Soal Mas Timur, aku kerap sedih, jejaknya dalam sebuah blog yang ditinggalkan, seperti istana yang ditinggalkan penghuninya. Disana aku melihat seperti sebuah reruntuhan kota, puing sebagai pertanda kejayaan tukang reparasi jiwa: seniman. Ada kemegahan yang absurd, warna-warna hitam penanda kedalaman yang gelap. Memang di kerajaannya tidak sepenuhnya mesti bergelimang emas, tapi paling tidak kejayaan, ‘evoria’, dari mimpi-mimpi yang masih di jalurnya.
Tapi dimana mimpi itu, sekarang? Sejak ia ditinggalkan orang-orang yang dianggapnya dekat, segalanya berubah pada keceriaannya.
Pada suatu malam yang letih di dekat Rutan Medaeng, aku pernah menyarankan dia untuk kembali menyepi, berkontemplasi, menjumpai segala gelap yang dulu pernah dikenal dan kecapnya sebagai sebuah jalan. Semoga saja dia mengerti.
Mas Timur yang sudah tidak lagi gondrong.
Satu label dan stereotype tentang seniman sudah dilepaskan dari tengkuk. Kini apa lagi selain sisa-sisa kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru. Sajak-sajak yang lebih segar, yang lebih ramah bagi nalarku yang selalu gagal menerjemahkan absurditas.
Good luck, mas gondrong yang sudah tidak lagi gondrong.
Citra D. Vresti Trisna
1 komentar:
minta tolong nomor hpnya mas timur...teman lama soale..............
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.