Laman

Kamis, 17 November 2016

Kebijaksanaan Dalahok Sang Gubernur Dudakarta

Dalahok (Gubernur Dudakarta)
Nama saya Dalahok! Profesi saya adalah Gubernur Dudakarta. Di kota ini saya memimpin para duda kapiran yang kabur dari negara tetangga karena bangkrut. Meski saya seorang gubernur, saya tetap kacung setia dan martir para bos geng pabrik plastik. Saya adik ke 430 dari Kak Dalbo. Mungkin Kak Dalbo sendiri tidak terlalu mengenal saya karena adik Kak Dalbo bukan hanya saya. Kak Dalbo mengudang saya untuk ngopi karena saya sedang bermasalah dengan guru saya, yang juga warga kota saya. Guru saya ini Ketua Kelompok Gatholocoli yang kerjanya adalah menguji kesabaran para muridnya, termasuk saya. 
Awalnya saya emoh memilih guru yang kerjanya hanya memprotes kebijakan yang saya buat. Namun, karena Pakde Dalbo atau Kak Dalbo menginstruksikan saya menerapkan ilmu belajar langsung pada sesuatu yang kita benci, alhasil bergurulah saya dengan Kelompok Gatholocoli. Ternyata berguru pada orang yang kita benci adalah sebaik-baik kebijaksanaan. 
Saya lahir di Mojoagun*. Sebuah daerah yang memiliki budaya lambe turah, nganggur, dan jahiliah. Mulut saya ini ndak enak kalau tidak ngeledek. Sejak kecil saya berlatih kungfu. Tapi seiring waktu, saya mengembangkan jurus kungfu paling sakti dan saya namai lambekungfu, atau seni bela diri kungfu yang mengandalkan bibir untuk memukul. Atau dalam bahasa inggris biasa disebut: cangkemanYou know cangkeman?  
Saya punya keunikan tersendiri yang jadi bawaan sejak lahir. Keunikan ini kerap mengantarkan saya pada petaka-petaka tidak penting tapi fatal. Keunikan tersebut adalah ketika badan saya tidak bisa diam dan akan terasa pegal-pegal kalau tidak ngisengin orang. Siapa saja bisa jadi korban keisengan saya kecuali Kakak Dalbo dan pimpinan Geng Pabrik Plastik Yang Doyan Impor Barang Gak Penting Ke Seluruh Dunia Ya Ya Ya (GPPYDIBGPKSD3Y). Selain dua orang itu, saya tidak takut menjahili siapapun. Bahkan guru saya pun akan saya jahili kalau saya sedang suntuk. 
Salah satu keisengan saya yang populer adalah menukar rumah warga dengan rumah burung dara. Membersihkan Kota Dudakarta dari para mbambung pengotor jalan. Memenuhi kota dengan manusia impor, dan banyak lagi. Kalau orang menyebut Soekarno sebagai bapak proklamasi, saya terkenal sebagai bapak reklamasi.
Tapi, di sisi lain, Ketua Kelompok Gatholocoli ini juga setali tiga uang dengan saya. Guru saya dan kelompoknya adalah garda terdepan pendemo segala kebijakan yang saya buat. Di mata guru saya, segala hal yang saya lakukan itu salah. Bahkan, mungkin menurut dia, saya lahir ke dunia pun juga salah. Tapi, di sebalik itu sebenarnya saya tahu persis kedalaman guru saya. Ia sangat menyayangi saya dan berusaha membuat saya tahu diri. Karena cara guru mendidik muridnya itu macam-macam: ada yang membimbing dengan menjadi sahabat, ada juga yang musuh kita. Dan adanya guru saya ini membuat saya tidak perlu repot-repot membeli kaca benggala di Glodok hanya untuk melihat siapa sejatinya saya. 
Meski saya sangat takzim dengan guru saya, tapi sebagai manusia yang normal, saya memiliki kadar kejengkelan tersendiri dengan guru saya. Meski kejengkelan dalam diri saya itu sifatnya fluktuatif, tapi yang jelas jengkel tetap saja ada meski kadarnya bisa berbeda-beda setiap saat. Terkadang, rasa jengkel yang secara otomatis tersimpan dalam diri saya ini kerap meledak sewaktu-waktu. Sehingga ketika saya ngomong baik-baik pun terkadang masih kerap keceplosan kata-kata yang menyinggung perasaan guru saya.
