Citra D. Vresti Trisna
Dudakarta sedang
dirudung duka dan sekaligus punya hajat besar. Kedatangan Buto Abang ke
Dudakarta membuat warga sedikit resah. Kalau saja tidak ada urusan penting,
tentu saja kawan mbambung Pakde Dalbo
ini tidak akan jauh-jauh ke Dudakarta.
Setelah menikmati
singkong rebus dan kopi pahit, Bhuto Abang mengutarakan keresahan hatinya
karena tidak kunjung menikah alias darurat rabi.
”Bo-Dalbo, saya ini sudah sepuh, sudah sunat, kelewat pantes pacaran, tapi kok,
ya, susah buat menikah. Ini gimana, Bo-Dalbo?” Tanya Buto Abang.
Berdasarkan teropongan
Mbah Ripul, apa yang sedang dialami Bhuto Abang merupakan situasi gawat darurat
nasional. Tanpa penanganan yang baik, situasi ini bisa membawa dampak ke seluruh
alam.
Nama asli Buto Abang
adalah Raden Fathur Gimen Rahman-Rahim Al Nasakomi. Bhuto Abang adalah salah
satu tokoh penting penjaga keseimbangan alam semesta. Di Jakarta, Bhuto Abang
menempuh kemuliaan hidup dengan menjadi keset agung, gedibal alias bolodupakan Partai
Demokrasi Mama Kebo Indonesia (PDMKI). Meski Buto Abang tidak dihitung dalam
peta perpolitikan Indonesia, tapi di mata warga Dudakarta, justru posisi Bhuto
Abang adalah bagian terpenting dan istimewa. Mengapa demikian?
Warga
Dudakarta memiliki kesadaran untuk membalik cara pandang dan sikap. Untuk
menjaga keseimbangan cara pandang dunia, warga Dudakarta membalik konsepsi
ketokohan dengan memuliakan keset partai ketimbang ketua
umumnya. Bahkan presiden yang terpilih atas rekomendasi partai tidak lebih
penting dibanding para keset di dalam
partai. Kalau Ketua Umum PDMKI datang berkunjung ke Dudakarta,
masyarakatnya woles atau selow saja. Warga
Dudakarta juga tidak benci, tapi tidak terlalu menyanjung.
Tapi, kalau yang datang
adalah keset partai, seluruh warga akan sibuk dan gegap
gempita memberikan penyambutan. Bahkan semua warga yang sedang belajar menguji
iman di Jakarta kembali ke Dudakarta hanya untuk ikut menyambut. Apa yang
dilakukan warga Dudakarta adalah cara untuk mengingatkan diri sendiri untuk
tidak melupakan pacul ketika sedang makan nasi; tidak melupakan sekop, gergaji,
linggis dan kuli bangunan ketika melihat mall megah.
Jadi bisa dibayangkan
bagaimana sibuknya warga Dudakarta melakukan penyambutan kedatangan Buto Abang.
Terlebih lagi Buto Abang adalah salah seorang teman Pakde Dalbo ketika masih
berproses di Partai Pulpen Madesu Mahasiswa Indonesia (PPMMI). Bahkan Eyang
Abiyoso sampai harus lepas dari wadagnya dan terbang sampai ke Dudakarta untuk
ikut bersimpati.
Di mata warga Dudakarta,
sakit kepala Buto Abang lantaran darurat rabi
adalah situasi gawat darurat nasional. Biarpun televisi tidak menganggap
peristiwa ini sebagai sesuatu yang penting, tapi bagi warga Dudakarta, ini
adalah ayat Allah yang wajib dicermati. Tentu warga akan kelimpungan dan rapat
selama berbulan-bulan untuk menyelesaikan persoalan ini. Mereka juga akan
sholat tobat dan sholat hajat berjamaah agar Gusti Allah berkenan melunakkan
hati, memberikan kesabaran serta rizki melimpah dan memberikan garwa
padmi (syukur-syukur) garwa ampil bagi Buto Abang.
