Laman

Jumat, 17 Oktober 2014

#1 Menyimpan Rindu



Kepada J, F, H, U, A, R, B, D, P, S, H2, F2, B

Dulunya mereka adalah adik-adik kecil yang manis. Seperti biasa, aku hanya melihat mereka sepintas tanpa menoleh. Lalu, tak berapa lama –seperti yang selalu batin katakan, “kau akan segera dekat dengan mereka”– kita menjadi begitu dekat. Seperti saudara, bahkan lebih. Tak ada yang lebih dekat dan “sampai mati” kecuali dendam. Karena persahabatan itu sebagaimana dendam: sampai ke tulang, sampai mati.

Lalu, seperti yang biasa terjadi: ada dialog, sesal, kedekatan, proses belajar, dan tak lupa tangis tertahan. Semuanya adalah proses yang lumrah dan wajar: seperti halnya pagi dengan matahari dan malam dengan bulan-bintang. Saat itu mereka pun tumbuh. Menjadi apa saja yang mereka harapkan. Dan di sebalik duniaku yang sepi, diam-diam aku lihat mereka.


Aku senang; juga sedih. Senang karena menjalani waktu-waktu bersama dan sedih karena semua itu telah berlalu. Kebanyakan dari mereka telah menemukan tempat berlabuh dan menurunkan jangkar lalu beranak-pinak. Ada yang dimakan kesibukan sampai lupa jadi “manusia”. Ada pula yang menyepi dan melanjutkan apa yang kusarankan. Ada yang pergi dengan dendam membara, juga dengan rasa terimakasih yang dalam, tapi kedewasaan membuat mereka memilih menjaga jarak agar tetap menyimpan rindu.

Kerap di malam-malam buta, ketika rindu memenuhi kepala dan hati, aku sapa mereka dari jauh. Ada yang menjawab, dan ada yang tidak. Maka, yang mengobati sepiku adalah dengan menyebut nama mereka satu per satu seraya mengirim doa: semoga bahagia lahir batin. Ya, hanya itu yang mengobati rasa sepi. Dan yang terpenting itulah bahasa dan kata-kata yang tak sempat terucapkan pada mereka yang jauh.

Selalu ada yang gagal terucapkan; selalu ada yang harus disimpan sendiri.

Adek-adek manis yang baik. Kalau kau bertanya padaku lewat sorot matamu: apa arti diam dan senyum aneh tiap kita bertemu? Percayalah, aku tak pernah menyesali apa yang pernah terjadi. Karena mungkin kedewasaan kalian tak akan lagi dapat menerima hal-hal yang melankolik dan sentimentil. Adek-adek yang kini senang belajar, percayalah, diamku tak akan melukai kalian di kehidupan kalian kini.

Kalian tentu mengerti, kenangan indah justru ketika ia hanya terjadi sekali dan tak terulang. Sebab, segala yang diulang hanya akan menjadi rutinitas dan basa-basi yang tengik. Maka, biarkan aku melihat kalian bahagia dari jauh sembari sesekali mendoakan kalian, rindu kita yang ganjil, dan diriku sendiri. Demikian juga denganku, biarkan aku dengan hidupku; dengan diamku yang cukup aku dan Tuhan saja yang tau. Bukankah kita adalah kata per kata yang membentuk deret kata rindu. Ya, semoga diantara kita bisa saling mengikhlaskan. Karena, seperti kata Defy, keiklasan adalah obat mujarab yang mengobati dan mempermudah hidup kita.

Aku senang begini. Berlama-lama menekuri layar leptop dan mengikuti kabar kalian sembari memutar kenang silam. Dan kalian, adek-adek manis yang dulu sangat sabar menunggu aku datang untuk saling belajar, semoga hidup kalian bahagia.

Kalau sekarang masing-masing dari kita sama-sama rikuh, ini bukan salah kalian. Ini hanya salahku dan waktu. Serta pembelajaran padaku bila satu tahap di atas cinta adalah rasa ikhlas. Selamat jalan adek-adek manis.

Kini antara aku, kalian, tak akan pernah menjadi “kita” tanpa ada rindu. Dan (semoga) bila badai rindu menyergap kalian, maka kalian cukup ke dapur dan membuat kopi untuk keluarga kalian dan menikmatinya sambil menonton televisi di ruang keluarga serta orang-orang terdekat kalian saat ini. Maka, kalau aku kerap bingung mencari warung dan memesan segelas kopi pahit, saat itu aku ingin mencari dan mengundang kalian dalam batinku. Dan menuang kopi, menghirup aromanya sembari berbisik: aku pun juga rindu dengan kalian.

Kamal, 17 Oktober 2014

Citra D. Vresti Trisna 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.