Laman

Minggu, 05 Februari 2017

Cabai Mahal dan Mencret Massal

Curhat dan Analisa Peramal Togel (yang Gagal)

Sekarang harga cabai mahal. Kalau harga mas kawin sudah melangit sejak dulu. Setelah ini apa lagi?
Saya tidak ingin menyalahkan Jokowi soal cabai. Saya khawatir para pendukungnya marah. Pakewuh kalau nanti dibilang haters. Dianggap simpatisan Prabowo, meski Gusti Allah tahu saya ndak nyoblos pilpres kemarin. Saya takut juga diciduk dan dibilang makar. Karena, pengertian ”makar” itu makin kabur saja akhir-akhir ini. Terlebih lagi pemerintah sekarang ”hangat-hangat tahi ayam”, terkadang mbodo, terkadang melas, terkadang galaknya setengah modyar. Tentu saja tidak sulit ”menertibkan” kelas coro seperti saya ini, jadi saya takut. 
Soal cabai, saya hanya ingin ngedumel sendiri. Soal siapa yang bersalah, saya tak mau ambil pusing. Kalau ada pihak-pihak yang membiarkan harga cabai naik, ya, monggo saja. Jangan nanggung-nanggung dan kalau bisa sekalian menaikkan harga rokok, kopi saset dan kalau perlu menarik bayar pada oksigen yang rakyat hirup. Keinginan saya ngedumel itu karena saya mafhum  kalau ”kata-kata” itu sudah tak punya power untuk membuat bising telinga-telinga buntu. Apalagi para spekulan cabai ndak mungkin baca blog ini.
”Kalau kau pesimis dengan kata, untuk apa kau menulis?”
Terus-terang saya serba pakewuh dengan banyak pihak apabila saya hanya jadi penonton yang gemas sendiri. Saya sungkan dengan adek mahasiswa yang masih berpikir bila saya adalah mantan anak pers kampus. ”Anak pers kok tidak kritis!” Padahal saya berhak tidak peduli dengan anggapan-anggapan itu. Bukankah pers mahasiswa itu suci dan tidak bicara soal remeh-remeh urusan dapur; urusan yang nyelempit sudut genangan busuk pasar sayur. Mereka akan turun dengan sendirinya kalau yang dibahas itu sangat prinsipil, seperti: filsafat, pertentangan ideologi, atau teori nganu... nganu...
Saya ndak enak dengan tetangga kos yang kebetulan ngopi di warkop dan tanya pada saya, ”itu harga cabai mahal, kagak lu tulis? Tega amat pemerintah sama kite-kite. Lu tulis, dong. Elo kan orang tipi?” Kalau sudah seperti itu, saya harus bagaimana? Inilah yang berat buat saya. Meski mereka tidak paham dengan pekerjaan saya, tetapi apa, ya, saya terus-terusan nyengir kuda menaggapi kata-kata mereka. Kalau pun saya boleh sedikit menggawat-gawatkan, tentu saja segala yang sampai pada kita adalah ”ayat”, dimana ia datang bukan tanpa maksud. Ini adalah semiotika tuhan yang mesti saya terjemahkan walaupun sering gagal. Ya, saya ini gampang dibikin sungkan, tetapi untuk potongan saya sekarang, saya ini bisa apa? Kalau pun terpaksa jadi tulisan entah apapun bentuknya, tentu saja ini sekedar gugur kewajiban.
Kembali lagi soal standar harga mas kawin, eh, maksud saya harga cabai yang mahal. Saya pikir, kejadian ini bukan tanpa sebab atau berdiri sendiri. Kalau saya boleh lanjut untuk menggawat-gawatkan, tentu akan banyak pihak yang terseret. Jangankan menteri perdagangan, Jokowi, demit alas, atau bahkan Trump ang baru terpilih juga bisa kena. Bahkan Obama yang sedang menikmati masa pensiun sambil main karambol di pulau pribadi salah seorang pendukungnya pun juga bisa diseret-seret untuk dipersalahkan dan dikemplang. Termasuk saya.  
