Cita-cita adalah sesuatu yang membuat seseorang terus hidup. Keberadaan kepentingan membuat kita sadar bahwa masih ada orang yang bisa dikatakan “hidup”. Tapi sebelum itu, kita harus tau dulu kepentingan apa yang dibawa? Prinsipil atau tidak? Punya harga diri atau tidak? Kalau demikian adanya, bolehlah kita—orang-orang di Kampung
Nusantara—belajar untuk sedikit lebih hidup dengan mempunyai “kepentingan” dan belajar lagi mengenali arti “harga diri”. Lalu mengingat-ingat falsafah hidup yang telah lama dilupakan, dan yang terpenting tidak sok
mbarat.
Coba kita bayangkan bila setiap anak yang lahir di Kampung Nusantara ini tumbuh bagai mayat hidup tak berkehendak. Tumbuh dan belajar untuk senantiasa dikehendaki: negara lain, bangsa lain, kelompok dan golongan-golongan tertentu. Dipaksa—sadar, tidak sadar—kehilangan jati dirinya: asal usul, cita-cita bapaknya, hidupnya, nenek moyangnya. Karena bisa dibilang aturan tak tertulis di Kampung Nusantara ini adalah saling menopangkan cita-cita di pundak anak cucu. Hal ini dibenarkan oleh kata Edi Banteng, seorang kawan tua, “kita ini terlahir dan harus hidup dengan beban sejarah dari orang-orang terdahulu kita”.