*
Bukan guru yang bijak namanya kalau dia tidak bisa memafkan saya. Biasanya rasa maafnya muncul tatkala dia sudah bisa memahami kekhilafan saya dan mengkalkulasi dengan cermat alasan dia marah; mengkalkulasi saldo kesalahan saya padanya. Guru saya ini tipikal seorang yang dianugrahi alam semesta kejelian mripat. Kejeliannya ini ia manfaatkan untuk mengkalkulasi—meski tidak 100 persen benar—setepat-tepatnya kesalahan saya. Setelah ia mampu mengkalkulasi kesalahan saya, biasanya ia akan menghukum saya sesuai dengan kadar kesalahan saya. Yang bikin saya salut padanya adalah kemampuannya dalam mengukur dan menentukan kesalahan mana yang patut dihukum dan mana yang tidak. Dalam hal ini, dia jagonya. 
Untuk orang sekaliber guru saya ini, tentu memahami bila kata-kata saya yang menyinggung hatinya adalah akumulasi dari kejengkelan saya padanya yang suka menyuruh seenaknya, terlalu menuntut, dan menghina hasil perenungan saya. Yang hebat dari guru saya adalah, ia tidak pernah menghukum saya untuk kesalahan yang mungkin bisa dibilang manusiawi ini. Sedangkan hukuman yang sedang saya terima darinya adalah karena akumulasi dari kesalahan saya yang lain, seperti: membuang tikar tempat dia tidur dan menggantinya kertas koran. Atau terkadang ketika kamar kos yang dia sewa, saya sewakan lagi ke teman-teman saya dari kelompok GPPYDIBGPKSD3Y yang kebetulan butuh tempat mesum darurat dengan harga murah hingga guru saya sendiri terkadang sampai duduk jongkok menunggu kawan saya selesai main.
Jadi, kalau pada suatu hari dia menghukum saya, tentu itu bukan berasal dari kata-kata saya, tapi akumulasi dari kesalahan-kesalahan saya selama ini padanya. Mestinya, dia tidak perlu menunggu saya berkata sesuatu yang menyinggung perasaannya untuk dapat menghukum. Bagi saya, ia berhak menghukumku karena: dia guruku; saya muridnya; saya rela dihukum; dia mau menghukum. Dan jadilah saya tersangka. Dengan kata lain, guru saya dan para pengikutnya yang lain itu tidak kehilangan fokus dan marah hanya perkara kata-kata saya, melainkan menghukum karena kesalahan-kesalahan yang lebih fatal yang menyangkut kemanusiaan, perut orang banyak serta tempat tinggalnya.
Ya, bila ada dua pihak yang terlibat persoalan pastilah masing-masing pihak punya andil salah. Tinggal masing-masing pihak ini mau memahami dan memaafkan atau tidak. Meski demikian, saya sadar bila maaf hanya akan membuat saya bersih di mata tuhan, tapi tidak di mata hukum. Salah dan dihukum itu ”benar”. Kalau salah tidak dihukum itu dobel salah namanya.  
Bagi saya, status tersangka yang baru saja ditetapkan Barbar-Eskrim adalah anugrah luar biasa. Status ini membuat saya sadar bila kata-kata sembrono yang nyeplos adalah sebuah momentum yang datang dari semesta. Seperti ”tangan Tuhan” yang membuat banyak orang kembali ke ”biliknya” untuk bersunyi-sunyi. Mengukur diri. Mengeram. Dan menyesali perpecahan yang sempat terjadi. Dan yang penting mengembalikan persatuan kelompok-kelompok.
Saya senang dialektika cinta antara saya dan guru saya ini hanya terjadi di Dudakarta. Apa jadinya kalau sampai terjadi di Jakarta (baca: tempat genderuwo manak)? Saya ogah tinggal di sana. Semua orang bersikukuh dengan benarnya masing-masing. 

