Laman

Minggu, 29 Desember 2013

Media Massa dan Wajah Kita


-Catatan akhir tahun 2013

Apa yang dipikirkan Tagore ketika ia menolak sejarah; penulisaan sejarah — segala sesuatu yang berkaitan dengan representasi masa silam yang baginya hanya omong kosong.
Saya pikir Tagore tidak sedang demam ketika ia menafikkan sejarah. Karena sejarah selalu punya masalah dengan proses represent (menghadirkan kembali) — penggalan kisah-kisah dari penggalian manuskrip, analisa, penafsiran dan spekulasi-spekulasi yang terburu-buru jadi keniscayaan.
Kalau dulu, Tagore boleh kesal dengan sejarah yang menurutnya sebagai upaya representasi yang gagal. Maka hari ini, upaya representasi jadi pekerjaan rumah yang tak selesai bagi media.
Perdebatan mengenai media dari berbagai paradigma — antara positifistik, yang menganggap media sebagai upaya murni untuk menghadirkan fakta ke dalam tulisan sebagai mana aslinya; media dalam paradigma konstruksionis, yang mengasumsikan media sebagai upaya mengkonstruksi fakta berdasarkan kepentingan media — masih belum selesai.
Tapi, bukan itu yang ingin saya bicarakan. Karena setiap orang punya hurufnya sendiri dalam menilai media. Terutama pada fungsinya yang digadang-gadang (masih) sebagai pilar ke empat demokrasi.
Mungkin Tagore boleh menolak sejarah, tapi kita tidak bisa menafikkan media sebagai salah satu alat produksi sejarah yang primer. Media berkuasa atas pikiran dan kesadaran yang diam-diam terkonstruksi sebagaimana kehendak media. Tapi, bisakah konstruksi media pada pembaca bisa adil sebagaimana fakta yang coba dihadirkan kembali oleh media? Ataukah kita selama ini sedang mempercayakan patung wajah kita sendiri pada media; sang seniman pemahat? Kalau kita percaya, sejauh mana ingatan media berhasil merekam wajah kemanusiaan kita.

Kamis, 26 Desember 2013

Demokrasi dan Ketidak-pedulian

”Aku benci ketidak-pedulian… Ketidak-pedulian dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut.” — Antonio Gramsci.
Membaca penuturan Gramsci membuatku merinding. Menyadari betapa kerasnya manusia ketika geram, dendam, dan benci.
Mungkin Gramsci kesal karena terpenjara dalam sel Regina Coeli, Roma, saat rezim Musolini berkuasa. Sesuatu yang mungkin ia anggap sebagai pengekangan akal-pikiranyang (mungkin) dari sana ia berpikir: saya ingin melakukan sesuatu dengan partai komunis saya, tapi terpenjara; sementara kau sebaliknya.
Saya tak ingin mengelak dari tuduhan Gramsci yang mungkin juga dialamatkan pada saya. Tapi, sebagai seorang Marxis yang mengkritik kelas-kelas sosial sebagai iblis, ia melupakan bila kelas sosial juga lahir dari kesadaran kelas akibat kesanggupan dari warisan sejarah setiap orang yang kerap berbeda.
Gramsci sanggup mengelola hidupnya dengan rasional hingga pernah menjabat sebagai ketua Partai Komunis Italia dan punya kesempatan melakukan pertentangan dengan Musolini.
Lalu bagaimana dengan orang yang disebutnya apati? Orang yang dia sebut pengecut karena tidak melakukan sesuatu. Tunggu! ”Sesuatu” itu apa? Apakah ”sesuatu” itu selalu hal besar yang berkaitan dengan sejarah? Ah, Gramsci memang pengikut Marxis yang baik. Ia berpikir ”masa depan” atau kecemerlangan sejarah dibawah panji-panji komunis adalah tujuan sejarah dan sesuatu yang mutlak bagi setiap orang.

Minggu, 22 Desember 2013

Sufi Gang Dolly dan Satpam

Keimanan yang telah mencapai puncaknya perlu kehadiran setan; gatholoco; bandit; jin; atau segala hal yang menjadi antitesis keimanan. Sebab, keimanan yang tumbuh tanpa penguji adalah hambar; bisa jadi barbar. Mungkin karena itu seorang sufi perlu tinggal di Dolly. Mungkin yang bukan sufi salon harus bermukim di Kremil dan punya kegemaran ngopi di warung remang-remang dan warung pangku.

Konon, sepengetahuan saya, sufi itu tidak bikin lembaga atau organisasi  agama yang melakukan penarikan dana pada anggota agar bisa hidup dan eksis. Kabarnya juga, organisasi adalah strategi setan  pasca kelahiran Yesus untuk menyesatkan dan membuat kastanisasi keimanan sebagai akibat dari hierarki yang jadi konsekwensi logis sebuah organisasi.

Senin, 16 Desember 2013

Nihilisme dan ”Tuhan Baru”

”Sebaiknya kita memang harus percaya. Segala hal yang hari ini ’dituhankan’ akan bangkrut dengan sendirinya; habis tanpa sisa. Termasuk dalam urusan ketimpangan hidup, penindasan di dunia kerja, dan segala bentuk nilai yang membelenggu pada akhirnya akan habis. Kita hanya musti percaya bila nihilisme itu real. Sekali lagi hanya soal waktu,” kataku pada mahasiswa-mahasiswi ababil, di suatu sore, pada jaman masih doyan omong.

Waktu itu mahasiswa yang aku kuliahi hanya manggut-manggut (sepertinya mereka percaya), atau mungkin diam-diam mengomel dalam dirinya: orang ini sudah gila, jadi sebaiknya saya manggut-manggut biar dia senang ketimbang dia ngamuk, mengomel dan segera usai ceramahnya.

Tidak terbesit untuk berpikir: adakah diantara orang yang aku ceramahi ini termasuk orang-orang yang bosan menunggu nasib baik berpihak. Bosan miskin, atau orang-orang yang sedang terpinggirkan, atau orang yang sudah terlanjur frustasi.

Kepada mahasiswa-mahasiswa yang pernah mendengar bualan saya soal hidup, maafkan saya.

Kamis, 12 Desember 2013

Petani

Petani! Saya pikir mereka adalah bagian dari sebuah sistem dalam kehidupan, yang memiliki ”jalan sunyi” yang tak mudah kita pahami bila tak dilahirkan sebagai ”petani” yang ”bertani” dengan benar.

Bertani, bagiku, punya jalan panjang ”puasanya” sendiri, hingga mereka tiba pada sebuah kesunyian yang gigil. Apakah puasa petani itu berarti bersabar, menerima, menghamba pada apapun yang membuat mereka semaki khusyuk bersunyi-sunyi; mendekat dan bersetia pada kosmos.

