Laman

Minggu, 14 September 2014

Kampus dan Masa Depan Dunia Kesenian




Agaknya Bronislaw Malinowski cukup berlebihan ketika dalam bukunya “The Group and The Individual in Fungtional Analysis” mengatakan bila semua unsur dan hasil kebudayaan itu bermanfaat bagi masyarakat. Dan tentunya salah satu bagian dari kebudayaan itu termasuk seni. Tapi, ironisnya ketika membicarakan wajah dunia kesenian hari ini, kita hanya menemui jalan buntu yang klasik: “pasar”.

Mungkin pengistilahan “pasar sebagai tuhan baru kesenian” cukup tepat bila berkaca dalam realitas kesenian hari ini. Karena gaung kesenian tidak pernah jauh dari nada sumbang soal kapitalisasi dan dekadensi kreatif. Situasi ini merupakan sebuah keadaan dimana pasar membuat kesenian memiliki harga, tapi sekaligus “terbunuh”.

Kesenian dapat dikatakan memiliki harga, bila segala keindahan di dalamnya dapat dikapitalisasi untuk sesuatu yang praktis. Sehingga kesenian yang sebelumnya merupakan sebuah ide utuh tentang produk kebudayaan, dipoles sedemikian rupa dengan mitos dan label-label kelas sosial agar dapat memiliki nilai jual. Tapi, dengan proses kapitalisasi inilah yang mengkroposkan proses kreatif—dimana seharusnya proses kreatif bisa mencapai wilayah ruh dan kematangan penjiwaan—sehingga proses kreatif dalam kesenian hanya sekedar rutinitas dangkal yang praktis.

(Mungkin) Ada Doa dalam Teater



Mungkin “Naskah Abydos” yang ditemukan I Kher-nefret, salah seorang pendeta Mesir, hanya sebuah permulaan dari naskah teater yang dipentaskan untuk sebuah ritual. Tidak penting naskah itu adalah awal atau bukan, tapi yang jelas sejarah mencatat demikian. Dalam naskah yang diperkirakan telah dimainkan sejak 5000 SM, telah menggambarkan kehidupan dunia di jaman itu.
Dari properti yang ada dalam naskah Abydos seperti kapak, tameng, tombak dan sejenis perlengkapan lainnya jelas menunjukkan bila dunia telah berperang begitu lama. Dan naskah Abydos adalah sebuah penjelasan bila perkelahian tidak hanya butuh untuk sekedar dicatat, dijelaskan, dan dimainkan kembali. 

Jumat, 12 September 2014

Artis Porno, Terimakasih Banyak



-Kepada artis porno di seluruh dunia, Al-Fatihah.

Beberapa hari lalu saya terkejut dengan kehadiran foto ”seram” adik kelas saya di Universitas Bunga (bukan nama sebenarnya) yang beredar lewat sebuah grup facebook jurusan. Foto itu cukup fulgar karena si perempuan sedang tidur dengan telanjang dada dan di sebelahnya ada seorang pria berkulit gelap.
Saya sendiri tau foto itu karena kebetulan ada adik tingkat, yang dengan baik hati mau mem-printscreen foto itu untuk saya. Saya terkejut, sedikit senyum-senyum dan garuk-garuk kepala. Tapi, saya yakin kalau foto itu diunggah oleh orang lain yang berniat tidak baik atau mungkin dilatarbelakangi motif dendam.
Setelah sedikit senyum-senyum, sejurus kemudian saya berpikir: bagaimana perempuan sekecil itu akan menjalani hari-hari kuliahnya? Seberapa kuat adik (agak) manis itu menanggung malu karena fotonya tersebar di media sosial?
Pada awalnya saya membayangkan bila perempuan itu adalah adik perempuan saya. Lalu gelombang perasaan kembali berkecamuk: bagaimana kalau pria dalam foto itu adalah saya? Ah, saya tidak mungkin mampu menyembunyikan muka dari tatapan sinis orang-orang. Meski predikat ”cabul” sudah melekat pada saya, tapi kalau untuk beban semacam itu tentu menjadi sebuah persoalan malu yang bakal menggerogoti saya seumur hidup.
Tapi, setelah saya pikir lagi, ternyata Tuhan begitu sayang pada adik (agak) manis itu. Ya, Tuhan meninggikan derajat kemanusiaan lewat sesuatu yang tak pernah dia duga: mendadak jadi artis (yang dianggap) porno.