Laman

Rabu, 29 Januari 2014

Demromor

#Perihal ”Bunuh diri”#

Apa yang akan kau lakukan ketika tiba-tiba kau jumpai kawan lamamu yang telah meninggal, tiba-tiba nongol ketika kau menyeruput kopi pahit di warung? Lalu percakapan pun terjadi.
”Lho.. Bukannya kamu ini sudah meninggal? Kok masih di sini?” Ujarku, terbata-bata karena masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
”Kalau iya, memanginya kenapa? Apa hanya kamu saja yang boleh ngopi di sini? Kemudian cuma orang hidup saja yang boleh ngopi?  Kamu masih hidup tapi belum tentu jiwanya hidup, masih mending saya kalau begitu. Dan kamu tidak berubah, ya, tetap njancuki seperti dulu. Macan dalam dirimu itu belum benar-benar mati,” ujarnya, sembari memesan kopi dan mempersilahkan seseorang yang ada di sampingnya.
Tapi, sepertinya aku kenal siapa orang yang dibawa kawanku ini. Dari badannya yang tambun dan kacamata tebal dan kemeja batik. Kalau tidak salah, dia itu....

Selasa, 28 Januari 2014

Polemik ”Jebakan Demokrasi”

Pada akhirnya semua orang akan mengulang parodi yang sama: kesadaran dan kepahaman—bagi orang sekaranghanya mungkin muncul dari sebuah situasi tragis yang menimpa dirinya. Karena membuka hati dalam ruang pemikiran adalah hal yang tabu dan sangat merendahkan drajat intelektualitas kita sebagai insan akademik.
Namun, yang paling klasik dari itu semua adalah ketika kita sadar, semua telah ”musnah”; terlambat; tinggal puing. Dan yang romantis  adalah kita menutupi kedunguan dan kedegilan masa lalu dengan menyepi karena perasaan bersalah untuk jadi begawan suci dan sebisa mungkin berusaha menyeram-nyeramkan diri agar dikeramatkan; didewakan.
Perihal membuka diri dan mengakui kebenaran membuatku teringat pada polemik antara Radar Panca Dhana (budayawan) dan Franz Magnis Suseno tentang tulisan Radar di Kompas (12/12/2013) yang membahas tentang jebakan demokrasi yang memerahkan kuping Magnis Suseno. Radar menolak keras upaya Magnis yang (seakan-akan) menganggap bila demokrasi adalah tujuan akhir. Karena menurut Radar penghambaan manusia modern pada demokrasi merupakan keputusasaan intelektual karena tidak sanggup mencari alternatif lain.

Senin, 27 Januari 2014

Saya (selalu) Benci Januari

Aku menunggu malam tiba. Kebahagiaan mendesir yang kupikir akan datang seperti kejutan ulang tahun, tapi nihil. Tetap sepi. Kata-kata menderu dan seperti mendengung di kuping lalu membuat persoalan baru: rasa benci yang entah pada siapa.
Ah Tuhan, kau tentu mengerti bila hari ini akan datang benci; seperti biasanya. Seperti sejarah perih yang selalu datang tanpa bisa ditawar nanti.

Keparat macam apa yang membuatku demam
Seperti rasa lengang ketika oplosan ditenggak
Lalu mati, tanpa sisa, tanpa penjelasan
Dan koran akan senang dengan hal itu

            Hari ini, banyak ”semoga” di kepalaku. Dan yang terpenting dari itu semua adalah agar aku tidak menyesal pada banjir yang Kau beri. Karena menemukan tentu sangat manis, dan pahit memang tidak bisa ditawar. Ia ada dan harus ada.

Jumat, 24 Januari 2014

Ayat-ayat Straight News




Kita hanya akan mati muda bila tak pandai memaafkan. Apa benar demikian?

Mungkin persoalan memaafkan bisa jelas ketika kita berbaiksangka dengan maksud Tuhan mengirimkan demokrasi dari kemolekan media — yang menggoda sekaligus menguji kesabaran kita lewat berita-berita straight news.

Tanpa straight news kita hanya manusia-manusia kerdil dengan wajah muram karena menyimpan banyak dendam. Straight news adalah jalan sunyi agar kita bisa lebih dekat dengan banyak kebinalan. Lalu, perlahan namun pasti, ia terus mendera kita dari hari ke hari. Sampai akhirnya kita akrab dengan kejahatan; memaklumi; memaafkan.  Ketika media berupaya menggiring masyarakat lewat berbagai metode konstruksi realitas untuk dibawa hanyut dan ikut membicarakan sesuatu yang dianggap penting media.