Saya tidak ingin mengatakan bila petani harus menjalani kodratnya dilindas pemodal, atau kebijakan yang tidak berpihak. Tapi, mungkin, petani tidak akan ”bertani” apabila mereka tidak bersakit-sakit dan mengalah, pasrah dan sadar menjalani kodrat mereka. Dan saya tahu persis bila setiap orang bebas memilih jalan hidupnya menjadi apapun yang mereka mau. Juga, aku pikir, tak seorang pun mendambakan dirinya berada pada kondisi sengsara, kecuali dia seorang masokis. Harus saya katakan pula bila petani yang bertani juga tidak selalu terpenuhi kebutuhan hidupnya. Paling tidak, dengan mereka bertani, mereka memiliki harapan. Dan harapan itulah yang membuat mereka mencukupkan diri, membatasi, dan belajar berkata ”tidak” pada hidup sehingga mereka memperoleh ketenangan. 

Senin, 09 Desember 2013

Omah Munir





Siapa yang tak kenal Suciwati Munir? Istri dari Munir Said Thalib, salah satu tokoh aktivis HAM yang meninggal pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta ke Belanda. Mungkin Suciwati tak jauh berbeda dengan istri-istri anda semua, yang mungkin semasa hidup masih butuh merengek dibelikan TV seperti punya tetangga, ngomel pada Munir soal uang belanja yang kurang, atau mengomel soal hal-hal remeh temeh lainnya. 

Hanya mungkin yang membedakan dengan istri-istri anda adalah perjuangan yang ia lakukan ketika suaminya dibunuh. Apakah istri anda akan melakukan hal yang sama ketika anda dibunuh?
Terlepas apa yang menjadi motif perjuangan yang dilakukan Suciwati ini adalah bentuk rasa cinta seorang istri pada suami, atau upaya menolak lupa, tapi yang jelas semua itu patut diacungi jempol. 
Untuk mengenang perjuangan HAM yang dilakukan suaminya, Suciwati bersama rekan-rekannya yang peduli  pada perjuangan HAM membangun musium HAM yang ia beri nama ”Omah Munir” sebagai strategi lain menolak lupa.

Tapi, mungkin yang masih mengganjal di kedalaman saya adalah: apakah dalam sekali hidup ini kita perlu untuk menolak lupa? Apakah Munir merupakan satu-satunya orang yang harus kita ingat perjuangannya dan kita tuntaskan kasusnya?

Selasa, 26 November 2013

Sekarang Kau Dimana?

Kau mendaki di sejauh, seperti kembang api tahun baru kemarin. Sekarang kau dimana?
-
Aku tak menemukanmu; dan kau menghilang seperti angsa yang mengungsi saat malam menggelap. Padahal baru saja aku ke sebalik hatiku; mencarimu, tapi kau tak di sana? Boleh aku tau, sekarang namamu siapa? Bagaimana waktu memanggil namamu? Apa kau masih mabuk puisi seperti dulu?
-
Kau tau, sekarang aku kerap membakar api sendirian. Menenggak aspirin agar aku segera tidur dan tak perlu mengingatmu lagi. Apa kita masih percaya bila bulan dan revolusi punya warna?
Bila sekarang aku terpaksa mengingatmu, apa kau juga mengingatku di rimba muram.
-
Malam-malam gelap menyiksaku dengan sakit yang perih. Cerita tentang hantu hutan masih jadi wingit yang sama-sama kita cintai. Apa kita masih berteman seperti dulu?

Minggu, 24 November 2013

Berterimakasih Pada Pendidikan Kita

Suatu hari, seorang kawan yang agak terganggu kejiwaannya pernah berkata pada saya, ”Pendidikan hari ini itu seperti barang antik pecah belah di etalase ruang tamu. Tidak berguna, tapi sayang kalau dibuang dan tidak digeluti,” ujarnya dengan cengengesan.
”Lalu, bagaimana dengan para penjaga dan punggawa-punggawa pendidikan dari kelas UPT sampai mentri. Mereka itu apa?” tanyaku.
”Dungu, kamu! Kalau begitu mereka adalah orang sepertimu yang setiap harinya mengelap dan membersihkan debu-debunya. Agar tidak kelihatan usang dan tetap baru. Meski tidak jelas kapan barang yang dijaganya (sambil mengantuk) itu bisa berguna.”
Menanggapi apa yang dikatakan kawan saya, pertama saya tidak mengambil hati karena ia ”sakit”. Kedua, bila berpatokan pada pendapatterkadang apa yang dikatakan orang gila, itu bisa jadi adalah hal-hal yang ingin Tuhan katakan pada kitamaka, boleh jadi teman saya ada benarnya. Tapi, dimana benarnya?
*

Kamis, 21 November 2013

Berlibur ke Rumah Nenek dan Membantu Nenek ke Sawah

Mungkin dunia pernah dihitamkan dengan kengerian kamp konsentrasi, tapi itu bisa kita rasakan dan sangat materi. Tapi, hitamnya dunia serta puncak kengerian adalah ketika kita terbelenggu oleh penjara ketakutan pada ”ketaatan” yang sebenarnya perlu kita kaji dan pikirkan: untuk apa? Mungkin dalam hal ini aku ingin menyebut satu kata yang sejak dulu hidup dalam pikiranku: kiyai.
Ya, sosok kiai di Madura ini didewakan, tapi, bukan itu yang penting. Karena ketika kesadaran berpikir bila oknum kiai saat ini tidak lebih dari seorang bandit yang nyata dan kita sadari, tapi tak berani untuk beranjak dan melawan adalah sebenar-benarnya sakit yang perlu dibawa ke puskesmas. Tapi, kita tetap harus sadar bila manusia hidup dari sebuah kolektivitas yang membuat kita “serupa” dan “tuli” dan kolektivitas itu membuat mitos-mitos menjadi hidup, dan mungkin mitos yang membisus pikiranku adalah: surga.
    *
Saya jadi ingat satu bait lagu yang selalu kunyanyikan ketika aku masih jadi bandit terminal:

Senin, 18 November 2013

Menertawai Kurikulum Ndeso

”Kesopanan adalah konstruksi.”

Kalimat ini saya dapatkan pagi tadi sewaktu membuka facebook. Sebuah komentar yang menurutku masih segar dan khas remaja sekarang yang pintar tapi dungu. Komentar dan spontanitas yang menunjukkan betapa generasi muda hari ini begitu rajin mencari alternatif wacana di luar kurikulum pendidikan kita yang kata orang begitu ndeso.

Senang rasanya melihat remaja-remaja yang gemar mencari hal baru dalam hidupnya. Karena dunia akan menjadi milik siapa saja yang setiap waktunya adalah untuk mencari apa saja: pengetahuan baru, kebijaksanaan-kebijaksanaan impor, gaya beretorika, cita-cita baru, sampai agama baru.
*

Sejak dulu, saya percaya bila nihilisme itu real– segala   yang ”bangkrut” akan ditinggalkan.
Semua ideologi yang bersifat menenggelamkan, diikuti, diyakini, akan ludes tanpa sisa. Sebagaimana komunis yang dianut oleh tiga per empat dunia selama tiga per empat abad, terlepas dianutnya komunis itu setengah memaksa, yang jelas sekarang ideologi itu ditinggalkan.

