu pertama kenal, Boyd adalah sosok aneh dengan postur tubuh yang lebih mirip Ghatoloco ketimbang manusia. Menurutku, ia tidak pantas dipercaya kata-katanya karena koleksi hentai miliknya sungguh naudzubillah. Ia juga memiliki kebiasaan jahiliah di luar nalar: nongkrong di warung, mencegat rekannya yang lewat dan meminta rokok.
Sewaktu dia masih semester awal-awal dan masih miskin-banget, saya kerap memamerkan koleksi buku-buku karya Pram. Kata-kata yang saya tunggu dari bibirnya yang wagu adalah, “cok! Pinjami aku, cok!! Dua hari aku balikin.” Kalau sudah begitu, saya tidak mempedulikan dia dan berlalu dari hadapannya. Kalau sudah begitu, dia akan mengeluarkan umpatan dengan umpatan yang bikin gatal kuping. Meski, saya senang kalau dia marah dan kesal dengan saya.
Terus terang, meski banyak yang absurd dari Boyd, tapi saya harus jujur bila waktu itu saya meng-iya-kan tawarannya untuk bergabung di SM. Alhasil, jadilah saya pimred pertama SM dan Boyd yang jadi pimpinan umum. Sangat mudah sekali kan untuk jadi pimred? Ah, bukan saya sombong. Alasan mengapa begitu masuk, tanpa ikut pelatihan apapun, tiba-tiba saya langsung jadi pimred adalah karena saya memang SM adalah organisasi baru dan butuh banyak orang segera seseorang yang memiliki kharisma dan berwawasan kebangsaan.
Tentu saja pelantikan PU itu diwarnai dengan adegan yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan: (1) Sumpah setia dan patuh pada Presma, yang waktu itu adalah si Erfandi dari PMII; (2) Boyd cium tangan dengan persma; (3) Saya sakit perut menahan tawa selama pelantikan dia; (4) Setelah pelantikan dia mengumpat sepanjang sore karena saya ledek. Namun, yang saya catat di hati saya adalah rasa kagum. Karena tanpa itu semua—pengorbanan jatuhnya harga diri dengan cium tangan persma—SM tidak mungkin berdiri dan kalian tidak mungkin kumpul di tempat ini menyelenggarakan syukuran.
Nampaknya bisikan untuk meng-iya-kan ajakan Boyd benar-benar saya syukuri sampai hari ini. Boleh jadi, karena ajakan itu menciptakan sebuah belokan tajam di dalam hidup saya. Saya sendiri tidak sempat berpikir, tanpa berproses di SM saya akan jadi seperti apa. Mungkin kita tidak saling mengenal. Mungkin saya tidak perlu patah hati karena sering ditinggal menikah lantaran tak kunjung lulus. Mungkin saya tidak akan durhaka lama-lama karena mengabaikan omelan ortu untuk segera lulus dan kerja. Mungkin saya tidak perlu patah hati ditikam orang yang sudah saya anggap keluarga. Mungkin saya akan bikin laporan bulanan kerja di perusahaan dengan omzet yang besar. Mungkin saya juga mengencani tiga-tujuh-seratus pelacur dan merajah sajak cinta di dada mereka. Mungkin saya tidak jadi apa-apa. Atau mungkin juga saya sudah jadi batu.

Maudy Ayunda Ngebet Cari Alamat Pakde Dalbo

Maudy: aku udah ngebet ama kamu, mas!
Kata orang, Dalbo itu demit. Ia bisa anda temui di warung kopi: ngopi cakep, duduk sembarangan, membaca buku 1001 tafsir mimpi, melihat orang lewat, dan biasanya main catur dengan tukang beca.

“Tapi, warung kan banyak, warung mana tepatnya?” Tanya Maudy Ayunda, salahsatu fans berat si Dalbo.

Coba lihat sekitar anda, anda cari warung paling buruk tempatnya. Tidak in, kumuh, dan biasanya menjadi jalur lewatnya “sampah bau parfum murah”. Kalau tidak begitu, coba anda cari dia di sevel. Biasanya dia duduk di pojok dan di mejanya selalu mengalun musik dangdut yang menghentak-hentak nurani. Kalau sudah di sevel, coba anda sedikit bersabar untuk meluangkan waktu duduk di sana 3-4 jam untuk melihat pengunjung dengan dandanan paling oh yeah, bermuka ra umum, kelakuan agak wagu, dan betah duduk berjam-jam.

