Laman

Selasa, 31 Januari 2017

Suatu Ketika di Pulau Tak Berpenghuni

Nb: pernah dimuat di Jawapos

Tulisan ini buat saudara Eyang Abiyoso  yang sudah tidak lagi bandel dan berjanji untuk segera serius lantas rabi. Tulisan ini juga buat guru saya yang sudah bahagia selama-lama-lama-lama-lamanya. Al Fatihah. 


suatu ketika di pulau tak berpenghuni
            -al hakim

tabik untukmu: lelaki yang melolong tengah malam
melebuhkan setiap orang dari penjara

di tanah logam kau berjalan memutar. mencari puak
untuk dilahirkan kembali di sebuah episode

“jaman telah membaptisku, jaman telah membaptisku!”
ucapmu sembari mencari mabuk; persetubuhan yang getas

saat pengusiran tiba, salam perpisahan dibacakan
mantra-mantra yang cemas meloncat ke mata seorang gadis

pergilah, kau! dengan banyak resah yang kau gendong dengan selendang warna tanah, menuju ke laut

ke pulau coklat tak berpenghuni. tempat jasadmu hangus
ditumbuhi pohon oak yang menyanyi tiap malam menetes sepi

(2014-2015)

warung kami


kami hidup di sini.
dalam cemas ampas kopi
anak-anak kami lahir
menuju lalulalang
yang menggelap
pelan-pelan

(2015)


panggilan kami

tiba-tiba saja kami jadi tua. kami tak punya kata
menunjukkan cara menangis; mengukir peta di batang trembesi
agar kau tahu jalan pulang dan menjadi kami: petani yang bahagia menyimpan marah dan mesjid di saku celana.
mengayuh sepeda ke kota, tempat banyak tuhan berkelahi menciptakan teror dan jam-jam malam. tapi kau enggan pulang membuat kami diasingkan rindu. tak ingin pulang kah kau?
dengar, sejak kemarin meja-meja menyanyi. pohon asam di pinggir sawah diam tak melambai. kursi-kursi warung tuak ngelangut, memanggil nama-nama kekasih di rantau
yang hampir terhapus seperti suratmu tahun lalu:
“aku bahagia lantaran tetap menyimpan desa di kota ini.
menyimpan surau di dalam hati.” ucapmu
tapi kami terus jadi tua, dan berhenti memanggil

(2015)

suatu ketika di pulau tak berpenghuni 2

kau bersabar dalam petak kamar penuh deret buku. mencari kebenaran dari setiap “ada” —di tusuk penghianatan yang perempuan—dan mengingkari eksistensi remaja muda: pidato.

“siapa itu bertelanjang? kurus di jendela macam orang busung lapar. kudisan, pula.”

matamu meneleng. kau memafhumi bila bayangan itu adalah sebagian dari dirimu yang kelaparan dan menagih haknya. kau menari, menggerak-gerakkan tanganmu ke depan, ke belakang, ke segala arah yang ramai suara. membiarkan tubuhmu lengket kringat bau apak. menangkap ide yang berkelindan.    
"kulit juga punya mata, kau tau itu?”

di pulau tak berpenghuni kau tak berhenti menelisik sawang di langit-langit kamar. lalu matamu nyalang, benci. “aku khidir kw dua yang diutus tuhan ke sini, di tempat penuh patung berjajar dan memperkosa kesesatanmu.”

(2015)

pada ning bunyi

untuk sekelumit ingatan

aku pusatkan pendengaranku

pada ning bunyi.


yang lebih sunyi dari sunyi

bisik-bisik paling menggigit

di batin


saat itu aku diam

menemukan wajahku

menangis sendirian



(2015)



Citra D. Vresti Trisna


Madura dan ... (sembarang isien dewe)

Madura adalah ”ayat”. Madura adalah ”Gatholoco” dalam bentuk yang lain. Ia mempertanyakan banyak hal di luar-dalam kehidupan kita.
Mungkin di luar sana, di sekitaran kita (yang tinggal di kota), Madura  nampak sebagai sesuatu yang ”menggelikan”. Olok-olok yang terkadang menyakitkan. Madura jarang absen dari anekdot-anekdot getir serta penggambaran akan ”kampung terasing” yang seakan-akan beribu-ribu kilometer jauhnya dari sesuatu yang mambu modern. Madura kerap dihadirkan di sepetak nilai dan standar-standar angkuh yang sebelumnya telah kita monopoli kebenarannya.
Meski demikian, Madura nampak tidak gemetar dengan itu semua. Masyarakat Madura yang belum kehilangan jati dirinya — di plosok-plosok desa, di gunung dan pesisir — tetap berjalan sebagaimana yang mereka yakini. Mereka menjalani hidup dengan memegang teguh ”harga diri” — sesuatu yang telah lama kita tinggalkan — dan tak rikuh dengan berbagai anggapan. Mungkin ini bagi orang tua yang dulu pernah saya kenal sembarangan di warung, di kampus, di rumah teman. Tapi bagi generasi mudanya... ah, saya sungkan sendiri jadinya. 
Tentu ingatan tentang restu pendirian Nahdatul Ulama tidak lepas dari kiyainya. Sehingga, bagi para dedemit konsultan politik para cagub dan capres harus memperhitungkan itu dan memasukkan Madura ke dalam peta strategi tersendiri. Berbagai keajaiban mengenai realitas pemilihan calon kerap dikejutkan oleh keajaiban-keajaiban di luar nalar dan logika politik. Terlepas baik-buruk hal ini, tentu rasionalitas mengenai teori marketing politik dijungkir balik di tanah gersang ini.
Ada apa dengan Madura? Meski saya sudah menghabiskan enam tahun masa studi di pulau garam dan satu tahun duduk di meja redaksi surat kabar lokal di Madura tetap tak membuat saya mengerti dan bertemu dengan “Madura” yang sebenarnya. Kalau pun ada kasus-kasus yang terjadi, tentu itu hanya di kulit luar dan tak sampai pada substansi.
Masyarakat Madura menghantam segala kemapanan dengan pola pikir masyarakatnya yang ”lugu” tapi lugas; yang terkesan ”memalukan” namun agung. Di dalam, Madura terbukti menjungkir balik toko rasionalitas dari Universitas — sebut saja Trunojoyo (bukan nama sebenarnya) — hingga bertekuk lutut. Kalau ada yang perlu bukti, pengujian, dan segala metode taik kucing agar akademisi percaya!? Mudah saja: suruh saja, kampus mengelola parkir tanpa sedikit pun melibatkan ”preman”.
Bagi orang yang punya kejelian mripat, tentu dapat melihat dengan jelas bentangan spanduk bertuliskan: ”letakkan rasionalitas anda di dalam kulkas dan perbanyaklah maklum!” Konon malaikat Jibril yang memasang spanduk tersebut agar anda tidak kecele alias tertipu dengan berbagai gejala yang mencuat. Karena Madura terbukti menjungkir rasionalitas yang dianggap mapan di segi apapun, baik soal kasak-kusuk kemenangan Soekarwo, remuknya tukang mebel asal Solo pada pilpres di empat kabupaten, dan menghajar pseudointellektual hampir seluruh penghuni kampus.