Citra D. Vresti Trisna

Dudakarta, Kamis Legi, 17 November 2016

Senin, 14 November 2016

Gembelengan Kolektif

Gundul-gundul pacul, gembelengan. Nyunggi-nyungi wakul, gembelengan. Wakul glimpang segane dadi sak latar (--seorang bocah—kepalanya gundul sembrono. Membawa bakul nasi di atas kepala dan sembrono. Bakul nasinya jatuh nasinya berserakan ke mana-mana).
*
Teman sekamar kos saya kelimpungan. Mukanya merah padam menahan amarah mendapati saudara jauhnya (yang juga tinggal sekamar dengan kami) resign kerja. ”Teman saya yang juga baru juga resign, saya ndak mau sendirian. Kerja di sana juga ndak enak,” ujar si bocah. Teman saya marah karena merasa disepelehkan; tidak dihargai perjuangannya mencarikan kerja kemana-mana. Teman saya merasa rugi korban waktu sampai harus izin cuti demi mengantar saudaranya ini cari kerja. Meski (mungkin) teman saya juga sadar bila upayanya menolong saudaranya itu bukan dalam rangka dagang yang harus terlibat untung-rugi.  
Teman sekamar saya sempat tidak mau bertegur sapa dengan saudara jauhnya. Tapi, setelah mengungkapkan kekesalan dalam hatinya, teman saya melunak. Padahal sebelumnya saudara jauh teman saya ini mau diusir, lantaran sudah beberapa kali dicarikan kerja tapi tetap saja keluar karena tak nyaman di tempat kerjanya yang baru. Saya sendiri hanya diam, tak berani ikut campur. Hanya kalau kebetulan kami hanya berdua di kamar, saya nasihati dia dan memberinya semangat dan mengingatkan agar tidak terlalu menuruti enak dan tidak enak kalau hidup di Jakarta. Terlebih jika hanya lulusan SMA tanpa ada daya tawar.  
Bagi saya, alasan saudara teman saya itu gembelengan. Saya sempat heran juga: kok, ya, makin modern hidup itu makin banyak anak-anak muda pemalas. Dulu, hiburan tak sebanyak sekarang, tapi kenapa banyak orang jadi pemalas. Harusnya, karena hiburan makin banyak, mereka semakin giat bekerja karena hiburan juga tidak ada yang gratis. Saya berani bilang seperti ini lantaran, saudara teman saya ini juga senang ditraktir nggaya, senang-senang di tempat hiburan.
Awalnya saya agak gregeten juga dengan bocah ini. Padahal di Jakarta, sebagian besar orang berlomba-lomba membeli hidup. Kerja siang-malam, sikut kanan-kiri, cari peluang dan jilat sana-sini agar bisa membeli hidup. Kepedulian satu sama lain itu seperti suara merdu yang terdengar menjauh. Tapi, setelah saya pikir lagi, bocah ini adalah tamparan buat saya. Bocah ini mengingatkan bila mripat saya masih rabun untuk melihat apa yang ada dibalik semangat kerja dan ketidakpedulian genderuwo-genderuwo Jakarta.
Bocah ini memang gembelengan dalam bekerja. Gembelengan sebagai pria dewasa yang sudah semestinya bertanggungjawab pada dirinya, orang tuanya dan adiknya. Kemalasan bocah ini juga dipicu oleh kemalasan atasannya yang menganggap dengan adanya bocah ini untuk bermalas-malasan. Meski tugasnya adalah membimbing bocah ini kerja karena masih baru, tapi tidak dilakukan dan justru seenaknya cari keuntungan lain di luar. Tapi, di balik itu, atasan si bocah ini juga didorong oleh big bosnya lagi yang juga malas memperhatikan kesejahteraan karyawan; malas untuk sama-sama bekerja keras untuk memajukan perusahaan. Padahal, si bos geng juga pengen untung besar. Alhasil, untung besar itu diwujudkan dengan memanipulasi hak karyawan. Biar bawahan kerja setengah mati asal bos geng untung besar itu bukan soal.
Sementara pemerintah, yang seharusnya mengurus kesejahteraan juga gembelengan. Namanya saja kabinet kerja, tapi kerjaannya, ya, jual negara ke sana-sini. Tidak ada kemandirian membangun sendiri negara dengan segala sumberdaya dan tenaga yang ada. Kemalasan yang tersamarkan dengan kerja keras itu akhirnya diwujudkan dengan mengundang investasi asing masuk. Investasi jadi satu-satunya solusi paling masuk akal. Akibatnya, demi menjaga agar tamu yang diundang datang mengeruk kekayaan Indonesia ini betah, maka pemerintah harus buat sistem yang baik bagi mereka. Semua kekumuhan harus direlokasi (baca: GUSUR) demi kenyamanan para tamu. Setelah lahan-lahan digurur, dibangunlah tempat yang nyaman dan mahal untuk para tamu.
Pemerintah juga dituntut melancarkan pekerjaan para tamunya dengan membangun infrastruktur di sana-sini agar mereka bisa bekerja dengan enak. Agar tamunya betah, matane pemerintah harus sedikit picek ke hak-hak buruh yang sejatinya merupakan warga negara. Kalau buruh minta upah terlalu tinggi, bisa bikin tamunya tidak betah. Kalau buruh banyak menuntut hak, produktivitas rendah dan itu tidak baik bagi tamu. Karena memang sejak dulu tuan rumah itu harus memperlakukan tamunya seperti raja.
*
Subhanallah sekali kemalasan-kemalasan di kampung yang bernama Indonesia ini.
Nanti kalau si bocah ini pulang ke Kuningan, kampung orang tuanya, para tetangga akan kasak-kusuk ngerumpi. ”Eh, si anu pulang dari kota, tetap kere...” Kalau sudah sukses bawa tipi-kulkas-kredit motor: ”eh si anu pasti kerjanya gak bener di kota. Masa begitu kerja udah bisa beli macam-macam. Kerja apaan memangnya bisa kaya gitu?”
Malang benar nasibmu, bocah. Pulang gagal dimaki; pulang berhasil orang pada dengki. Kadang saya juga rada gimana gitu dengan hal-hal semacam ini. Kalau tidak bisa membantu, ya, mbok ndak usah memaki, mengkuliahi, menyalah-nyalahkan. Saya pun demikian. Tidak seberapa membantu bocah ini juga akhirnya tergelincir untuk sempat menyalahkan si bocah tanpa mau berpikir lebih jauh, melihat lebih jauh, dan berempati lebih dalam. Maafkan saya, ya, bocah. Kalau nanti kamu dapat pekerjaan lagi, jangan gembelengan. Memang tidak enak rasanya jadi gedibal, bolodupak-an di kampung sendiri.
Kalau kau dengan segala gembelengan yang ada dalam dirimu adalah cerminan dari wajah kami. Maka seharusnya kami bisa maafkanmu dengan menerapkan ilmu orang tua: merasa seakan-akan menjadi orang tuamu yang bisa menerima kenakalanmu, kesalahanmu. Marah bila kau disakiti dan ikut merasakan segala luka yang kau sembunyikan tanpa sempat kami pahami. Tapi, berapa biji orang yang mau seperti itu?
Ya, Gusti. Maafkan sikap gembelengan kami.

Citra D. Vresti Trisna

Kosan Lantai Dua Yang Ada Sofanya, Senin Pon, 14 November 2016


Selamat tidur, jangan gembelengan lagi, ya.