Senin, 11 November 2013

Berterimakasih Pada Joko (Helm)

Beberapa hari lalu di Pamekasan ada seorang pencuri helm yang babak belur dihakimi massa. Mukanya lebam-lebam karena bogem mentah massa yang emosi. Untunglah ia buru-buru di bawa ke kantor polisi sehingga bisa selamat dari amuk massa. Atas kejadian ini, aku sangat berterimakasih pada sekumpulan massa yang kebetulan ada di Monumen Arek Lancor, Pamekasan, yang turut berpartisipasi memberi pelajaran pada Joko Purnomo si pencuri kecil agar jangan berani-berani membandit di Pamekasan.

Tidak lupa, saya juga ingin memberikan apresiasi pada masyarakat di kota-kota lain yang ikut aktif memberi efek jera pada para maling. Berkat partisipasi masyarakat, rasa aman dan nyaman bermasyarakat bisa tercipta di lingkungan kita. Tapi, yang paling utama adalah selamatnya harga diri saya selama beberapa saat, karena paling tidak ”predikat maling” sudah diwakili oleh Joko yang ketiban sial tertangkap warga.

Apa jadinya kalau si Joko ini tidak tertangkap? Bisa jadi orang lain akan menaruh curiga pada saya, karena saya masih belum terbukti bersih. Kalau sudah ada yang tertangkap seperti si Joko ini, paling tidak saya bisa ikut memaki-maki Joko di depan orang lain sambil mengata-ngatainya tidak bermoral. Seolah-olah saya ini bersih dan sangat anti mengambil milik orang lain. Yang paling penting lagi adalah saya bisa tetap tampil dengan muka berseri-seri di depan umum. Boleh menulis dan pamer kebijaksanaan di Koran seperti sekarang. Meski saya tak begitu yakin bisa tampil bersih di hadapan Tuhan.

Sejak dulu cara paling manjur untuk menyembunyikan kejahatan adalah dengan berteriak paling keras pada kejelekan orang lain. Atau (mungkin) menghajar paling keras pada seseorang yang terbukti bersalah. Dan kalau dikembangkan lagi; siapa yang paling serius menangkap, memberikan vonis dan memenjarakan, adalah orang atau kolektiva yang sedang bersembunyi dan berusaha menimbun bangkai; malingnya maling. Atau siapa yang paling serius berfatwa dan berkhotbah tentang kebusukan orang lain justru lebih busuk ketimbang orang yang diceramahi. Tapi, sejak awal, saya sudah katakan bila ini hanya ”mungkin”, dan belum tentu benar. Mohon jangan diambil hati.

Tiba-tiba saya jadi ingat tentang anekdot yang diceritakan seorang kawan jauh. Kalau tidak salah, kurang lebih ceritanya seperti ini: Di sebuah pesantren, ada seorang ustad sedang semangat bercerita tentang setan kepada para santrinya. Karena saking semangatnya, mukanya sang ustad menjadi merah dan matanya melotot keluar. Kemudian salah seorang santrinya bertanya pada sang ustad, ”Ustad, wajahnya setan itu seperti apa, sih?” Kemudian sang ustad menjawab, ”Mukanya setan itu merah dan matanya melotot keluar,” jawab sang ustad. Lalu, para santrinya berlari karena ketakutan.

Anekdot yang baru saja saya ceritakan memang tidak bisa dijadikan gambaran tentang wajah tokoh-tokoh agama di manapun. Anekdot ini hanya sekedar cerita lucu pelepas penat. Seandainya ada kesamaan atau ada yang merasa seperti ustad yang saya ceritakan tadi, percayalah bila ini hanya kebetulan semata. Karena kita merasa seperti setan atau malaikat, adalah kontemplasi masing-masing individu yang tidak perlu diceritakan pada orang lain.

Sehingga, saya pikir siapapun yang ikut menghakimi Joko tentu sudah punya hitungan yang jelas tentang manfaat dan mudharatnya. Bahkan warga mereka memiliki rasionalisasi yang tak terbantahkan ketika memutuskan akan menghakimi Joko. Dan, saya piker, Tuhan pun akan kelimpungan dengan alasan masyarakat.

Tidak Ada Dosa Kolektif

Saya pikir kasus pencurian helm itu murni kesalahan Joko sebagai pribadi. Ia yang bertanggung jawab pada apa yang dilakukannya. Sehingga, masyarakat yang ikut menghakimi Joko sama sekali tidak ikut-ikut menanggung dosa. Dan babak belurnya Joko adalah akibat dari perbuatannya sendiri.

Joko itu bukan siapa-siapa. Ia tumbuh sendirian tanpa pengaruh masyarakat di sekitarnya. Jadi, perbuatannya mencuri helm itu adalah murni inisiatif pribadi Joko dan ia tak pernah meniru masyarakat di sekitarnya. Kalau pada akhirnya, ia terpaksa mencuri helm karena ia mengaku ingin memiliki helm seperti temannya, saya pikir itu pantas di ganjar dengan hukuman keroyokan. Karena yang ada hanya sim kolektif, bukan dosa kolektif.

Sehingga masyarakat tidak perlu mempedulikan kebutuhan helm Joko, karena itu sangat sepele dan keduniawian sifatnya. Masyarakat di sekitar Joko perlu mengutamakan kebutuhan yang lebih urgen dan orientasi spiritualnya lebih jelas, seperti: naik haji, berlomba-lomba membangun rumah Tuhan, dan untuk membangun Pamekasan lebih gemerlap. Asal bisa naik haji sepuluh kali, persetan tetangga kita bisa makan atau tidak.

Sejak dulu, orang kecil macam Joko tidak perlu didengarkan kebutuhannya. Karena hanya orang besar yang patut dicatat sejarah dan didengarkan kata-katanya. Sebentar lagi, masyarakat akan melupakan Joko serta melupakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang sepele.

Memang hidup bermasyarakat itu ibarat sholat berjamaah. Sama-sama menghadap Tuhan, sama-sama merasa paling bersih. Ketika sholat, yang diperlukan bukanlah keseriusan berhadapan dengan tuhan, akan tetapi perlu juga sesekali melirik kiri-kanan untuk memastikan orang di sebelah kita sudah khusuk atau belum.  Kalau belum khusuk, seusai sholat kita perlu mengingatkan mereka agar lebih khusuk sholatnya. Kalau perlu ikut pelatihan sholat khusuk.

