#DUDAKARTAdanJAKARTA13
Citra D. Vresti Trisna
Siapa yang tak butuh
pulang kampung di zaman tembelek ini? Bahkan penduduk
asli — yang lahir, tumbuh, dan menunggu mati di suatu tempat — juga butuh
pulang kampung. Kemana? Tidak perlu dijawab, karena (konon) manusia modern
lebih mengerti apa yang ada di kedalaman mereka ketimbang Gusti Allah.
Jakarta itu tidak jauh
berbeda dengan Dudakarta dalam urusan budaya pulang kampung. Namun, yang
membedakan Jakarta dan Dudakarta dalam hal pulang kampung hanya soal
itensitasnya. Kalau warga Jakarta hanya pulang kampung saat lebaran, warga
Dudakarta bisa kapan saja pulang kampung. Inilah yang membuat Mbah Ripul dibawa
angin sampai ke Surabaya hingga ia menemukan dirinya sudah memesan tiga batang
rokok dan segelas kopi susu tanpa gula di warung kopi di Lidah Wetan, Surabaya.
Kepulangan Mbah Ripul
ke Surabaya kali ini adalah untuk sesuatu yang penting: pulang kampung itu
sendiri, menjadi berarti dan studi banding. Mbah Ripul juga didaulat mengisi
pelatihan menulis di sebuah organisasi pers mahasiswa yang keblinger dan salah
paham lantaran mengira Mbah Ripul adalah tokoh pers. Tapi, di sisi lain, ia
menyanggupi undangan itu karena ia sendiri menganggap proses mengajar adalah
sesuatu yang prinsipil sekaligus dapat menjadi sarana studi banding; membandingkan
Jakarta — tempatnya mondok — dengan kota kelahirannya.
Mbah Ripul sepenuhnya
sadar bila Kota Surabaya yang sekarang sudah tidak jauh berbeda dengan Jakarta.
Hanya saja, di Surabaya ia diselamatkan oleh bahasa lokal yang kasar namun
hangat. Diselamatkan kenangan-kenangan yang melekat di berbagai tempat, warung
kopi, jalanan dan juga semua hal yang bisa ditangkap oleh panca indra. Tapi mengapa Mbah Ripul bersedia mondok di Jakarta? Ada warga
Dudakarta yang menganggap Mbah Ripul bersedia tinggal di Jakarta lantaran sudah
sampai pada tingkat kesadaran yang cukup tinggi soal pulang kampung:
perpindahan manusia yang bukan hanya fisik, tapi lebih pada proses batin. Meski
mungkin proses pulang kampung secara batin terkadang tak cukup mengobati rindu
dan dunia terus bergerak. Rasa ingin tahu perubahan Kota Surabaya juga mungkin
menjadi sesuatu yang membuatnya nekat pulang.
Lalu apa hasilnya? Mbah
Ripul dibuat kecewa karena yang ia lihat adalah gejala sosial yang mirip
sebagaimana yang pernah ia ramalkan: sekumpulan generasi muda yang gemar
menggambar kelamin kota dan aurat televisi serta kemalasan yang bersumber dari
aneka kemudahan teknologi.
Hasil pengamatannya
selama beberapa hari ini disyukuri sebaik mungkin karena apa yang ia lihat
adalah sebagian kecil dari apa yang Gusti Allah ingin tunjukkan kepadanya.
Meski ia sendiri sadar betapa susahnya berbaik sangka pada apa yang telah
dilihat dan tak sesuai harapan.
Baru lima menit kecewa,
seorang pemuda yang wajahnya mirip Eyang Abiyoso — temannya semasa masih
jadi playboy — nyeletuk, ”kami ini generasi yang sedang
kebanjiran energi negatif karena isi kepala dan batin kami jarang dibasuh wudhu
dan bersujud menyembah!”
”Kamu siapa?” Tanya
Mbah Ripul. Pemuda tadi tidak menjawab pertanyaannya dan melanjutkan
kata-katanya, ”jumlah energi negatif yang kami hasilkan tidak sebanding dengan
jumlah energi positif. Alhalsil kami tak sanggup menyeimbangkan antara positif-negatif
menjadi cahaya. Kalau pun ada positif-negatif yang sempat saya kawinkan, cahaya
yang dihasilkan tidak terang; mendrip-mendrip. Sampeyan ndak ingin membantu kami?”
”Apa yang bisa saya
bantu? Apa saya bisa membantumu? Mengapa saya yang harus membantumu?” Tanya
Mbah Ripul.
”Terkadang saya bisa
membantu diri sendiri, terkadang tidak. Tapi, generasi kami lebih sering tidak
bisa membantu diri sendiri. Kami tahu beberapa hal mendasar yang dapat menjadi
solusi hidup kami, meski itu susah...”
”Contohnya?” Potong
Mbah Ripul.
”Kawin, mbah. Kami yang
sudah tuntas mimpi basah ini butuh menikah muda. Mungkin kalau dulu nikah muda
bukan prioritas, tapi semua orang punya kesadaran untuk menikah muda dan
menikah muda konon telah menjadi keniscayaan. Zaman tembelek ini
membuat kami 1000 kali lebih cepat baligh dibandingkan
muda-mudi zaman dulu. Sehingga urgensi untuk menikah muda jauh lebih besar ketimbang
sebelumnya. Tapi, mbah, standar-standar jahanam di zaman ini pula yang membuat
birokrasi menuju pelaminan begitu sulit ditembus. Zaman ini menciptakan
beraneka paradoks: kami tidak ingin buru-buru menikah padahal kami sadar bila
kami sudah butuh; kami anggap kawin muda sebagai kemunduran berpikir, meski di sebalik
kesunyian hati, kami sadar kawin itu rasional. Alhasil sebagian dari kami
menikahi lem kertas, drama Korea, televisi, hiburan malam, game, smart phone
dan banyak tai kucing yang kami pikir coklat.”
Mbah Ripul memandang
pemuda mirip Abiyoso itu dengan mata nanar dan tidak habis pikir. Pemuda di
hadapan Mbah Ripul meneruskan kata-katanya, ”karena tidak menikah, kami jadi
begitu mudah terangsang dengan banyak hal. Kami terangsang dengan keinginan
domestik: mobil, rumah, deposito, barang mewah, kemenangan-kemenangan duniawi.
Kami tahu apa yang kami inginkan itu semu, tapi hanya zaman ini yang membuat
kami berpikir: semakin semu semakin enak; semakin haram semakin menggairahkan;
semakin makruh semakin asik. Begitu jauh jarak kami dengan segala sesuatu yang
halal hingga kami merasa terasing dengan semua yang halal. Kami juga kehilangan
pengalaman memperjuangkan sesuatu yang halal. Tolong kami, mbah. Katanya
sampeyan ingin menjadi berarti?”
Mbah Ripul merasa kepalanya seperti dibenturkan
ke tembok balai desa. Karena bingung meladeni pemuda mirip Abiyoso yang
nampaknya baru saja mengendus lem kertas dengan khusyuk itu, ia membakar
tiga batang rokok sekaligus dan kelesetan di lampu merah.
Surabaya, Sabtu legi, Oktober 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.