Agaknya Bronislaw Malinowski
cukup berlebihan ketika dalam bukunya “The
Group and The Individual in
Fungtional Analysis” mengatakan bila semua unsur dan hasil kebudayaan itu
bermanfaat bagi masyarakat. Dan tentunya salah satu bagian dari kebudayaan itu
termasuk seni. Tapi, ironisnya ketika membicarakan wajah dunia kesenian hari
ini, kita hanya menemui jalan buntu yang klasik: “pasar”.
Mungkin pengistilahan “pasar
sebagai tuhan baru kesenian” cukup tepat bila berkaca dalam realitas kesenian
hari ini. Karena gaung kesenian tidak pernah jauh dari nada sumbang soal kapitalisasi
dan dekadensi kreatif. Situasi ini merupakan sebuah keadaan dimana pasar membuat
kesenian memiliki harga, tapi sekaligus “terbunuh”.
Kesenian dapat dikatakan memiliki
harga, bila segala keindahan di dalamnya dapat dikapitalisasi untuk sesuatu
yang praktis. Sehingga kesenian yang sebelumnya merupakan sebuah ide utuh
tentang produk kebudayaan, dipoles sedemikian rupa dengan mitos dan label-label
kelas sosial agar dapat memiliki nilai jual. Tapi, dengan proses kapitalisasi
inilah yang mengkroposkan proses kreatif—dimana seharusnya proses kreatif bisa
mencapai wilayah ruh dan kematangan penjiwaan—sehingga proses kreatif dalam
kesenian hanya sekedar rutinitas dangkal yang praktis.