Terus terang, saya sangat bersyukur dengan tertangkapnya Joko. Karena dengan begitu, saya bisa mengevaluasi dan mengingatkan dia untuk lebih lurus hidupnya. Karena dengan saya ikut mengingatkan, perhatian orang lain akan sibuk pada Joko, tapi bukan pada kelakuanku; pada segala upaya ”maling” yang saya lakukan.

Selain itu, yang jelas saya tidak mau ambil pusing dengan kelakuan Joko. Apakah alasannya menjadi maling atau bandit, itu karena sebelumnya hidupnya telah banyak dimalingi tetangganya, masyarakat di sekitarnya, pemerintahnya, atau mungkin para ulama, atau aparatnya. Tapi, yang lebih menarik adalah Joko dihakimi massa dengan sangat barbar. Karena dengan begitu ia jadi martir yang bisa menutupi sikap maling kita bersama. Karena di kampung Indonesia, upaya penegakan hukum tidak boleh terlalu serius dan memang harus tebang pilih. Apa jadinya kalau penegakan hukum di Madura, di Indonesia dijalankan dengan serius? Pemerintahan bisa kosong. Dari RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten sampai kursi kepresidenan bisa tur bersama ke penjara. Oleh karena itu, berterimakasihlah pada Joko si pencuri helm (Joko Helm).

”Orang besar” ngomong, orang kecil bengong mendengarkan. Kalau ”orang kecil” ngomong, Tuhan yang bengong mendengarkan.

Semoga Joko tidak melaporkan kita semua pada Tuhan. Amin.


Sampang, 7 November 2013

Selasa, 05 November 2013

#WACESABE

Tidak ada yang lebih sakral ketimbang rasa bosan. Ya, mungkin karena ia datang langsung dari Tuhan. Kebosanan (hampir) selalu didahului oleh rutinitas, (biasanya) rasa muak, dan yang terakhir adalah ”membelenggu kuda liar itu pekerjaan dungu”.
Sejak awal aku menolak untuk ditaklukan dengan cara apapun. Meski pada akhirnya aku harus bertekuk lutut di salah satu tempat yang kusengaja untuk menguji seberapa besar orang menghardikku nanti. Meski pada akhirnya aku kalah karena telah terpancing dengan seseorang yang pernah kukuliahi perkara media umum.
Hidup media umum! Hidup buruh!

*
Sekarang aku tinggal di Sampang, Madura. Bekerja sebagai buruh di pabrik kata-kata. Saya tidak tau, saya ini kerasan atau bagaimana. Tapi, yang jelas, itu akan saya tahu dua tahun lagi. Bukankah hidup adalah persoalan mencoba dan berani menyelam. Dan sekarang saya sedang menyelam dalam sekali.
Untuk ”matinya” kota ini, saya tidak banyak komentar. Hanya saja, kalau dalam seminggu, saya tidak kena kopi Surabaya, kepala saya bisa pusing, pantat gatal-gatal, kram otak hingga bunuh diri. Ngeri rasanya membayangkan ada seseorang yang sampai mati bosan. Terbunuh hanya gara-gara kesunyian dan rutinitas yang membunuh kreativitas dan akal sehat.

Senin, 04 November 2013

Buruh dan "Bisul" Indonesia

Halo buruh, bagaimana kabar kalian?

Demo buruh yang terjadi beberapa hari terakhir ini membuat saya kembali teringat dengan omongan paman di momen idul fitri di masa-masa kuliah.

”Kamu itu kuliah saja yang bener. Ndak usah ikut-ikutan demo. Kayak kurang kerjaan aja,” ujar paman.

Saya terpukul dengan omongan paman. Sehingga, sebagai bentuk protes, hari itu saya menolak untuk sungkem dengannya, dan menghabiskan sepanjang siang di warung kopi sebagai bentuk protes. Alhasil, beberapa bulan lamanya, saya tak pernah lagi bertegur sapa dengan paman. Waktu itu saya berpikir bila orang-orang tua adalah seburuk-buruknya hipokrit.

Dulu saya berpikir bila aksi adalah satu-satunya cara memperjuangkan masyarakat. Termasuk nasib paman. Saya membayangkan bagaimana perasaan para buruh yang menuntut kenaikan upah tiba-tiba harus disepelehkan orang lain. Apalagi yang menyepelehkan adalah mereka-mereka yang sama-sama buruh. Beberapa waktu lalu, seorang kawan (yang juga buruh) bertanya pada saya, ”Sudah untung dapat kerjaan. Masih banyak orang-orang tidak punya kerjaan yang hidupnya senin-kamis. Mereka (buruh) itu tidak tau bersukur, ya?”

Selasa, 08 Oktober 2013

#nyampah



Apa benar media massa akan menjadi seperti yang aku bayangkan kelak? Apa benar Indonesia akan begini, begitu? Apa benar mahasiswa akan jadi penghisap penis Eropa paling khusuk?  Apa benar ini dan itu atau anu dan anu, berjalin-jalin menjadi sesuatu yang tak pernah aku pikirkan.
Bisa jadi apa yang aku pikirkan dan analisa dengan beberapa kawan itu benar. Bisa jadi juga salah. Tapi, itu semua terbentur dengan sebuah pertanyaan pamungkas: lalu mau apa?
Dari hasil riset dan kajianku bersama rekan-rekan di Jakarta beberapa waktu lalu, mungkin ada benarnya. Sesuatu yang tiba-tiba menjadi nisbi; ketika rumus sosial, logika, pembacaan sejarah dan hati berkata demikian. Lalu, aku kembali harus mengulang: aku ini mau apa?
Ya, kata-kata Mas Dukun memang benar adanya. Tau banyak itu sakit. Kalau kata si pongah dari kota M: orang yang mengerti itu pantas mati. Tapi, yang membuatku kerap bertanya pada diriku sendiri adalah: mengapa sampai hari ini aku kerap meyakinkan diriku bila aku ini tidak tau. Aku ini mestilah bermain kesana kemari dan hidup normal laiknya banyak pria: bermain, insaf, kerja, menikah, bercinta, membesarkan anak, lalu mati. Itu saja dan tidak perlu terlalu lux.
Karena memang aku ini seperti sebagaimana manusia lainnya: terbentuk dari perpaduan antara bermain aman dan juga “pecandu” sesuatu yang sungil, menggelitik, sedikit bangsat.
Ayoh! Siapa yang tak terima dan mengaku suci, sini acungkan tangan! Kemarilah, kau pasti tau bagaimana senangnya orang yang nasib merokoknya esok hari sedang tak menentu.
---
Selamat pagi. Saya tidur dulu.
Cdv_t

Selasa, 24 September 2013

Artrock, Kantin dan Tahi Sapi

Sekarang aku sedang berada di MIPA Corner UB. Tempat ini membuatku ingat kantin sekolah semasa SMA dulu. Meski pengunjung dan kelas sosialnya berbeda, yang jelas tempat ini tetaplah tempat istirahat dan tempat menikmati makan atau jajanan. Mungkin yang membedakan dengan kantin sekolahku dulu adalah waktu-waktu yang di pakai untuk ke kantin. Dulu, sewaktu sekolah, hanya jam-jam tertentu saja kita boleh ke sana. Selebihnya adalah jeweran guru dan ancaman ruang BK yang menjadi momok siswa sekolah untuk dipaksa mengakui perbuatan dosa. Berbeda dengan di sini. Tempat ini, meski namanya sudah berbeda, selalu ramai dengan banyak mahasiswa yang datang dan pergi untuk bisa menikmati sarapan, menunggu jam kuliah selanjutnya, atau mungkin sekedar membicarakan mobil baru kekasih.

