Laman

Sabtu, 04 November 2017

Buto Abang Darurat Rabi, Pakde Dalbo Nggondok ke Mama Kebo

#DUDAKARTAdanJAKARTA16
Citra D. Vresti Trisna


Dudakarta sedang dirudung duka dan sekaligus punya hajat besar. Kedatangan Buto Abang ke Dudakarta membuat warga sedikit resah. Kalau saja tidak ada urusan penting, tentu saja kawan mbambung Pakde Dalbo ini tidak akan jauh-jauh ke Dudakarta.
Setelah menikmati singkong rebus dan kopi pahit, Bhuto Abang mengutarakan keresahan hatinya karena tidak kunjung menikah alias darurat rabi. ”Bo-Dalbo, saya ini sudah sepuh, sudah sunat, kelewat pantes pacaran, tapi kok, ya, susah buat menikah. Ini gimana, Bo-Dalbo?” Tanya Buto Abang.
Berdasarkan teropongan Mbah Ripul, apa yang sedang dialami Bhuto Abang merupakan situasi gawat darurat nasional. Tanpa penanganan yang baik, situasi ini bisa membawa dampak ke seluruh alam.
Nama asli Buto Abang adalah Raden Fathur Gimen Rahman-Rahim Al Nasakomi. Bhuto Abang adalah salah satu tokoh penting penjaga keseimbangan alam semesta. Di Jakarta, Bhuto Abang menempuh kemuliaan hidup dengan menjadi keset agung, gedibal alias bolodupakan Partai Demokrasi Mama Kebo Indonesia (PDMKI). Meski Buto Abang tidak dihitung dalam peta perpolitikan Indonesia, tapi di mata warga Dudakarta, justru posisi Bhuto Abang adalah bagian terpenting dan istimewa. Mengapa demikian?
Warga Dudakarta memiliki kesadaran untuk membalik cara pandang dan sikap. Untuk menjaga keseimbangan cara pandang dunia, warga Dudakarta membalik konsepsi ketokohan dengan memuliakan keset partai ketimbang ketua umumnya. Bahkan presiden yang terpilih atas rekomendasi partai tidak lebih penting dibanding para keset di dalam partai. Kalau Ketua Umum PDMKI datang berkunjung ke Dudakarta, masyarakatnya woles atau selow saja. Warga Dudakarta juga tidak benci, tapi tidak terlalu menyanjung.
Tapi, kalau yang datang adalah keset partai, seluruh warga akan sibuk dan gegap gempita memberikan penyambutan. Bahkan semua warga yang sedang belajar menguji iman di Jakarta kembali ke Dudakarta hanya untuk ikut menyambut. Apa yang dilakukan warga Dudakarta adalah cara untuk mengingatkan diri sendiri untuk tidak melupakan pacul ketika sedang makan nasi; tidak melupakan sekop, gergaji, linggis dan kuli bangunan ketika melihat mall megah.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana sibuknya warga Dudakarta melakukan penyambutan kedatangan Buto Abang. Terlebih lagi Buto Abang adalah salah seorang teman Pakde Dalbo ketika masih berproses di Partai Pulpen Madesu Mahasiswa Indonesia (PPMMI). Bahkan Eyang Abiyoso sampai harus lepas dari wadagnya dan terbang sampai ke Dudakarta untuk ikut bersimpati.
Di mata warga Dudakarta, sakit kepala Buto Abang lantaran darurat rabi adalah situasi gawat darurat nasional. Biarpun televisi tidak menganggap peristiwa ini sebagai sesuatu yang penting, tapi bagi warga Dudakarta, ini adalah ayat Allah yang wajib dicermati. Tentu warga akan kelimpungan dan rapat selama berbulan-bulan untuk menyelesaikan persoalan ini. Mereka juga akan sholat tobat dan sholat hajat berjamaah agar Gusti Allah berkenan melunakkan hati, memberikan kesabaran serta rizki melimpah dan memberikan garwa padmi (syukur-syukur) garwa ampil bagi Buto Abang.