Minggu, 13 November 2016

Status dan Jakun Meriang

Dunia memang sudah gulung kuming. Di puncak saya mulai wegah dengan media sosial. Seorang dari kawan lama SMS: ”mas Dalbo, kok, jarang nyetatus lagi? Saya senang dengan status yang kamu buat!”
Setelah keluar dari toko buku, saya lenger-lenger sambil udut dan membaca lagi pesan darinya. Ini maksudnya apa, ya? Saya agak kurang ngeh arti kata ”nyetatus” yang saat itu saya maknai sebagai ”status; keadaan atau kedudukan”. Karena istilah ”status” ini bisa saja diartikan sebagai status facebook, status bujang lapuk, status pacar, pernikahan, atau mungkin bisa saja status sosial yang lainnya yang menohok batin.  
Dulu saya memang hobi bikin status panjang di facebook. Dorongan ke-alay-an saya terus merangsek ke dalam batin hingga tak pernah tahan untuk tidak meluapkan isi pikiran menjadi kata-kata yang muncrat-muncrat wall facebook. Saya pun masih ingat bila kawan saya ini dulunya sering mengetik amin dan share komentar dan like di status panjang saya. Tapi, apa iya bila status yang dimaksud kawan saya itu adalah status facebook? Karena tampang saya terbilang jauh dari aktor-aktor garda depan industri motivasi yang selalu mendapat like dan komentar dari teman-teman. Terlebih, meski saya alay, tapi saya bukan seleb tweet yang genit.  Maka saya mengeliminasi ”status facebook” sebagai kata yang dimaksudkan kawan saya sebelumnya. Dhapurmu iku sopo, blo, soblo. Kalau kata penyair ikan bandeng, saya ini cuma pemungut ranting.

Sepulang dari Gramedia Mamamen, saya tidak langsung pulang karena sudah janjian untuk kongkow bareng dengan jakun-jakun kosan yang jomblo atau sedang LDR di Warkop Tempo Sekarang daerah Salemba. Di sana pun, kami cerita soal hantu di kosan, hantu di kampus, kampung, curuk dan hantu kesepian di malam-malam gelap. Kami juga tertawa lepas. Tapi pahit sekali rasanya. Kanan-kiri-depan-belakang kami duduk muda-mudi berpasang-pasangan. Mereka seperti acuh dengan tawa kami yang meledak, kecuali mas-mas penjaga warung yang juga jakun-jakun yang kerap nyengir kuda sambil mesam-mesem menatap ke arah kami. Mungkin mereka diam-diam mbatin, ”oalah, bekakas iki teko maneh.”
Jakun-Jakun Meriang

Sepulang dari sana pun, para jakun koplok ini masih mengajak ke Bundaran HI. Untuk apa lagi? Ya, jelas untuk menggenapkan luka sepi. Kemudian, bujang-bujang stres (tidak termasuk saya) mengajak ekspedisi taman di Jakarta. Alhasil berkelilinglah kami ke Taman Menteng, Taman Suropati. Tapi, belum genap ekspedisi itu, Mas Rombong, salah satu jakun kesepian itu mengajak kami untuk melihat porstitusi pinggir jalan. Usai melintasi tempat itu, bisik-bisik sebentar, berdebat akan ngopi lagi di sana atau langsung ke tempat berikutnya. Akhirnya diputuskan: pulang.
Saat hendak ambil wudhu, sarung saya tersangkut kawat timba milik janda di sebelah kamar kos saya. Saat itu juga pikiran saya dikembalikan ke SMS kawan saya tentang status. Mungkin karena janda di sebelah saya ini kerap didatangi pacarnya untuk dokter-dokteran tiap malam minggu. Dan waktu sarung saya kesangkut, ”status” yang muncul kali ini berbeda. Status yang berputar di kepala saya ini lebih bersifat kamar, pribadi. Status yang mungkin membuat jakun-jakun semangat ini ngeluyur tiap malam minggu. Mungkin karena pakewuh satu sama lain kami membuat kami hanya melihat-lihat saja; jadi akal-akalan ekspedisi taman; kongkow di warung hanya untuk pesan mie goreng doble plus Kopi Temanggung.
Apa kami tak ingin mengakhiri masa lajang? Tidak juga. Seandainya membuat status ”kawin”, ”tunangan”, itu semudah bikin status FB, tentu kita tak akan semeriang ini di malam minggu. Betapa menuju ke status ”ora bujang maning” akan menyenangkan banyak pihak: keluarga, teman, mantan, sahabat dan bahkan musuh. Tapi, birokrasi untuk ke sana itu ribuan kali lebih rumit dari pengurusan KTP, lebih rumit dari presentasi menawarkan iklan koran di perusahaan, presentasi tugas jaman kuliah.
Angin dini hari di Jakarta itu dingin. Sedangkan kasur dengan ”status” itu kelewat hangat. Kalau di suruh memilih... Ah, kau tahu, aku ini bukan orang bodoh.

Kosan Setia Kawan Lantai Dua Yang Ada Sofanya, Sabtu Legi, 13 November 2016

Citra D. Vresti Trisna


Jakarta dini hari 


Rabu, 10 Agustus 2016

Betis Kekasih di Bulan Desember

Rogojampi pukul 00:00

malam hampir perempuan
jam dinding beku pada pukul 00:00

pejalan mematung. rumah-rumah pergi
mencari pulang dalam ransel
perang dunia di mata seorang gadis
menelan dengung sirine

hujan turun. malam jatuh. jatuh
gonggong anjing bulan di setengah tarikan mantra
tenung yang dibikin dari tarian di tengah sawah
menyala-mengisi lagu malam dendam

“selamat malam rogojampi.”