Sepertinya sewaktu masih di kantin sekolah, jam-jam istirahat begitu berarti. Waktu istirahat yang singkat membuatku tidak menyia-nyiakan waktu untuk bicara hal-hal yang tak penting. Menikmati santapan hidangan murah tak bergizi dengan khusuk. Tak ada perbincangan soal mobil kekasih, soal skripsi, soal upaya menjilat dosen demi nilai atau segala berhala modern.  Tapi, entah mengapa aku justru lebih menikmati masa-masa sekolah dulu. Di sini, aku hanya mendapati tumpukan basa-basi menyenangkan. Hal-hal semacam ini adalah hal menggelikan yang disadari, dan sekarang pun aku menjadi bagian dari basa-basi masal karena kebetulan aku juga sedang membunuh waktu.

Di tempat ini, aku pun masih mengenali watak-watak dan obrolan yang menjadi kenanganku semasa kuliah. Jenis-jenis orang dan tipe organisasi yang sudah umum digeluti. Dan sekarang ini aku berada di lingkungan anak-anak PMII yang membicarakan soal gerakan dan kemapanan secara bersamaan. Jancuk sekali memang. Tapi, memang orang-orang semacam inilah yang memenuhi kampus-kampus. Meminjam istilah Rori, obrolan orang-orang pergerakan macam ini adalah dagelan logis yang asik. Basa-basi yang membuat setiap orang kehilangan dirinya untuk beberapa saat dan menikmati nikmatnya menjadi orang lain; menjadi modern dalam pengertian yang dangkal.

Tiba-tiba aku teringat cerita Defy dan Intan sewaktu ngopi di Artrock Malang. Mereka berdua mendongengiku bila di Artrock sana tak boleh ada perbincangan-perbincangan gerakan mahasiswa semacam PMII, HMI, GMNI, dan sejenisnya. Kalau tidak ingin diusir, sebaiknya tidak rapat organisasi atau membicarakan gerakan di sana. Tapi, anehnya orang-orang di Artrock tidak mengusir rapat-rapat kawan-kawan PPMI. Karena PPMI itu orang pers, katanya. Ada apa dengan pers? Ada apa dengan PMII, HMI? Setahuku, tiap orang yang ke sana sama-sama membayar. Tidak ngutang. Apa pemilik Artrock adalah orang yang ‘letih’ macam aku sekarang?

Kalau apa yang dikatakan Defy dan Intan semalam itu benar, aku jadi ingin menanyakan langsung pada pemilik Artrock yang menurutku cukup unik. Kebaraniannya menolak pelanggan adalah sebentuk kelelahan puncak dari segala kembang kertas yang tengik. Aku membayangkan obrolan-obrolan orang PMII dkk membuat nasi dalam piring berubah menjadi tahi sapi. Merubah kopi dalam gelas jadi kencing kuda.
Sebenarnya, setelah bekerja dan punya modal nanti, aku juga ingin membuka warung kopi. Ada yang untuk kalangan menengah ke bawah, ada juga yang untuk mahasiswa. Tapi, beranikah aku seperti pemilik warung Artrock yang menolak obrolan-obrolan tahi sapi dan kencing kuda? Beranikah aku menolak uang? Atau mungkin boleh juga sekiranya aku membuat sebuah rumah makan, mungkin kantin di kampus-kampus yang hanya menerima orang datang di jam-jam tertentu saja dan melarang ada obrolan-obrolan sombong dunia modern. Kupikir itu menarik juga.

Kerinduan akan kantin dan warung kopi yang penuh kebersahajaan memenuhi pikiranku. Sepertinya menarik untuk kembali pada masa silam dan mencari kebersahajaan pada waktu, tempat, dan orang yang tepat. Bisakah aku menerima orang-orang seperti yang ada di hadapanku sekarang: membicarakan uang proyek apartemen dengan keuntungan besar dikantongnya tapi masih memerlukan diri ngutis rokoknya. Mungkin pemilik Artrock Malang ada benarnya. Bukankah ini adalah tahi sapi serta kencing kuda paling nyata? Dan tiba-tiba pikiran burukku muncul: ingin rasanya aku membelikan sebatang rokok eceran dan memberikan padanya seraya berkata: ‘mas, ini rokok. Bisakah kau berhenti jadi tahi sapi dan kencing kuda? Aku muak melihatmu. Setelah merokok, sebaiknya kau jadi lebih bermanfaat kalau kau jadi pupuk para petani di desa.’ Ah, betapa menyenangkannya. Ya, keinginanku untuk bikin warung kopi dan sebuah kantin di universitas jadi semakin besar sekarang. Meski aku tak tahu apa aku berani mengusir orang-orang yang hanya membuat piring dan gelas berisi kotoran belaka.