Mungkin setelah melihat headline media dengan beritanya yang khas, membuat kita merasa jengkel dengan keadaan. Tapi, ketika kita telah mencoba membenturkan kepala dan sadar bila tak ada peluang yang bisa diambil kecuali menggerutu, kita baru sadar: ekskapisme memang perlu dituntaskan. Dan ekskapisme itu ikut tertuang bersama kopi pahit yang kita seruput di beranda rumah sambil membaca koran.

Jumat, 17 Januari 2014

Sepagi Ini Sarapan Api; (kepada, er)

Mereka mulai saling melupakan satu sama lain. Benar-benar lupa meski andai saja keduanya bertemu, tentu masih ada sisa air mata. Ya, melupakan adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan kenangan. Sedangkan kenangan adalah berandalan paling jahat ketimbang keberingasan lelaki; dari menyerahnya perempuan pada sesuap kepentingan politik taik kucing; dari dungunya lelaki yang berpikir cinta bisa didapat dari sekedar pajero dan rupiah.

Meski terkadang aku ragu. Begitu mudahnya seseorang melupakan, atau mungkin aku saja yang tertipu: bila sebenarnya senyum dan sejuta kata sayang bukan berarti cinta. Bukankah sejak jaman budak bercelana dalam kresek, masalah selalu muncul karena manusia itu memiliki muka yang berlapis-lapis. Sehingga kedunguan paling megah adalah bila kita percaya pada media sosial semacam facebook, twitter, dll. Media sosial adalah alat untuk kita menipu publik yang payah. Ia tak pernah bicara apapun kecuali untuk makanan pertama manusia jaman celana dalam kain: eksistensi.

Minggu, 12 Januari 2014

Belajar Jadi ”Manusia”

Kata orang tahun 2014 adalah tahun berbaik sangka. Tahun dimana orang-orang harus belajar lagi menjadi manusia. Tapi, dimana kemanusiaan itu?

Saya boleh saja sekolah tinggi sampai bosan; sampai jatuh tersungkur setelah sadar itu semua tidak ada artinya kecuali kebutuhan eksistensi yang kerdil. Pendidikan yang diharapkan membuat kita (sok) mengerti bagaimana hidup; memahami jalan pikiran masyarakat hanya membuat kita semakin terasing di ”rumah” sendiri.

Seorang yang saya anggap cendekiawan pernah berkata, ”Semakin kau pelajari apa itu ’orang Indonesia’ semakin kau bertambah dungu.” Saya tidak menyalahkan pandangan itu, karena di satu sisi itu masuk akal.
Saya sepenuhnya sadar bila kemanusiaan tidak lahir tanpa proses memanusiakan manusia. Sedangkan untuk memanusiakan manusia butuh perasaan untuk saling mengerti dan mamahami sesama. Atau mungkin yang lebih ekstrim: memaafkan (sesuatu yang kita anggap) sebagai kekhilafan. Dan rupanya, setelah berupaya menjadi manusia, saya jadi mengerti: kemanusiaan adalah jalan panjang, berliku dan mungkin jutaan manusia hari ini masih tak kunjung menjadi manusia.

Senin, 06 Januari 2014

Madura dan Koran

Diam-diam ketika rasa apati saya sedang mencapai puncaknya, saya pernah membayangkan: kalau ada seseorang bertanya pada saya tentang bagaimana kabar koran di Madura, maka saya akan menjawabnya, ”Hangat-hangat tahi ayam.”

Kalau dipikir lagi, saya ini bukan orang Madura. Saya tidak punya urusan di Madura kecuali ”ketimbang jadi pengangguran,” itu saja; lain tidak. Tapi, sebagai orang yang duduk di meja redaksi, saya dipaksa untuk melihat, mencatat dan batin saya dipaksa untuk bersinggungan dengan banyak hal yang ajaib di pulau garam ini.

Setiap sore, pekerjaan saya adalah membenahi catatan harian wartawan dan menyusunnya menjadi satu kesatuan utuh untuk dikabarkan, sampai akhirnya menjadi catatan pribadi. Ya, menurutku Madura sangat eksotis. Semuanya: medianya, masyarakatnya, kiyainya, pemerintahnya, premannya, bahkan semua jin dan para dedemitnya.

Di awa tahun ini tidak lupa saya ingin berterimakasih pada Tuhan. Lima tahun kuliah sembari melihat dan berinteraksi dengan masyarakat Madura dari dekat adalah sebuah anugrah yang tak terkira. Lalu duduk di meja redaksi untuk melihat Madura di meja kantor sambil menyeruput kopi pahit. Dan tidak lupa untuk sesekali memasang taruhan di meja judi konsorsium iblis dan malaikat bila hipotesis saya perihal koran di Madura ini benar-benar hangat tahi ayam. Untuk kali ini iblis dan saya sedang kompak.