Demi solidaritas dan rasa prihatin, Warga Dudakarta juga memberikan simpatinya kepada Buto Abang dengan cara mengencangkan ikat pinggang dan merapatkan lilitan sarung untuk ngelembur berdoa dan sholawatan. Bahkan Mas Rombong memberlakukan jam malam bagi muda-mudi sliweran dan menetapkan larangan apel ke calon suami atau istri demi menjaga ketentraman batin Buto Abang.
Sambat Buto Abang membuat perhatian warga Dudakarta atas penutupan Alexis sedikit berkurang. Karena salah satu akar persoalan Alexis juga tidak lepas dari kian merebaknya duka batin manusia semacam Buto Abang.
”Matane Mak’e Kebo amblek! Maunya diperjuangkan terus, didukung, tapi abai pada duka mendalam Buto Abang. Mak’e Kebo boleh saja lupa memikirkan apakah pejabat sekelas Buto Abang ini sudah aman rokok, makan dan kopinya. Tapi, jangan sampai lupa dengan urusan batin dan pernikahan para pejabat partainya. Seharusnya Mak’e Kebo yang kedunguannya kerap membahayakan piring nasi rakyat ini ngawulo; menempuh lelaku spiritual menikahkan pejabat partainya agar dosanya diampuni,” protes Pakde Dalbo di warung Mang Alim.
Mas Rombong dan Mbah Ripul yang juga sedang kongkow di warung pun ikut masam wajahnya lantaran memikirkan nasib Buto Abang. ”Lha iya Bo, kok ya sontoloyo sekali itu si Mak’e Kebo. Dia bisa berleha-leha dan merasa sakti setelah memenangkan Dukun Tiban di Pilpres, tapi lupa memikirkan nasib para pejabatnya yang sedang menggigil menahan birahi yang tak tersalur. Bagaimana mau memikirkan nasib bangsa bila para pejabatnya masih kerap murung dilanda darurat rabi. Pancen kebo ketulub,” timpal Mas Rombong yang juga ngambek kepada Mama Kebo. ”Bagaimana menurut sampeyan, mbah?” Lanjut Mas Rombong.
Wajah Mbah Ripul nampak dingin dan kaku seperti memendam sesuatu. Pakde Dalbo yang sedari tadi mengepalkan tangan kembali menyahut, ”kalau saya ditelantarkan negara dan tidak diurusi kebutuhan saya untuk menikah itu masih lumrah. Karena orang semacam saya ini hampir ndak punya kontribusi apa-apa kepada negara. Tidak keliyengan setengah mati sebagaimana Buto Abang dalam memikirkan nasib bangsa; memikirkan ketepatan dan relevansi ideologi negara serta tegaknya Demokrasi di Indonesia.”
Para sesepuh Dudakarta nampak terus gusar memikirkan nasib Buto Abang. Mereka menganggap kelalaian jongos partai dalam mengurus pejabat sejati semacam Buto Abang ibarat membiarkan mesin yang dipaksa bekerja tanpa ganti oli. Padahal mengganti oli adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan agar mesin tetap bekerja optimal. Tanpa mengganti oli, komponen mesin yang bekerja terus-menerus ini terancam aus dan bahkan bisa membuat patah roda giginya.
Belum tuntas keresahan sesepuh Dudakarta, Mang Kumis datang melapor, ”Mbah Ripul, Pakde, Mas Rombong, mas Buto Abang sudah bangun dari tidur.”

Mendapat laporan dari Mang Kumis. Sesepuh Dudakarta saling berpandangan dan bergegas menemui Buto Abang. Dalam perjalanan menemui Buto Abang, para sesepuh kompak berdoa dalam hati, ”Ya Gusti, dalam keteraniayaan nasib hamba-hamba ini, peluklah keinginan Buto Abang. Hanya Njenengan yang mengerti apa yang ada di kedalaman kami dan Buto Abang. Hanya Sampeyanyang jauh lebih pantas dan mampu memberikan restu atas kemaslahatan kami dan Indonesia. Amin.”

Dudakarta, Sabtu Pon, November 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.