Cdvt


Malang, 16 September 2013 

Senin, 16 September 2013

Satpam dini hari

Perlahan aku mengenali bangku-bangku kosong yang mulai ditinggalkan setelah lampu padam. Satpam berjalan sesekali menelusuri lorong-lorong gelap dan memastikan tak ada yang kemalingan. Sebenarnya aku merasa kasihan dengannya. Mungkin dia berjalan mondar-mandir bukan sekedar pekerjaannya sebagai seorang penjaga, tapi hidupnya sudah banyak dimalingi oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Mungkin ia hanya tau apa itu berkeliling untuk memastikan ia tidak kemalingan untuk yang kedua kalinya.
Kemudian, perlahan namun pasti, aku mencoba mengenali diriku. Tapi, kosong! Tak satu pun jawaban bisa kudapatkan. Segalanya gelap seperti lorong-lorong dengan bangku kosong yang ditinggalkan. Sepertinya aku baru kali ini mencoba mengenali diriku dengan serius. Dan baru kali ini pula aku menemukan kekosongan yang gigil dengan kesunyian yang suwung. Meski, aku merasa seperti ada suara langkah kaki yang mengawasiku; suara batuk di dalam ruangan; suara burung terdengar seperti leher yang tercekik. Siapa sebenarnya diriku?
Sebentar! Kali ini kurasakan suasana menjadi sedikit berubah. Binatang malam menyanyi seperti sedang merayakan sesuatu. Apa itu: ‘tarian kosmos’, katanya. Lalu sekelompok pemuda yang berarak-arakan sambil mengumpat mengamini. Juga suara orang menstarter mobil lalu pegi dari kegelapan yang membuatku hampir bunuh diri. Mungkin mereka ketakutan. Dan sekarang yang tersisa hanya rasa iri dan keinginan untuk kehangatan gelap melayang di atap. Oya, aku hampir lupa. Aku ingin mengenali diriku sedikit saja sebelum aku jadi serakah ketika pagi tiba. Menjadi sama dengan yang lain untuk tergesa-gesa seperti dikejar kenyataan hidup dengan parangnya yang tajam.
Sekarang satpam itu kembali lagi modar-mandir. Meski ia cuma bayangan, kehadirannya memberikan kengerian yang sangat. Tiba-tiba ia nampak seperti sesuatu yang sungil. Ia bicara pendek-pendek seperti arwah yang mati lantaran kesal dimalingi. “Mengapa kau masih di sini? Apa kau juga kemalingan seperti aku dan ingin menemaniku berjaga-jaga agar tak kemalingan untuk kedua kalinya? Apa orang miskin sepertiku tidak bisa membunuh lebih sadis bila perut lapar keluargaku memekakkan telingaku? Apa Tuhan maha pengampun?” Tapi sayangnya, tak satu pun dari pertannyaanya mampu kujawab dengan baik. Jemariku terus menari di atas keyboard dan pura-pura tak peduli dengan pertanyaannya.
Mungkin rasa kesalnya menjadi-jadi ketika merasa tak puas dengan diamku hingga kali ini pertannyaannya semakin tegas: ‘cuk! Siapa kau sebenarnya? Segawon dari dunia mana kau ini?’ Bulatan kelereng di matanya berkilat-kilat mencari mataku. ‘Apa kau tersesat anak muda?’ Kejar bayangan satpam itu.
Mungkin bayangan satpam itu mengerti apa yang sedang kupikirkan. Kesunyian adalah sesuatu yang sangat sadis dan bisa membunuhmu kapan pun. Dan keadaan semacam inilah yang kubenci. Gugatan pikiran ini membuatku teringat pada kawan susahku yang sekarang mungkin jauh lelap karena mabuk ketiak kekasihnya usai pergumulan hebat. Mungkin pergumulan adalah penawar yang mujarab untuk insomnia plus plus. Plus pikiran dan gelapnya keinginan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari insomnia. Mungkin juga keadaan seperti ini adalah salah satu himpitan yang membuat seseorang memerlukan menikah. Merasakan bebauan wingit seorang teman tidur: istri, suami.
‘Anak muda, aku ini telah menikah! Mengapa kau tak mendiskusikannya denganku perihal kesimpulanmu mengenai kebutuhan berumah tangga?’ Tanya bayangan satpam. Tapi, aku kembali merasa tak tega bertanya balik padanya: bagaimana mungkin kau selamat dari bahaya laten materialisme meretua. Namun, sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, ia sudah memotong pembicaraan.
‘Mungkin karena aku tak sekolah hingga membuat beban hidup serta tuntutan status pasca di dunia dan kecintaan orang tua justru membunuh kisa sebagai manusia.’
Kai ini tak seorang satpam pun menemaniku. Kabarnya ia akan pergi jauh. Kini giliran pemungut gelas-gelas plastik air mineral menjadi teman kala suwung. Ia juga nyeltuk dan menyarankan untuk menikah saja. Terus terang kata itu sedikit mengiburku. Namun aku tetap menunggu jawaban mengenai maksud kata-katanya. Dan benar saja. Di akhir kata-katanya ia juga berujar padaku: siapa dirimu? Kalau kau masih bodoh lantaran tak mengerti ‘siapa dirimu, maka simpan sayapmu untuk angan-angan yang sebenarnya tak perlu di tunggu.

Satu lagi! Setidaknya ia tidak sebegitu mengganggu seperti bayangan pak satpam diantara gelapap.




cdvt 

Sabtu, 31 Agustus 2013

#6 Ja Sagender



Sore ini sesak. Napasku tersengal dan mataku berkunang melihat orang-orang berlalu-lalang. Tiba-tiba aku merasa ingin sendiri, tapi dimana? Namun, yang ganjil adalah ketika aku sedang ingin sendirian, tiba-tiba selintasan rasa bersalah pada hidup menguat hebat. Seharian ini kulewati tanpa bicara dengan orang yang kukenal dan menjadi merasa belum genab sebagai manusia. Dan semakin jauh jarakku dengan sesamaku, sesama manusia.

Aku ini orang macam apa?

Sebentar, biar kulengkapi lagi. Setelah tak bicara sepatah kata pun pada orang yang kukenal, aku masih merasa mampu menerjemahkan dan mendefinisikan hidup. Aku adalah salah satu penghardik teori-teori sosial yang sembrono dalam memotret  hidup, tapi tiba-tiba aku jadi orang yang berusaha menafsirkan sesuatu yang terlalu besar untuk kuterka. Meminjam istilah Nietzsche, ja sagender atau meng-iya-kan hidup?

Apa benar aku sedang meng-iya-kan hidup?

Dunia boleh salah terka, tapi kesempurnaan yang subjektif ada di dalam diri. Mencari kesempurnaan (tanpa menghardik dan justifikasi) dalam batin, ketika melihat sesuatu yang salah adalah barbar. Tapi, bukankah hidup berjalan dengan cara demikian? Kebijaksanaan ditulis, diyakini, lantas dilembagakan. Sungguh! Aku sungguh takut nihilism itu benar adanya. Aku takut ia hadir di depan mataku sebagai jam weker dan isyarat: dunia itu sah untuk dihancurkan; dikampak seperti patung berhala di tangan Ibrahim. Sebab, aku hanya ingin menjadi “taat”, yang berarti “tidak pergi kemana pun” sebab surga hanya ada di sekitaran kampung dan halaman rumahku, di sekitaran rutinitas dan ritus-ritus beragama.
Tiba-tiba kelapanganku menerima hidup lenyap tak berbekas. Perjalanan bertemu orang-orang seperti hilang tanpa sisa. Hanya ada ketakutan pada sesuatu yang tak jelas, absurd. Menyaksikan orang lewat, lalu makna-makna mengalir deras begitu saja. Dan mereka seperti tak peduli denganku. Apa ini yang mereka sebut kegigilan hidup? Inikah kegigilan yang membunuh banyak orang dengan jalan akhir paling sadis: tali jemuran.
Tapi, aku menolak untuk mati. Diriku telah lama “mati”. Dan tidak ada kematian setelah mati. Yang ada hanya kembali memunguti sisa-sisa serta berkompromi untuk menyusun puzzle dan sebentuk kebijaksanaan absurd namun menghangatkan. Mungkin saja pacarku sedang kedinginan, atau anak-anakku kelak. Maka aku lah yang akan memeluk mereka.
Lalu bagaimana dengan “Tuhan”? Sesuatu yang being dan pernah kutemukan di punggung Arjuna setelah sekian lama tak mengakui tuhan. Tapi, bukankah 'ateis' adalah jalan menuju Islam yang sejati dalam konteks syahadat: meniadakan tuhan-tuhan palsu duniawi sebelum mengakui hanya ada satu tuhan (Allah). Apa hari ini dia tidak di sisiku---sekali pun logikaku meyakini Dia melingkupiku---dan Ia hanya (ada) pada rasa takut kesendirian?