pejalan menjatuhkan tahun-tahun
di kursi panjang. bunyi dengkur halus
pria tua yang keningnya bau lampu
mendongeng. kisah kematian
yang mengungsi

ada rindu petik gitar menjauh
suara perempuan yang dadanya rindu
kekasih. menyalakan korek api dari malam minggu
tragedi, televisi, suara nakal dan buku sihir yang melipat
rogojampi menjadi garis-garis pagi
(2015)

Sakit kepala di pesta kebun
            -kepada yuslisut

mata, rambut dan struktur giginya lapar
menunggu bau bandeng digoreng
            di rumah seorang kawan
sepiring nasi disajikan dari kemiskinan terstruktur
negara yang tak punya istilah

di pipinya yang berminyak, melekat biji puisi
            rumus ekonomi:
bahasa yang mendongeng, cerita kekasih
ditulis di layar kalkulator, rekening bank
siraman kuah sayur di layar komputer
menciptakan sakit kepala; anak-anak kuliah
mengarang mantra di pesta kebun

“dimana tempat orang merayakan hari libur,
di situ aku bersembunyi.” ucapmu

tali gantung diri kah yang mendekat
pada mimpi (yang kubayangkan) seperti kamus
sastra lapak dan kartel gatholoco?
di dekap kritik tajam yang kehilangan identitas
kau tersenyum

sebuah kaca di meja belajar akan membantumu
menulis kisah padi di atas kartu remi bergambar
ikan bandeng, kuah sayur dan sambal trasi
(2015)

Desember

halo desember!
yang membuatmu cantik adalah gelas kopi
sebuah asbak dari kayu gharu dan hari libur

rencana selfi di perut televisi saat konspirasi
tidur pulas. saat itu kita bisa hidup manis
dengan bungkus energen di ruang tamu
kutang pelacur dan sebungkus pecel

kita adalah asal usul telanjang dalam kitab porno
hasil penelitian profesor anu
saat kepala yang terpenggal adalah anggur merah
peresmian ulangtahun asosiasi ritel
mengingatkan arti ber-KB, mati muda
dalam data-angka statistik

halo desember!
jaga kesehatan agar kau tak mati dalam spekulasi
ya-tidak bermaterai 6000 dan tali gantung diri
(2015)


Betis kekasih
: kekasihku, dedes

di betismu, kasih
semiotika yang mandul mengeja ardhanareswari
definisi dan bahasa yang diperkosa kamus

di betismu kah peta yang mengantar kami
ke inti hijau. desa panggul
kejayaan yang mengungsi dari bedil
memenjarakan penjaga candi-candi di ruang mitos
konsumerisme dan hotel kelas melati

kasih, biar aku telusuri betismu dengan napas
kredit motor-mobil agar kami lebih mengerti
kedengkian bangsa-bangsa. marang cahaya
wahyu keprabon yang melesat-menjauh
dibawa kontainer yang setia

ke barat
(2015)

Sebelum-setelah tragedi

tragedi, setelah hujan
adalah selamat malam
yang biasa saja
seperti lelaki dari ujung kabut
pulang muram

lampu merenung
mengawasi jalan,
mengajak menangis. tragedi
sepulang mengaji
darah kesekian yang tumpah
di matamu-mataku

menjelang pagi
perempuan sunyi memasak
kenangan pemuda kota
terjebak tragedi
rumah-rumah gila
tak pernah kembali

(2015)

Pernah dimuat di nusantaranews edisi July 31, 2016


Selasa, 19 Juli 2016

Rumah Sakit Jiwa Raksasa

 Di kota ini kita bisa saling melambai seperti alien dihadapan sekumpulan orang asing. Kita juga bisa saling melempar senyum lalu saling melupakan.

Di kota ini, tempat dimana uang bisa membuatmu diperlakukan seperti raja. Uang juga bisa membuatmu lupa dan menganggap orang yang melayanimu tak lebih dari handuk yang mudah di buang ke keranjang. Setelah diantara kita merasa mampu membeli bulan madu dengan makan malam romantis dan sedikit membeli hidup tapi sejurus kemudian kehilangan identitas. Kehilangan kepercayaan dan tak menginjak tanah.

Di kota ini kita bisa saling membesarkan dan merawat satu sama lain. Karena kota ini telah menjelma menjadi rumah sakit jiwa raksasa. Dan kita semua adalah penghuninya.

Di rumah sakit jiwa raksasa ini, bayi-bayi akan terus lahir. Mereka tumbuh menjadi orang asing, menjadi pot bunga yang ditanami kembang-kembang ideologi, kemarahan, pertentangan, dan sperma iblis. Mereka akan tumbuh jadi penghisap lem kertas atau bocah yang kehilangan tempat dan waktu bermain lantaran menyuntuki sekolah-sekolah internasional untuk mencari kunci mobil di bra molor janda-janda kota. Menyuntuki kursus bahasa asing agar mampu menginjak kepala orang lain dan memaksa korbannya terus menghisap lem kertas sampai mati. Lalu bocah itu beranak pinak pula.

Di rumah sakit ini kita akan sama-sama tua di ranjang empuk bau obat-obatan. Menyadari begitu jauh kita melancong dan meninggalkan rumah kemanusiaan. Lalu ingatan akan mati mengundang wajah bapak ibu, kemanusiaan di pegadaian, welas asih di tali jemuran dan wajah sahabat yang pernah kita sembelih dengan canggih.