Kalau sudah ada pengunjung yang menurut anda sudah kelewat lama, coba anda cek mejanya. Biasanya, kalau pengunjung rada waras, pasti mejanya banyak makanan, tapi meja si Dalbo ini sangat “bersih”. Hanya ada sebotol air minum ukuran besar dan kopi hitam (bawa sendiri). Kalau sudah menemukan orang macam ini, coba cek, apakah dia menyalakan lagu-lagu dangdut yang menghentak birahi.

“Masa dia di warung terus, gak mungkin lah. Dia kan pasti punya tempat tinggal. Tolong dong kasih bocoran, aku kangen banget ama dia!” Pinta Maudy dengan mata memelas.  

Kalau kebetulan tidak ada di warung, anda bisa menemuinya di balkon kos-kosan. Kadang dia bisa telpon-telponan dengan suara kaleng rombeng. Kadang dia biasanya terlihat pus up dan sit up tanpa sebab atau Cuma diam sambil membaca jurnal ilmiah dari majalah Liberty.

“Please, dong, jangan main teka-teki. Bisa sebutin aja gak, dia ada dimana gitu?” Tanya Maudy dengan tatapan mupeng.

Dalbo tinggal di kos, dimana menjadi tempat singgah para artis papan atas jaman dulu. Biasanya artis ini orangnya agak sedikit “bandel”. Tempat yang ditinggali Dalbo itu banyak dihuni para tuyul dari bayi-bayi yang mati akibat aborsi, bayi yang lahir tanpa dikehendaki, bayi yang ditinggalkan begitu saja oleh ibunya.
Menurut kabar, di kos ini, Dalbo diurus oleh ekonom kelas dunia yang menelanjangi Adam Smith tanpa ampun dengan teori ekonomi yang dia ciptakan dan jalankan. Ia juga tinggal serumah dengan om-om yang sedang membayar dosa masa lalu yang punya kecenderungan nocturnal.
*

Dalbo 

Jumat, 15 Januari 2016

menenangkan kau

duh, kau. sebaiknya kau diam! seorang pelacur baru saja mati-sepi di kamar kos. jakarta perlu sirine ambulan untuk menangis. mengajak orang-orang sholat. mengingat bau karbol, jarum suntik, resep di kutang dokter dan tutorial keracunan obat.

dunia butuh ber KB dengan kabel listrik, kaus kaki bau yang dijejalkan, juga  kondom yang digunting ujungnya. puisi akan menetes dari sana. menumbuhkan bocah kecil dengan rajah iklan pegadaian. kita harus menitipkan anak-anak ke panti pijat agar cerdas, pintar dan beriman seperti jarum suntik. bersahaja seperti pemanis buatan di sevel dan circle-k. jakarta hanya panti jompo raksasa. dijaga puluhan dokter berkaki buntung. sebelah di pegadaian sebelah lainnya di universitas.

diam! diam! sebaiknya kau berhenti menangis. kita perlu mendengar seminar-seminar kentut. pelatihan mencekik leher, ilmu jambret, tutorial begal dan ajimat menusuk slilit-slilit keinginan dengan gelondong kayu hutan, beton mall dan vibrator. menggetarkan dada jaman dengan puisi yang tak pernah pergi ke kota. puisi yang sibuk mencari wajahnya di keranjang buah dan ikatan sayur.

sayang. tak kau lihat kah kekasihmu sedang pidato. aku bayangkan diriku menjadi profesor, ekonom universitas sabun mandi. aku ingin menjadi mereka. mengabaikan kemewahan rokok berkelas tukang becak. mengabaikan keberanian kredit motor. mengabaikan ramainya warung-warung remang. sebab dunia adalah catatan dingin dinas sosial. gepeng-gepeng yang layu di kerangkeng dan mati sepi karena nasi kangkung, jamu lemas dan proposal dari kepul asap rokok diskusi mahasiswa di warung remang sambil menyelam pada tuak-oli-autan