Dan saya tidak mau meneruskan....

Surabaya, Agustus 2013



Sabtu, 10 Agustus 2013

#5 Big bos, begawan, kiyai sastra: ampuni saya

Ngawulo

Saya ini malu kalau harus menggurui bos besar sastra. Tapi, rasa sayang saya pada big bos melebihi cinta saya pada sastra; puisi; cerpen dan segala taik kucingnya. Karena saya yakin cinta saya pada big bos akan membuat sastra yang ‘sastra’; tidak palsu, seperti perkancutan sastra yang sering sampean bilang.
Saya ini ngawulo, patuh, setia pada sodara, pada persahabatan saya dengan big bos. Apalagi saya hanya anak bawang yang selalu gagal untuk tulus pada apa yang saya tulis dan tidak sesuci tujuan big bog di dunia sastra. Terlebih lagi saya bukan pertapa dalam urusan sastra. Big bos sudah malang melintang di dunia sastra jauh ketika saya masih getol main play station perang-perangan.
Jujur saja, saya ini masih bandit. Kalau meminjam istilah Si Tahu, saya ini ‘pengusaha’ (semua-semua diusahakan), termasuk dalam menulis. Saya masih terlalu dungu untuk menahan hasrat ngopi, ngudut, dolan, yang mana semuanya itu butuh uang. Ini terang-terangan saja, lho. Saya itu bisa saja menulis dengan hati datar sesuai keinginan koran agar dapat duit. Dan setelah dapat uang, larinya ndak ke sastra, ndak buat ongkos bikin komunitas seperti yang big bos lakukan.
Saya pernah dengar tentang Umbu, seorang begawan yang pernah jadi presiden Malioboro. Dia adalah guru yang pernah membesarkan orang-orang wow sekarang. Katakanlah Linus Suryadi dengan ‘pengakuan pariyem’, atau Cak Nun dengan sepak terjangnya di dunia sastra dan kemanusiaan. Tapi, kalau saya boleh memberikan nilai pada Umbu dan big bos, saya akan memberi nilai 9 pada big bos dan 5 pada Umbu. Alasannya simpel: lha, yang saya kenal big bos. Yang sering nraktir kopi dan saya miskinkan urusan rokok adalah big bos, bukan Umbu. Mungkin, Umbu tidak akan sebegitu dekat dengan murid-muridnya seperti big bos pada saya. Dan yang lebih ekstrim, mungkin murid-murid Umbu tidak ada yang se bandit saya: yang berani kurang ajar dan bicara sembarangan tanpa aturan pada gurunya. Tapi, justru di situlah kelebihan big bos: mampu menahan diri dengan barbarnya orang macam saya. Kurangnya rasa hormat saya mungkin karena saya masih terlalu liar dan belum siap dengan segunung beban dan tanggung jawab di dunia sastra seperti yang njenengan alami. Saya ini masih belepotan dan belum kuat menahan budrek belum ngopi dan ngudut seharian dan segala sesuatu yang fana. Sementara big bos telah melampaui itu semua. Bahkan big bos pun sangat tahan dihantam kritik, meski sekali waktu saya kerap menjumpai big bos merengut dan ngambek karena kritik orang yang tak sekaliber big bos.
Aduh, bos. Kejam nian dunia memperlakukan big bos sebagai seorang maestro. Kadang saya ndak tega dengan banyak keresahan big bos yang dihantam ngalor ngidul soal karya big bos. Tapi dengan berat hati saya katakan: begitulah cara dunia bekerja. Sekarang siapa saja berhak memaki dan numpang tenar dengan cara barbar: memaki. Saya pikir mereka tak tau berhadapan dengan siapa. Hidup mereka pasti tak dapat pencerahan dan ilham dalam urusan sastra. Salah satunya ya saya ini.
Sekali waktu, big bos ini perlu refresh sejenak biar tidak terlalu kaku urat lehernya menyikapi orang-orang awam tukang kritik yang keblinger dan tak tau diuntung. Sesekali  big bos perlu pergi ke mall untuk membeli jeans, makan siang di restoran cina untuk beli fu yung hai dan minum Tras (air minum berteknologi RO), serta pencuci mulutnya bandrek panas. Menjelang sore, big bos bisa mampir ke lapak buku bekas dan mencari-cari stensilan dan membacanya di cafe pinggir pantai sembari menikmati coklat panas. Menjelang malam, adalah yang paling ditunggu, yakni karaokean. Big bos bisa menyewa purel paling bahenol di karaokean. Dan semuanya saya yang urus, asalkan uangnya dari big bos. Ini semua tidak berlebihan. Tuhan pasti tahu kelelahan big bos ketika siang malam menjalani tanggung jawab moral untuk memperjuangkan dunia sastra  tanpa berharap imbalan apa-apa. Semuanya tulus ikhlas. Soal materi, menurut saya, adalah soal nomor 357 bagi begawan sastra sekaliber big bos. Jadi Tuhan akan welas asih pada titik nadir kesanggupan big bos dalam mengarungi perjuangan di dunia sastra.
Setahu saya yang awam ini, di dunia sastra, jumlah kritikus itu lebih banyak dari para penulisnya. Terusterang saya ndak setuju dengan istilah matinya tukang kritik. Siapa yang bilang kita sedang minim kritikus sastra? Karena ‘kritik’ adalah kritik. Berkualitas atau tidak, kritik tetap kritik. Bahkan kalau anjing rajin beli koran minggu dan baca rubrik sastranya, si anjing boleh men-jancuk karya-karya yang dimuat, terlepas berbobot atau tidak dasarnya. Asumsi bila kritik harus berangkat dari orang yang punya kapasitas adalah sebentuk upaya meremehkan kualitas kemanusiaan; tidak menghargai rasa-pirasa dari orang lain. Bukan berarti tukang beca tak boleh men-jancuk karya seorang penyair. Saya rasa penyempitan pengertian kritik inilah salah satu faktor yang membuat memble dunia sastra hari ini. Dan setahu saya yang kemeruh ini, tugas penyair adalah terus belajar, berkarya, dan berbenah diri. Merenunglah dan sesekali berbenah lalu kembali menulis lagi. Memusingkan dan terlalu repot membuat alibi serta serangan balasan pada orang yang mengkritik kita adalah perbuatan dekaden yang merugi.  
Bos, apa yang saya tulis di sini memang menjijikkan dan nampak begitu menjilat. Tapi, ini adalah penebusan dosa saya atas segala tindakan barbar saya sebagai murid; sebagai pemburu materi dari apa yang saya tulis. Terus terang saya sangat terpukul dengan sms yang berisi kata-kata Afrizal soal penulis puisi di koran akhir-akhir ini:
