”Percayalah, dek. Kebijaksanaan
hanya ada dalam lagu-lagu.”
Tiba-tiba kata itu kembali
terngiang di telinga saya. Kata-kata dari seorang sesepuh yang mungkin kelasnya
setara dengan Tuan Guru Tretetet di Lombok. Kehendak dan spontanitasnya kerap
menggegerkan akal. Tapi jujur saja hatiku selalu tersenyum simpul bila merasakan
sepakterjang guruku yang satu ini.
Kedigdayaan guruku dalam
penguasaan ilmu sabar ini benar-benar tak tertandingi. Kendati demikian, dia
tetap sulit dibedakan dengan guru-guru lainnya karena caranya mendidik dan sikapnya yang rendah hati.
Kerendahan hati dan sikap
menunduk dari guru sekaligus kawan baikku ini benar-benar di luar nalar. Dan si
mas gondrong, kawanku, ini adalah antitesis dari guru yang ada di dunia. Kalau
suatu saat seorang guru seni sedang menerangkan tentang seni, mesti paling
tidak si guru seni ini mempraktikkan sesuatu yang nyeni. Entah itu
tingkah lakunya, model rambutnya yang nyentrik atau tindak-tanduknya yang
menunjukkan betapa si guru seni ini patut didengar kata-katanya.
Kalau mas gondrong si guru
sabarku ini bersikap sebaliknya. Meski dia adalah guru besar ilmu sabar, tapi
tingkah polahnya kerap terbalik. Dia kerap terlihat tak sabar dan nampak diburu
waktu. Bahkan yang membuat aku sangat takzim padanya adalah karena beliau tak
perlu bicara hingga berbusa hanya untuk menjelaskan makna sabar. Tuan guruku
ini cukup berbuat sesuatu atau melontarkan kata-kata yang bisa membuat kepala
kami serasa mau pecah dan dada kami meledak.