Di rumah sakit ini, mainan-mainan modern perlahan merubah kita menjadi pelacur berkaki satu dengan leher terjerat dan mulut tersumpal kaus kaki baru. Semua demi liburan luar negeri, pesta ulang tahun, bau porselen mall dan hotel penuh sperma yang kasat mata. Semua demi ketika membuka mata di pagi hari, tak ada porselen, selang infus, kemoterapi dan rambut yang berguguran. Padahal kita tak pernah kemana-mana kecuali mengantre di kuburan.

Di kota ini, kita lupa cara mencumbui kemanusiaan lantaran terlalu lelah dan bosan mencumbu bibir suami-istri. Kekasih-kekasih kita terlampau cepat menjadi orang asing.

Di kota ini, sungguh... Terlampau indah untuk bisa kita kencingi pojok ruangannya.

Di kota ini, sungguh... Terlampau indah resto dan cafenya untuk kau lewatkan tanpa mentraktirku makan malam.


Jakarta, mau tanggal tua Juli 2016

Citra D. Vresti Trisna

Minggu, 17 Juli 2016

Waktu Puisi Berhenti

Kepala lelaki
            : kepada kekasih es

melancong dan berenang dalam isi kepala
saat jam dinding beku-ngilu

siang hanya merangkak ke punggung lelaki
yang menyama-nyamakan kelaminnya
dengan kampus-kampus berpendingin

lelaki, mengaji adalah ingatan
sekoper perempuan dengan kepala berlubang
tembus ke neraka, ruang tamu
dengan televisi layar datar, menerangi
isi kepalamu dengan kunci mobil
pencekik leher dan obat kuat

pergi jauh ke dalam kepala lelaki
tempat angsa, kelok sungai lenyap
manusia digiling menjadi kaleng minuman
yang gagal memahami:
embun adalah jalan peluk-cium tuhan

bukan jembatan
tempat perempuan-perempuan melintas
lindap ke pelukan lelaki berpenghuni
(2015)

Bunyi identitas

memahami bunyi
langkah kaki pria bersepatu warna tanah
adalah sedepa dari pelajaran:
pengembara tanpa jas hujan
adalah roh identitas pencari alamat
di jalan struk atm di dada seorang
gadis nomor 5 dengan kode pos 34b
identitas adalah memahami asal bunyi
ning tersamarkan. obrolan desa, batu-batu
warung kopi. jalan setapak sebelum malam
tertimpa deras bulan dan keruh ingatan
bocah ngelangut: ketakutan di meja belajar
yang penuh ibu-ibu berdaster bau ayah

bunyi identitas ini, duhai
yang mengantar ke tempat gelap-hangat
dan asal-usul
yang tak mungkin didatangi lagi

(2015)

Waktu puisi berhenti  

malam jatuh telanjang
sepi menenun seorang gadis

“pukul berapa ini?”
sebaiknya puisi diakhiri
benar-benar berhenti
ke pelukan kekasih, tapi
malam masih “malam”

perempuan, adalah caramu
mencintai lelaki
lewat perseteruan dua ritel
yang berjanji dengan sebotol anggur
di ji-expo, kerling mata teori nilai lebih
juga sebuah iklan neon
datanglah pada kami
rumah gila sehangat kekasih

dan puisi benar-benar berhenti
(2015)

nb: tau dimuat nang Banjarmasin post edisi Minggu, 26 Juni 2016

Selasa, 23 Februari 2016

Tahun-tahun Penuh Rindu Laut & Kembang Cahaya

getah tahun

tak perlu takut pada getah tahun
ia hanya perekat yang dicipratkan
pada pisau dapur agar bulan robek tertikam
dan cahayanya bocor memenuhi telaga
malam akan jadi secantik dan secerdik kau
melarung cinta kita usai pasar malam

(2015)

mawar merah

kuhadiahkan padamu seikat mawar
merah. menyala seperti celana dalammu;
seperti kemarahanku hingga aku terburu-buru
meninggalkanmu menangis
sendirian

(2015)

Minggu, 21 Februari 2016

Kalijodo dan Keberanian Anak TK

Kalijodo! Mengapa harus kau yang bakal tumpas? Mengapa dengan cara seperti ini kau dibubarkan? Menurut saya, ada tiga hal yang jadi penyebab kekalahanmu: pertama, mungkin kau sedang sial. Kedua, mungkin ini adalah waktu yang (dianggap) tepat. Ketiga, ini takdir.
Mungkin ketiga jawaban itu benar. Kalau pun salah, tentu alasan terakhir tidak mungkin salah. Karena nyatanya kau memang bakal tumpas. Saya tak pernah membayangkan kau harus habis dengan cara ini. Ketika orang-orang kalap dan kehilangan dalih, kau harus disingkirkan 29 Februari nanti. Kalau benar kau sedang sial, saya tak akan banyak komentar, karena kesialan adalah kesunyian yang tak dapat digugat. Tapi, kalau penutupanmu dianggap sebagai momentum yang tepat, mungkin saya akan cerewet.
Kalau benar, kau hanya tumbal orang kalap yang kehilangan dalih, maka keputusan itu bisa benar juga bisa salah. Benar, karena letak ”pelacuran” dalam diri manusia melebihi kedekatannya dengan Tuhan. Pelacuran bersemayam di jantung. Hidup dalam diri manusia dan mengeram. Pelacuran berdenyut pada nadi manusia paling alim sekalipun dan membuat mereka karap malu-malu tapi ngaceng. Sehingga keberadaan mereka adalah sebaik-baik jalan agar orang terusik dan ribut lalu perhatian mereka tertuju padamu.