Ribuan puisi antri di belakang meja redaksi media cetak untuk dimuat, bukan sebagai penawaran kreatif, melainkan lebih sebagai ‘setoran karya’. Seakan-akan ada ketakutan bahwa mainstrem akan melupakannya kalau dalam batas waktu tertentu puisinya tidak dimuat di media massa cetak.
Tapi, jujur saja. Sms itu sangat menyinggung saya. Ironisnya, barbarnya saya dalam dunia tulis menulis tiba-tiba membuat saya merasa tidak pantas untuk marah. Sms itu benar adanya, dan saya sangat berterimakasih karena sms itu menjadi aspirin untuk sakit kepala saya soal dunia sastra. Sepertinya, gairah muda saya ingin terus berpacu melawan kanonisasi sastra mainstream yang hanya didominasi penyair tua yang sudah bau kuburan. Sehingga karya yang saya kirim (boleh jadi) semacam branding image pada para redaktur yang juga tak ingin korannya tak laku. Tapi hal itu wajar, karena umur saya tidak lebih tua dari kancut para penyair yang sudah karatan. Sehingga para redaktur akan berpikir jutaan kali untuk memasukkan karya dari penulis muda seperti saya.
Saya ini tidak pernah menaruh dendam pada big bos. Tapi, saya punya sedikit pertanyaan dengan Bang Afrizal: apa dia berani mengungkapkan hal itu ketika dia masih belajar merangkak seperti saya? Sementara saya masih kerap menemukan tulisannya di koran-koran. Itulah kenapa, saya tidak marah dengan big bos. Sebab, sejak awal big bos berani angkat bendera perang terhadap penganut sastra koran dan lebih memilih untuk membesarkan komunitas-komunitas.
Upaya membangun komunitas adalah sebentuk perang paling kongkrit melawan sindrom eksistensi serta sastrawan tua yang sudah turun mesin. Komunitas akan menjadi kawah candradimuka dalam membentuk iklim kreatif dimana di dalamnya ada pembelajaran, pendampingan, serta diskusi. Dan yang paling penting adalah: komunitas adalah wadah dimana KRITIK bisa mewarnai proses perjalanan sastrawan muda. Tapi, saya pikir big bos ini juga awet muda kok, sehingga layak untuk dihujani kritik agar semakin matang.
Bos, betapa taik kucing ya dunia sastra sekarang: berebut duit receh dan ngantri seperti pengungsi. Dan perlu dicatat, bila saya juga termasuk para pengungsi itu. Saya sadar, di mata bos, saya ini termasuk bandit karena ikut-ikut mengantri duit receh. Tapi, lagi-lagi bos pasti kecewa karena tuhan tidak hanya menciptakan para nabi, bromocorah juga. Pernahkah bos pikir bila tanpa saya, kenabian bos tidak akan mengkilat seperti sekarang? Meski demikian, saya tau bila bos tak butuh dinabikan dalam dunia sastra. Namun, kalau semua kata-kata saya ini salah, mengapa bos kerap mengkhawatirkan hal-hal yang sudah tidak lagi lux: orang mengantri dan menghamba pada koran.
Bos, setiap orang punya caranya sendiri dalam memperjuangkan apa yang dia yakini. Terlepas orang yang terus mengirim tulisan ke media ibarat ‘mencuci baju dengan air kencing’, tapi yang jelas dia telah melakukan sesuatu yang dia anggap baik. Kalau bos sedang mencuci dengan air bersih, maka doakan kami agar segera sadar dan mengikuti jalan lurus dari big bos sang begawan agung.
Ada satu hal yang terus saya percaya, bos: jalan menuju kebaikan itu menanjak, terjal, dan berliku. Mungkin penganut sastra mainstream sedang tersesat mencari jalan pulang yang puisi; sastra yang ‘sastra’. Yang tidak palsu. Oleh karena itu besar harapan saya pada sang begawan untuk sesegera mungkin membuat komunitas-komunitas sastra agar jadi pelita dan penunjuk jalan bagi kami yang tersesat ini. Saya teramat yakin bila hanya bos yang tau formula paling tepat untuk membuat sebuah komunitas sastra yang tidak palsu. Dan sekedar saran, bos. Tolong fokus dengan komunitas yang akan bos bangun. Dunia sastra menunggu pencerahan dari big bos. Semagaaaaaaat ya bosss :p
 Bos, sodaraku yang rendah hati. Diantara kita sebenarnya sama-sama mengerti mengapa kita tidak pernah bertemu. Tapi, sejak dulu bos tidak pernah menjawab pertanyaan saya: apa ‘bertemunya’ kita itu ketika saya sepemahaman dengan bos? Selalu mendukung dan ikut mencaci oknum yang membuat panas kuping bos panas lantaran kritik orang yang tak kapabel? Apa ‘bertemunya’ ketika saya mengalah dan meladeni ego bos yang Subhanallah itu? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika saya tak bisa beli rokok? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika menganggap musuh bos sebegai musuh bersama kami pula?  
Bos, saya sedikit ingin membagi rahasia kecil tentang diri saya. Jujur, bos adalah orang pertama yang membuat saya kembali percaya pada sastra. Maka maafkanlah bila terkadang mulut saya terlampau bengis dengan karya dan sikap bos sehari-hari. Ini semua hanya agar bos ingat cara menginjak bumi. Sedih rasanya menyaksikan muka bos jadi kian merangsang saat anak-anak kecil memuji-muji karya bos. Dan perih rasanya melihat muka bos jadi berang mendengar dalam sebuah diskusi, karya bos dihakimi. Terusterang saya kawatir bila bos tidak terima kritik, hanya terima pujian.
Eman bos, kalau harus jatuh karena barang sepele. Meskipun njenengan ini begawan, tapi orang-orang sekarang sangat gampang dibunuh dengan pujian. Kuatir saya ini, bos. Ada janji yang saya pengang teguh untuk terus mendampingimu, bos.
Bos, yang rendah hati. Sekian dulu, catatan dari saya. Esok disambung kembali, ya. Bagai mana kalau agenda ngopinya kita pindah di Mataram saja. Saya ingin belajar rendah hati seperti bos J

Cdv_t

Kamar, 10 Agustus 2013