Saya
membayangkan bagaimana mungkin seseorang melakukan perjalanan kaki menempuh
ratusan kilometer demi sebuah keyakinan. Sebagaimana pada tahun 1558-1603, pada
masa pemerintahan ratu Elisabeth I, kaum puritan yang tidak senang dengan apa
yang dipraktekkan oleh Gereja Inggris (Anglican
Church) memilih untuk bermigrasi ke Amerika untuk memurnikan doktrin dari
Gereja Anglikan tersebut.
Di dunia baru
tersebut, kaum puritan tidak menutup mata dengan dunia baru yang kini mereka
tempati. Mereka pun paham dengan beragamnya masyarakat di Amerika pada waktu
itu; yang terdiri dari koloni-koloni. Tapi, sepertinya di dunia baru tersebut,
nasib berpihak pada kaum puritan. Paham yang mereka ajarkan pada koloni-koloni
di Amerika menyebar hampir ke seluruh wilayah. Dan waktu itu puritanisme
menjadi penting di Amerika karena dicatat dalam sejarah.
Kaum puritan
datang ke Amerika dengan impian (dream)
di bawah pimpinan Wiliam Bredford bermukim di Plymouth pada tahun 1960. Imigran
ini datang ke Amerika dengan cita-cita hidup bermasyarakat di bawah sebuah
pemerintahan yang diatur berdasarkan agama; sebuah pemerintahan dengan prinsip
teokrasi. Yang dalam perkembangannya kemudian bernama religion intolerance.
Putitanisme
adalah perpaduan antara gerakan agama dan sekaligus (dapat disebut) politik
yang berkembang di Inggris pada abad 16 dan kemudian berkembang luas di
Amerika. Puritanisme menjadi sebuah gerakan politik ketika situasi masyarakat
berada di titik kulminasi rasa jengah pada kelas-kelas sosial; terutama kelas
yang bersumber dari gereja (pendeta).
Sehingga datangnya puritanisme waktu itu dianggap sebagai jawaban dari konsep
keberagamaan yang dicita-citakan: setiap orang punya posisi yang sama di mata
Tuhan.
Menurut Martin
Luther, salah satu tokoh puritanisme, menyumbangkan sesuatu yang penting dalam
konsep kependetaan. Menurutnya, seorang
pendeta hanya seseorang yang terdidik dalam agama, dan mereka ada untuk mengajarkan
agama pada yang bukan pendeta. Sehingga di mata Tuhan, seseorang itu pendeta
atau bukan, memiliki posisi yang sama.
Pada awalnya saya
masih terus berpikir, mengapa di abad 17 agama masih merupakan sesuatu yang
jadi ”prioritas” dan sangat prinsipil. Tapi, ternyata religiusitas dan
fundamentalisme hanya bisa dipicu dan digerakkan dari rasa bosan seseorang atas
rutinitas. Sehingga selamanya fundamentalisme tidak akan mungkin kita kenali
dengan baik, kecuali mengenang kerasnya fundamentalisme itu memukul sesuatu
yang dianggap sebagai ”musuh”. Meski bukan berarti musuh kaum puritan waktu itu
adalah feodalisme gereja dengan kelas-kelas sosial di hadapan Tuhan.
Di Indonesia, hal
yang sama juga pernah terjadi. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, terjadi
perpindahan agama besar-besaran di Jawa. Meski waktu itu ada perdebatan
mengenai apakah rasa jengah atau patos dari walisongo yang terlalu besar
sehingga perpindahan agama besar-besaran dalam waktu singkat bisa terjadi.
Salah satu
pendapat mengatakan bila masyarakat Jawa waktu itu telah jengah dengan
kastanisasi agama Hindu, yang waktu itu begitu kental. Kemunduran
kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara waktu itu juga membawa pengaruh besar --- yang
ditandai dengan banyaknya pertumpahan
darah dari perebutan kekuasaan membuat masyarakat Jawa memimpikan sesuatu yang
baru. Karena agama pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah sesuatu yang
politis. Sehingga ketika Islam datang di kehidupan masyarakat, maka
beramai-ramailah orang berpindah agama. Dan (mungkin) saat itu setiap orang
menginginkan ketenangan; menginginkan mendapat posisi yang sama di hadapan
Tuhan.
Dimana-mana
kasta dalam agama selalu menjadi bom waktu yang mengerikan. Ia dapat meledak
kapanpun dengan berbagaimacam pemicu, dan itu bisa soal perut, atau politik.
Dan sejarah-sejarah dunia selalu mengulang sesuatu yang sama. Karena perubahan
keyakinan secara massal hampir tidak mungkin terjadi tanpa pertumpahan darah.
Diakui atau
tidak, puritanisme mengubah wajah Amerika sebagaimana dengan tersebarnya Islam
di Jawa oleh wali songo. Tapi, keduanya bercerita sama: fundamentalisme akan
berseteru dengan fundamentalisme lainnya. Meski sayangnya semua itu tidak perlu
terjadi bila seseorang bisa menemukan korelasi antara agama dengan fluktuasi
kehidupan bermasyarakat. Karena agama adalah agama dengan berupa-rupa dogma di
dalamnya. Dan kehidupan punya bahasa sendiri, termasuk kejenuhan yang tak
satupun diantara kita sanggup merubah logika hidup.
Mungkin kelompok
puritan di Inggris dengan masyarakat Islam di Jawa adalah sebuah pembelajaran
bila keyakinan adalah sesuatu yang murni. Sehingga ketika ia (keyakinan) itu
datang, seseorang akan berani mengambil pilihan-pilihan hidup. Termasuk
melakukan migrasi besar-besaran agar apa yang diyakini mendapat tempat.
Yang harus kita
catat adalah bila perubahan keyakinan secara massal bukan perkara yang aneh.
Suka atau tidak, perubahan keyakinan akan kembali menyapa manusia sejalan
dengan perputaran hidup dan kebosanan. Tapi, yang paling ditakutkan adalah ketika
keyakinan dirumahkan dalam sebuah lembaga-lembaga formal di masyarakat ---
dimana dalam lembaga itu politik pun ikut ambil peran --- dan membuat perubahan
keyakinan secara massal sulit diterima.
Hari ini
(mungkin) perpindahan ”keyakinan” dalam satu atap agama adalah konflik
Sunni-Syiah di Sampang karena adanya kelompok yang telah meletakkan
keyakinannya dalam lembaga-lembaga agama. Tapi, semoga saja saja saya salah
mengambil contoh dan apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang saya pikirkan,
amin.
Sampang,
16 Februari 2014