Laman

Selasa, 25 Februari 2014

Demromor 3

#Perihal bunuh diri 2#
Esoknya…
Saya masih terngiang dengan kata-katanya soal bunuh diri. Apa benar ia mati karena bunuh diri? Tapi, yang jadi persoalan adalah ia mengatakan padaku tidak sedang ingin mati. Ia hanya pasrah dan mencoba membuktikan pada sesuatu yang dia yakini. Dan dia menyebut itu Tuhan.
Aku menyeruput kopi yang tinggal seperempat dan menyalakan rokok yang tinggal beberapa batang. Ah, tanggal tua adalah mimpi buruk. Seandainya Tuhan tau aku lapar, mestinya ia tak menyuruhku bekerja. Ia hanya akan menyuapiku.
Saat ini, mengambil pisang goring pun aku tak berani. Uangku sudah pas untuk sekedar kopi dan sebungkus rokok.
Kulihat jam di ponsel, baru pukul sepuluh malam. Tapi aku sudah sangat mengantuk. Meski pikiran-pikiran tentang bunuh diri itu masih jadi hantu di kepalaku. Di bawa alam bawah sadarku jauh…
”Halo… Apa kabar?” Rori menepuk bahuku. Dia membawa orang yang sama. ”Aku ini teman lamamu, tentu kau tak keberatan bila aku dan kawanku menumpang ngopi denganmu,” ujarnya sembari memberi sebuah senyum lebar.
”Gila orang ini lagi.” Gumamku. ”Kau selalu tau kabar keuanganku, tapi kau tidak pernah malu untuk membebaniku,” keluhku.
Rori dan kawannya langsung duduk dan mengambil rokok milikku tanpa permisi. ”Orang mati itu tak perlu malu dengan apapun. Beda dengan orang hidup. Kau masih dipusingkan urusan malu, sedangkan aku tidak. Mungkin ini sudah jalan syahadatku…”
”Apa maksudmu?” sergahku.
”Bahkan seseorang yang hidup dan mengaku bertuhan. Memperistri Islam tapi tak kunjung bersyahadat. Kau masih malu-malu dan takut kalau harus berhutang. Mestinya, kau tak terlalu sayang dengan uangmu.”
”Enak saja mulutmu itu. Setiap orang harus bekerja agar bisa hidup dan tidak merepotkan orang lain.”
Sambil mengunyak pisang goreng ia berkata, ”Ikrar itu kepasrahan yang serius. Total dan tidak bergantung pada untung rugi. Mungkin syahadat adalah kontrak seseorang sebelum dia menjadi kaffah. Dan menolong seseorang yang lapar adalah bagian dari kaffah.”