Tapi, saya tak mau terus menggawat-gawatkan. Saya takut dengan omongan dan caci maki pengguna Facebook Twitter dan pengguna medsos yang lain. Mereka teramat sadis kalau sedang kumat nyinyirnya. Saya bisa dibuat terkenal oleh mereka dengan dipajang-pajang, dibuatkan meme oleh para bodrek-bodrek zaman. Saya takut! Mereka tentu lebih gampang mencari saya ketimbang mencari siapa sudrun keparat yang bikin cabai mahal. Pikiran saya lebih mudah ketebak ketimbang rencana membuat cabai langka dan akhirnya punya dalih impor.
Orang macam saya ini sudah waktunya realistis dan tidak lagi perlu mendidih memikirkan harga cabai. Kalau ndak terima cabai mahal, ya, ndak usah makan pakai sambel, meski saya sangat doyan masakan yang pedas. Marah-marah di Pasar Jembatan Lima sambil orasi mengutuk harga cabai yang mahal juga lebih gawat dan dikira stres. Wajah saya bisa diburu-buru bogem mentah tukang sayur. Karena nantinya harga cabai tak akan turun dan saya juga tidak akan dapat gratisan cabe barang sebiji.
Kalau harga cabai tak diizinkan naik oleh Gusti Allah, tentu sesengkuni apapun spekulan, pemain, pemerintah, tidak akan mampu melonjakkan harga. Kalau pun sekarang harga cabai mahal, yang perlu dilakukan adalah melihat hal ini sebagai cermin. Mungkin saja ini sekedar uji kesabaran rakyat. Ada juga kemungkinan bila Allah sedang melatih kedigdayaan kita mengubah beban hidup menjadi bahan tertawaan, atau mungkin ini adalah jalan menuju kemurahan rizki-Nya. Atau perkiraan yang paling sudrun, kenaikan harga cabai ini akibat bibir kita terlalu pedas pada gejala-gejala; terlalu sumbu pendek dengan kejadian; dan terlalu gemampang menyalah-nyalahkan. Dan harap dicatat: ini adalah nasihat untuk diri saya sendiri, bukan untuk pembaca yang budiman.
Saya ini bukan ekonom pilih tanding yang bakal menganalisa meroketnya harga cabai dengan ekonomi makro-mikro sebagai dasar. Saya tak lebih dari pendongeng yang jurus utamanya adalah cocoklogi yang menganggap kenaikan harga cabai adalah bentuk sayang Allah pada hambanya. Apa jadinya kalau kita kebanyakan makan cabai di tengah dagelan politik seperti sekarang? Tanpa cabai pun, hati dan bibir kita akan pedas dengan sendirinya. Kalau ditambah-tambah dengan sering makan cabai, Indonesia akan mengalami kondisi mencret massal.
Mungkin kondisi mencret massal itu adalah kepungan hoax di kehidupan kita. Semburat informasi yang panas dan tidak jelas bentuknya seperti halnya mencret kita semua. Kalau dulu, situasi mencret itu hanya ada di media massa, tetapi sekarang semua orang juga bisa mencret. Puncratan hoax yang ada dari masing-masing orang berbeda-beda kadarnya, bergantung seberapa banyak mulut dan batinnya makan sesuatu yang ”pedas”. Yang lebih parah adalah, puncratan-puncratan hoax tersebut ditelan mentah-mentah, diyakini dan dijadikan bahan berdebat dan ribut dengan orang lain. Kalau wong-wong menyebut dengan istilah post-truth. Tentu makin pedas sekali hoax itu di kepala dan di hati kita.
Sebelum anda semua semakin emosi dengan analisa (ngawur) saya, maka sebaiknya tidak perlu diambil hati. Anggap saja ini hoax jenis curhat yang berangkat dari keputusasaan dan rasa pakewuh pada kanan-kiri. Lha kalau anda semua emosi, tentu bukan saya yang salah. Saya hanya aktifis pemerhati togel dan peramal angka buntutan yang gagal. Kalau saya boleh GR dan merasa ada yang bakal panas dengan kata-kata saya, maka maaf saja. Saya hanya satu diantara kerumunan massa yang sedang ikut mengalami mencret massal. Bakul lombok sedunia, Al Fatihah.
Ya, sudah kalau begitu. Saya ke kamar mandi dulu.


Citra D. Versti Trisna
JKT 48, 5 Februari 2017 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.