Demi solidaritas dan
rasa prihatin, Warga Dudakarta juga memberikan simpatinya kepada Buto Abang
dengan cara mengencangkan ikat pinggang dan merapatkan lilitan sarung untuk
ngelembur berdoa dan sholawatan. Bahkan Mas Rombong memberlakukan jam malam
bagi muda-mudi sliweran dan menetapkan larangan apel ke calon
suami atau istri demi menjaga ketentraman batin Buto Abang.
Sambat Buto Abang
membuat perhatian warga Dudakarta atas penutupan Alexis sedikit berkurang.
Karena salah satu akar persoalan Alexis juga tidak lepas dari kian merebaknya
duka batin manusia semacam Buto Abang.
”Matane Mak’e
Kebo amblek! Maunya diperjuangkan terus, didukung, tapi abai pada
duka mendalam Buto Abang. Mak’e Kebo boleh saja lupa memikirkan apakah pejabat
sekelas Buto Abang ini sudah aman rokok, makan dan kopinya. Tapi, jangan sampai
lupa dengan urusan batin dan pernikahan para pejabat partainya. Seharusnya
Mak’e Kebo yang kedunguannya kerap membahayakan piring nasi rakyat ini ngawulo;
menempuh lelaku spiritual menikahkan pejabat partainya agar dosanya diampuni,”
protes Pakde Dalbo di warung Mang Alim.
Mas Rombong dan Mbah
Ripul yang juga sedang kongkow di warung pun ikut masam wajahnya lantaran
memikirkan nasib Buto Abang. ”Lha iya Bo, kok ya sontoloyo sekali
itu si Mak’e Kebo. Dia bisa berleha-leha dan merasa sakti setelah memenangkan
Dukun Tiban di Pilpres, tapi lupa memikirkan nasib para pejabatnya yang sedang
menggigil menahan birahi yang tak tersalur. Bagaimana mau memikirkan nasib
bangsa bila para pejabatnya masih kerap murung dilanda darurat rabi.
Pancen kebo ketulub,” timpal Mas Rombong yang juga ngambek kepada Mama Kebo. ”Bagaimana menurut sampeyan, mbah?”
Lanjut Mas Rombong.
Wajah Mbah Ripul nampak
dingin dan kaku seperti memendam sesuatu. Pakde Dalbo yang sedari tadi
mengepalkan tangan kembali menyahut, ”kalau saya ditelantarkan negara dan tidak
diurusi kebutuhan saya untuk menikah itu masih lumrah. Karena orang semacam
saya ini hampir ndak punya kontribusi apa-apa kepada negara.
Tidak keliyengan setengah mati sebagaimana Buto Abang dalam
memikirkan nasib bangsa; memikirkan ketepatan dan relevansi ideologi negara
serta tegaknya Demokrasi di Indonesia.”
Para sesepuh Dudakarta
nampak terus gusar memikirkan nasib Buto Abang. Mereka menganggap kelalaian
jongos partai dalam mengurus pejabat sejati semacam Buto Abang ibarat
membiarkan mesin yang dipaksa bekerja tanpa ganti oli. Padahal mengganti oli
adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan agar mesin tetap bekerja optimal.
Tanpa mengganti oli, komponen mesin yang bekerja terus-menerus ini terancam aus
dan bahkan bisa membuat patah roda giginya.
Belum tuntas keresahan
sesepuh Dudakarta, Mang Kumis datang melapor, ”Mbah Ripul, Pakde, Mas Rombong,
mas Buto Abang sudah bangun dari tidur.”
Mendapat laporan dari
Mang Kumis. Sesepuh Dudakarta saling berpandangan dan bergegas menemui Buto
Abang. Dalam perjalanan menemui Buto Abang, para sesepuh kompak berdoa dalam
hati, ”Ya Gusti, dalam keteraniayaan nasib hamba-hamba ini, peluklah keinginan
Buto Abang. Hanya Njenengan yang mengerti apa yang ada di
kedalaman kami dan Buto Abang. Hanya Sampeyanyang jauh lebih pantas
dan mampu memberikan restu atas kemaslahatan kami dan Indonesia. Amin.”
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.