Minggu, 16 Februari 2014

Puritanisme, Walisongo, dan Syiah

Saya membayangkan bagaimana mungkin seseorang melakukan perjalanan kaki menempuh ratusan kilometer demi sebuah keyakinan. Sebagaimana pada tahun 1558-1603, pada masa pemerintahan ratu Elisabeth I, kaum puritan yang tidak senang dengan apa yang dipraktekkan oleh Gereja Inggris (Anglican Church) memilih untuk bermigrasi ke Amerika untuk memurnikan doktrin dari Gereja Anglikan tersebut.
Di dunia baru tersebut, kaum puritan tidak menutup mata dengan dunia baru yang kini mereka tempati. Mereka pun paham dengan beragamnya masyarakat di Amerika pada waktu itu; yang terdiri dari koloni-koloni. Tapi, sepertinya di dunia baru tersebut, nasib berpihak pada kaum puritan. Paham yang mereka ajarkan pada koloni-koloni di Amerika menyebar hampir ke seluruh wilayah. Dan waktu itu puritanisme menjadi penting di Amerika karena dicatat dalam sejarah.
Kaum puritan datang ke Amerika dengan impian (dream) di bawah pimpinan Wiliam Bredford bermukim di Plymouth pada tahun 1960. Imigran ini datang ke Amerika dengan cita-cita hidup bermasyarakat di bawah sebuah pemerintahan yang diatur berdasarkan agama; sebuah pemerintahan dengan prinsip teokrasi. Yang dalam perkembangannya kemudian bernama religion intolerance.
Putitanisme adalah perpaduan antara gerakan agama dan sekaligus (dapat disebut) politik yang berkembang di Inggris pada abad 16 dan kemudian berkembang luas di Amerika. Puritanisme menjadi sebuah gerakan politik ketika situasi masyarakat berada di titik kulminasi rasa jengah pada kelas-kelas sosial; terutama kelas yang bersumber dari  gereja (pendeta). Sehingga datangnya puritanisme waktu itu dianggap sebagai jawaban dari konsep keberagamaan yang dicita-citakan: setiap orang punya posisi yang sama di mata Tuhan.
Menurut Martin Luther, salah satu tokoh puritanisme, menyumbangkan sesuatu yang penting dalam konsep kependetaan. Menurutnya,  seorang pendeta hanya seseorang yang terdidik dalam agama, dan mereka ada untuk mengajarkan agama pada yang bukan pendeta. Sehingga di mata Tuhan, seseorang itu pendeta atau bukan, memiliki posisi yang sama.
Pada awalnya saya masih terus berpikir, mengapa di abad 17 agama masih merupakan sesuatu yang jadi ”prioritas” dan sangat prinsipil. Tapi, ternyata religiusitas dan fundamentalisme hanya bisa dipicu dan digerakkan dari rasa bosan seseorang atas rutinitas. Sehingga selamanya fundamentalisme tidak akan mungkin kita kenali dengan baik, kecuali mengenang kerasnya fundamentalisme itu memukul sesuatu yang dianggap sebagai ”musuh”. Meski bukan berarti musuh kaum puritan waktu itu adalah feodalisme gereja dengan kelas-kelas sosial di hadapan Tuhan.
Di Indonesia, hal yang sama juga pernah terjadi. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, terjadi perpindahan agama besar-besaran di Jawa. Meski waktu itu ada perdebatan mengenai apakah rasa jengah atau patos dari walisongo yang terlalu besar sehingga perpindahan agama besar-besaran dalam waktu singkat bisa terjadi.
Salah satu pendapat mengatakan bila masyarakat Jawa waktu itu telah jengah dengan kastanisasi agama Hindu, yang waktu itu begitu kental. Kemunduran kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara waktu itu juga membawa pengaruh besar --- yang  ditandai dengan banyaknya pertumpahan darah dari perebutan kekuasaan membuat masyarakat Jawa memimpikan sesuatu yang baru. Karena agama pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah sesuatu yang politis. Sehingga ketika Islam datang di kehidupan masyarakat, maka beramai-ramailah orang berpindah agama. Dan (mungkin) saat itu setiap orang menginginkan ketenangan; menginginkan mendapat posisi yang sama di hadapan Tuhan.
Dimana-mana kasta dalam agama selalu menjadi bom waktu yang mengerikan. Ia dapat meledak kapanpun dengan berbagaimacam pemicu, dan itu bisa soal perut, atau politik. Dan sejarah-sejarah dunia selalu mengulang sesuatu yang sama. Karena perubahan keyakinan secara massal hampir tidak mungkin terjadi tanpa pertumpahan darah.
Diakui atau tidak, puritanisme mengubah wajah Amerika sebagaimana dengan tersebarnya Islam di Jawa oleh wali songo. Tapi, keduanya bercerita sama: fundamentalisme akan berseteru dengan fundamentalisme lainnya. Meski sayangnya semua itu tidak perlu terjadi bila seseorang bisa menemukan korelasi antara agama dengan fluktuasi kehidupan bermasyarakat. Karena agama adalah agama dengan berupa-rupa dogma di dalamnya. Dan kehidupan punya bahasa sendiri, termasuk kejenuhan yang tak satupun diantara kita sanggup merubah logika hidup.
Mungkin kelompok puritan di Inggris dengan masyarakat Islam di Jawa adalah sebuah pembelajaran bila keyakinan adalah sesuatu yang murni. Sehingga ketika ia (keyakinan) itu datang, seseorang akan berani mengambil pilihan-pilihan hidup. Termasuk melakukan migrasi besar-besaran agar apa yang diyakini mendapat tempat.
Yang harus kita catat adalah bila perubahan keyakinan secara massal bukan perkara yang aneh. Suka atau tidak, perubahan keyakinan akan kembali menyapa manusia sejalan dengan perputaran hidup dan kebosanan. Tapi, yang paling ditakutkan adalah ketika keyakinan dirumahkan dalam sebuah lembaga-lembaga formal di masyarakat --- dimana dalam lembaga itu politik pun ikut ambil peran --- dan membuat perubahan keyakinan secara massal sulit diterima.
Hari ini (mungkin) perpindahan ”keyakinan” dalam satu atap agama adalah konflik Sunni-Syiah di Sampang karena adanya kelompok yang telah meletakkan keyakinannya dalam lembaga-lembaga agama. Tapi, semoga saja saja saya salah mengambil contoh dan apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang saya pikirkan, amin.
Sampang, 16 Februari 2014

