Laman

Senin, 05 September 2011

Belajar Bijak Pada Khidir dan Rakyat


Tiba-tiba saya jadi bingung. Menyadari sebuah fakta tentang masyarakat, khususnya di Indonesia, adalah sebuah peradaban tua yang sudah kenyang dengan urusan dan segala tetek bengek keramahan dan basa-basi politik model apapun. Segala basa-basi akan dibalas dengan basa-basi pula, sebab kedalaman hati masyarakat Indonesia ini masih belum ada tandingannya. Apalagi untuk benar-benar memahami apa itu Indonesia dengan berbagai perangkat dan segala mahluk di dalamnya. Maka boleh jadi apa yang kali ini ku curahkan akan mengalami pincang, sebab aku masih memandang dari kacamataku saja.
Semaling-malingnya politisi, dan sejahat-jahatnya kepentingan yang dating mendekat pada rakyat, akan mereka pahami dengan penuh kebijaksanaan, keramaan dan penerimaan yang tiada tndingannya. Tidak sepertiku yang selalu gegabah dalam urusan apa saja, seperti keinginanku melempar muka koruptor dengan sepatu atau apa saja yang ku temui untuk bisa menghinakan mereka.
Rakyat sudah letih dengan segala pelajaran kebijaksanaan yang membuat mereka menjadi semakin “manusia”. Mulai dari jaman Gatot Kaca sunat,sampai jaman Revormasi yang tengik seperti sekarang. Dibodohi, dizalimi, dan dihinakan oleh para pemimpin kita, bahkan didera badai derita dari setiap jaman: kemanusiaan mereka tetap teruji. Bahkan mungkin Khidir berkali-kali mendatangi mereka sebagai sosok penindas, sosok yang sebenarnya mereka benci, untuk sekali-kali melakukan ujian pada kebijaksanaan mereka: dan rakyat lulus dengan hasil dan nilai yang ‘cukup’ baik. Rasa-rasanya aku mesti terus jalan untuk bisa memahami kemanusiaan sebagai dasar dan batu pijakan dari pelajaran kebijaksanaan.
Namun, dalam proses belajar bijaksana, dimana menghadapi peradaban yang telah sepuh dengan rakyat sebagai guru sejati, aku mesti waspada. Aku tak ingin terkecoh dengan terlalu percaya pada apa yang ku lihat, kudengar, sentuh dan rasakan. Kupertajam lagi penglihatan mata batinku untuk lebih bisa memahami apa yang terjadi untuk kembali direnungkan dari saripati ajaran kebijaksanaan. Aku tidak bisa sok-sok’an macam Musa, yang sudah sombong dan merasa paling pintar. Apalagi aku hanya manusia biasa, yang tidak ada seujung kuku bisa menandingi Musa sebagai seorang nabi.
Menghadapi kebijaksanaan dan keramahan rakyat kepada siapa saja yang sowan: baik Khidir, politisi tengik, hantu kuburan, penagih utang, dan bahkan iblis paling jahat. Karena lagi-lagi mata kebijaksanaanku ini minus parah, aku mesti curiga dulu pada semua yang tampak. Aku tidak mau terkecoh untuk terlalu mengaggungkan sesuatu sebelum aku tau betul persoalannya. Seperti keramahan masyarakat pada siapapun, aku sedikit curiga, jangan-jangan terselip sesuatu yang justru menjerumusanku lebih jauh. Kata para cendekiawan kita: “masyarakat sudah semakin cerdas sekalipun terkadang nampak lugu”. Seperti ketika ramai pemilu: rakyat tetap mempersilahkan siapapun yang datang menawarkan sesuatu. Mereka tetap senyum-senyum, diajak jalan untuk konvoi ya oke-oke saja, diajak tawur ya mau, diajak pake kaus yang sama kaya anak TK karnafal ya sudi-sudi saja, sekalipun esoknya bisa saja ganti kaus yang lain. Pagi konvoi pakai seragam biru, siang bisa kuning, malam juga hadir di kenduri orang-orang merah. Ada apa ini?
Secara lahir, masyarakat kita adalah masyarakat yang ramah. Siapa saja boleh mampir ke rumahnya mengantar setrika, beras, uang dari satu golongan, dengan pesan: “jangan lupa pilih nomor 234, ya, bu”, di jawab “enggih, nak”. Tak berselang lama, datang utusan dari partai demit , dan jawabnya juga sama saja. Tapi menjelang pemilihan, karena sakit gigi, mereka juga tidak terlihat datang ke bilik suara. Alamak. Masyarakat kita ini sebenarnya oportunis atau benar-benar ramah toh?
Dalam hidup, aku sadar bila setiap kita memiliki kecenderungan untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Saat ini, aku berkeyakinan bila apa yang terjadi itu saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Keramahan yang terjadi belum tentu murni sebuah keramahan. Ia juga berpotensi untuk menjadi sebuah kejahatan, baik disadari atau tidak. Keramahan juga tersusun dari pola-pola kemunafikan, dan sedikit unsur kecerdikan dan gambaran dari sikap survive dari kejahatan-kejahatan jaman dengan manusianya.
Lalu nongolnya pemimpin-pemimpin tengik yang lahir dari pemilu itu juga tidak bisa lepas dari kolektivitas kita sebagai bagian dari negara. Kalau nantinya orang yang kita pilih tadi mbalelo ya kita jadi turut rembuk dalam proses lahirnya ke-mbaleloannya. Sedangkan bagi yang tidak milih, ya ikut berdosa karena membiarkan seorang mbalelo harus memimpin. Kalau pada suatu saat digebukin dan dipendelik’ki malaikat: “mengapa kamu tidak memilih yang baik?”. Para golput menjawab serempak: “Lho memang ada yang baik to? Mereka semua sama saja, sama-sama maling kecil yang malih rupa menjadi baik karena mereka sedang butuh dukungan”.
Duh Gusti, apa itu kebijaksanaan? Mbok ya saya ini diperkenankan ketemu Khidir, dan tolong kasih tau kalau itu Khidir, biar diam-diam saya bisa meguru. Saya janji deh pasti membela mati-matian ketika sewaktu-waktu dia ditangkap polisi karena membunuh seorang anak. Sebab hokum kita kan keminter dan sok bijaksana. Bahkan dengan kuasaMu sekalipun. Tapi lagi-lagi aku menyapamu, Gusti: kasih tau dulu ya.

Baca juga Khidir dan Koruptor

Citra D. Vresti Trisna – Kletek, September 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.