Sabtu, 20 Februari 2016

Menangisi Orang yang Jarang Pulang

Melahirkan Aku           

bila kau rindu hujan pertama
pembawa banjir tubuhku. ikat aku
dari sekian banyak aku; tiriskan
salah satu aku agar terbelah
seperti biji rumput. seperti
kemacetan kota yang cemas

lahirkan aku seperti teluh
melesat-tembus ke jantungmu
membakar tahayul yang mengeram
mencungkil kontainer modernitas
yang tumbuh bersama dongeng
bulan purnama yang bocor tertikam
dan cahayanya bocor. mengalir
ke parit-parit yang baru dikeringkan

bila kau tak menghendakiku
sebarkan biji aku di pusat kebugaran
di mall senayan agar aku menjadi kau
dengan wajah yang lain. wajah
yang selalu ingin kau setubuhi
saat musim berubah jadi kemarau

(2015)


Melancong ke Langit

kuhadiahkan padamu setangkai kembang
kelopak yang menyala ketika lampu padam
mengetuk pintu kamarmu dengan seribu gelap
mengelus tubuhmu dengan mesin aborsi
membantumu mengenali wajah kita. wajah
kecil yang senang melancong ke langit

(2015)


UI-joyo di Danau UI

Allahuakbar sekali rasanya. Ingin berangkat ke Pulau Seribu, lha kok bisa-bisanya nyempal ke kampus UI. Rencana piknik dengan Pebri (fotografer kantor) gatot karena saya kesiangan. Saya baru tiba di Pelabuhan Muara Angke pukul sembilan pagi. Kabarnya, sudah tidak ada lagi kapal yang berangkat. Sementara nasihat dari warga sekitar untuk mengejar kapal di pelabuhan lain (yang saya lupa namanya) hanya terdengar samar-samar dan blub... blub... blub di kuping. Biasalah, namanya juga kecewa. Wajar dong bray.
Rencana berubah. Kami memutuskan balik ke kos dan minta tolong si tembeleksinga alias Rizal, alias Banyumas, untuk mengantar kami ke Stasiun Duri. Sepanjang perjalanan kami tidur dan ketika tergagap bangun, kami sampai di Stasiun UI dan turun. Rasanya perjalanan kami kali ini susah dinalar. 
Berjalan membelah kerumunan dan lalulalang mahasiswa UI membuat ingatan saya kembali masa-masa kuliah. Masa ketika kampus saya mengadakan study banding ke UI. Saya mohon anda tidak salah sangka dengan kualitas kampus saya. Karena di Indonesia itu ada dua jenis kampus UI: pertama UI Depok dan kedua UI-Joyo. Kedua kampus ini dulunya adalah satu, tapi karena Gusti Allah berkehendak lain, akhirnya terpecah jadi dua.
Soal UI, ingatan saya dikembalikan ke wajah mbak-mbak cantik dan kinyis-kinyis semester tiga. Mereka mengajari saya — yang waktu itu sudah semester lima — tentang arti organisasi, kegiatan yang baik, cara berorganisasi yang dapat kami terapkan di kampus kami. Tetapi, ya, begitu itu. Kata-kata mbak cantik ini juga terdengar blub... blub... blub di kuping.


Wes toh, mbak. Ngomong sempak a koen iku. Wes talah, timbang raimu ngomong aneh-aneh, berkeluarga ae ambek aku. Gelem a?