Minggu, 09 Februari 2014

Deisme dan 2.5 Juta

Kegelapan dan mimpi buruk itu bernama ”deisme”. Pada abad 17-18 lalu, deisme datang bukan dari luar, tapi dari dalam. Ia adalah antitesis dari puritanisme, yang waktu itu di wakilkan oleh greja-gereja ortodok.
Saat itu deisme adalah mimpi baru dalam kebosanan cara beragama yang emosionil serta labil. Deisme datang dengan  majunya intelektualitas kita. Semacam upaya penyegaran masyarakat dengan mencoba mematerikan Tuhan agar tidak ketinggalan jaman mencoba memaksa Tuhan berdamai dengan relativitas. Sehingga revealed religion berhasil dibuat tidak lagi bermakna kecuali puing-puing barbarisme agama dalam sejarah pembantaian. Maka saat itulah natural religion lahir.
Deisme membuat pusat dari segalanya adalah alam: sesuatu yang (seharusnya) ditaklukkan manusia. Karena, menurut Ethan Allen, alam adalah sesuatu yang menjanjikan keteraturan ketimbang Tuhan. Dan mungkin pemberontakannya pada moral lama dia wujudkan dengan menerbitkan buku anti-Kristen. Dalam bukunya, Allen mencoba menjelaskan bila keajaiban adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan alam. Meski ia kemudian gagal karena tak mampu menangkap keajaiban-keajaiban dari alam. Dan yang paling tragis dari bukunya, ia telah gagal untuk meramalkan kebutuhan manusia jaman sekarang: politik hijau. Karena ia hanya berfokus pada singkronisasi manusia dengan alam bisa ditempuh lewat penaklukan alam semesta.

Selasa, 04 Februari 2014

Jadi Pendendam yang Baik

Mimpi main perang-perangan dengan Hitler membuat saya jadi pakewuh dengan pimpinan Jerman yang memiliki kumis unik dan rambut klimis ini. Pikiran saya jadi kemana-mana. Terutama soal kebencian masyarakat dan pemuda kita pada Nazi.
Sebenarnya saya agak tidak sreg dengan ramai-ramai soal aksi beberapa aktivis dan masyarakat yang mempermasalahkan berdirinya sebuah kafe di Bandung — kalau tidak salah namanya Soldantenkaffe — yang kebetulan di dalamnya berisikan segala pernak pernik pada masa Nazi pada perang dunia II. Menurut mereka, keberadaan kafe tersebut dianggap mengganggu ketentraman; mengagumi kekejaman dll. Selain itu, keberadaan kafe tersebut dianggap ”aneh” karena kagum dengan simbol-simbol yang pernah memerahkan dunia dengan perang dan kekejaman seperti suastika, pakaian serdadu Jerman.
Mungkin hingga kini Hitler masih dianggap iblis yang mencemaskan. Tapi, bukankah ini Indonesia? Apa urusan Indonesia dengan Hitler; dengan Jerman? Pernahkah Hitler menginjakkan kakinya di Indonesia, atau menyakiti dan bikin onar di Indonesia?

Sabtu, 01 Februari 2014

Demromor 2

#Pentas di Perpus UB#

Apa yang lebih menjengkelkan ketimbang melihat sebuah adegan telanjang di sebuah kampus yang agak bersih dan gemar membangun gedung dan suka membuat ramai malang dengan mahasiswa bermuka bersih setiap tahun ajaran baru. Dan yang menyesakkan adalah ketika pelakunya temanmu sendiri. Siapa dia? Ya,tidak ada yang berkelakuan seperti itu ketimbang kawan lama yang mengaku merdeka karena berani onani di sembarang tempat. Dia adalah Rori.
Kalau kamarin aku menjumpainya di warung, sekarang aku menjumpainya di perpustakaan UB. Kali ini, dia mengundang perhatian dari setiap mahasiswa jomblo yang kebetulan sedang goblok untuk menghabiskan waktunya dengan online. Tentunya ini adalah tontonan menarik, meski wajah para ”mutan” di sini terlihat jijik dengan kelakuan Rori, tapi aku percaya di sebalik muka sok jijik mereka, tersimpan sesuatu yang purba: menganggap orang (gila) sebagai hiburan.