Ya, ya, ya, kadar kriminalitas saya waktu itu memang overdosis.
Saya ini tidak habis pikir, mengapa ribuan siswa-siswi SMA sekarang pada kebelet berkuliah ke kampus ini. Bayangkan saja, apa yang bisa diharapkan dari kampus yang di sana-sini banyak memajang spanduk jorok bertuliskan larangan merokok. Meski kondisi sekitar kampus bersih, tetapi jalan dari Stasiun UI ke lokasi kampus cukup bikin kaki kekar. Ah, pantas saja cewek-cewek UI, meski cantik-cantik, tetapi berkaki kekar.
Suasana kampus UI Depok memang terasa adem ayem meski tidak pakai tototentrem kertoraharjo” macam Kalijodo. Muka mahasiswa-mahasiswi kampus ini cukup bening. Yang cowok, meski tak sebening Saipul Jamil (idola umat), tapi cukup lumayan buat digampar. Bagi saya, senyum mahasiswi UI Depok ini terbilang mahal.  Banaspati macam apa yang merebut senyum mereka? Belum lagi senyum kecut mereka menyaksikan saya mengambil gambar si Pebri di Fakultas Hukum. Mungkin ini kelakuan norak di mata mereka, tapi, ya, sudahlah.
Setelah cukup lelah berjalan, kami memutuskan untuk ngopi di sebuah kantin dekat danau buatan. Kantin ini cukup unik karena setiap waktu salat, kantin ini tutup sementara.
Kami ngopi dan makan sambil menikmati tatapan tak bersahabat dari para penghuni kampus, yang mungkin tak suka dengan dandanan saya, terutama celana robek-robek saya yang kelewat batas toleransi dan standar style.
Yang membuat saya tergetar dari perjalanan ini adalah ketika menumpang salat di masjid dekat kantin. Usai salat, saya leyeh-leyeh sambil bersandar di pojok mesjid untuk melihat-lihat aktivitas para mahasiswa. Dan ternyata, luar biasa sekali salat mereka. Dibandingkan dengan masjid di kampus UI-Joyo, masjid kampus UI Depok jauh lebih ramai. Lebih banyak orang-orang yang duduk bersila. Ada yang berdiskusi seputar isu terkini, soal agama dan seputar kuliah di serambi masjid. Pemandangan di bagian belakang mesjid tak ada bedanya dengan mushalla di kampung. Banyak yang kelesetan mikir utang. Kalau di mesjid ini, mungkin mereka memikirkan masa depan macam apa yang pantas bagi sarjana cap UI. Atau mungkin sesekali membayangkan, berapa gaji yang pantas untuk mengganti hasil belajar empat tahun.
Di barisan paling depan, ada mahasiswa-mahasiswa yang sedang sholat berjamaah. Di sebelah saya ada juga yang main HP, ada juga yang doa setengah nangis. Ada yang menunduk dan merenung. Mungkin ia sedang berdoa agar jangan sampai punya peluang mengisi pos-pos buruh pabrik di bagian produksi. Ada yang membaca tafsir Al Misbah, Qurais Sihab, sambil sesekali menilik ponsel mereka yang sebesar telenan dapur.
Ya, Gusti saya senang dengan pemandangan macam ini meski saya tidak sepenuhnya tergetar. Inferioritas saya kumat melihat pemandangan macam ini. Pikiran saya jadi mengembara kemana-mana dan membuat saya mendadak goblok. Saya jadi membayangkan, kalau mungkin diantara mereka tak ada yang sudi dibayar dengan gaji rendahan sekelas buruh coro, lalu siapa yang bersedia tersingkir dan jadi bebodoran hidup alias sarjana ”madesu”?
”Ya, UI-joyo, dong. Siapa lagi?” kata sebuah suara yang mungkin datang dari sebalik rusuhnya pikiran saya.
Jawaban itu membuat saya gelagapan. Mungkin saya kurang ngopi. Saat itu juga saya kembali lagi ke kantin.
”Ayo ngopi lagi, Peb?”

*
Skenario Gusti Allah menciptakan dua kampus UI (UI Depok dan UI-Joyo) ini memang luar biasa. Kalau UI Depok ditakdirkan bicara ndakik-ndakik, maka pihak yang harus mendongak mendengarkan adalah UI-Joyo, seperti yang saya lakukan waktu study banding dulu. Begitulah syariat alam. Kalau kedua UI (UI Depok dan UI-Joyo) sama-sama bicara ndakik-ndakik, lantas siapa yang mau mendengarkan. Kondisi ini bisa membuat chaos di kedua kampus UI. Kalau UI-Joyo tidak ditakdirkan mendongak dan mendengarkan, bisa dipastikan penderita darah tinggi di UI Depok akan meningkat tajam.
UI Depok adalah salah satu hal, dan UI-joyo adalah pelengkap. Coba bayangkan kalau ijazah dua kampus UI (UI Depok dan UI-Joyo) tersebut punya nilai yang sama di mata dunia kerja, tentu UI Depok bakal kesulitan membangun karena tak bisa mematok harga tinggi pada para mahasiswanya. Kalau semua kampus punya nilai yang sama, tentu kapitalisasi pendidikan akan bangkrut. Dan tentu saja ini tidak baik, tidak seimbang.
Kepada sarjana lulusan UI-joyo, Alfatihah.
Mengapa saya hanya mengirim Al Fatihah untuk semua sarjana lulusan UI-Joyo? Tentu saja karena mahasiswa UI Depok lebih piawai merayu Gusti Allah untuk meminta kemaslahatan dan kemapanan hidup untuk diri mereka sendiri. Bacaan salat mereka jauh lebih fasih karena dipupuk dan didukung oleh lingkungan yang baik. Berbeda dengan UI-Joyo, kampus nyelempit yang harus mengikhlaskan dirinya menerima takdir sebagai kampus KW 3. Mahasiswa UI-Joyo juga harus menghadapi badai cobaan dari tototentrem kertoraharjo-nya gang dolly, gang texas, telang asri bergoyang, dan perum cendana muncrat-muncrat.
Jangankan untuk berdekatan dengan Gusti Allah. Bahkan, dengan hambanya di UI Depok pun mereka sangat sungkan. Bahkan, doa mahasiswa UI-joyo pun ikut-ikutan inferior. Doa mereka hanya berkutat pada sesuatu yang sepele namun kongkrit: semoga bidik misi segera cair, semoga besok ada yang hajatan dan kecipratan, semoga sering ada acara di kampus agar bisa numpang makan gratis. Tentu saja Gusti Allah punya matematika tersendiri dan tak mungkin keliru dalam mengkalkulasi nasib kedua UI ini.
Di kantin, sebelum melanjutkan perjalanan ke Bogor untuk menjenguk adik si Pebri, beberapa orang mahasiswa UI Depok duduk semeja dengan kami. Dari logat bicaranya, saya bisa pastikan mereka adalah mahasiswa asal Surabaya. Niat untuk mengajak mereka ngobrol akarab pun saya batalkan karena sungkan mengganggu mereka. Dan inferioritas saya belum benar-benar reda.

”Nongkrong sambil liat air di danau memang bikin tenang, Peb.” Lalu meringis kemudian.

Depok, 20 Februari 2016
Dalbo (alumnus UI-joyo)


Dalbo ngramal togel di Danau UI