Laman

Selasa, 04 Oktober 2011

Fundamentalisme

Saya percaya bahwa fundamentalisme adalah wajah kita semua yang percaya pada sesuatu (agama). Sekali pun fundamentalisme telah berubah makna, ketika Negara Barat gencar berpropaganda; sejak dua menara kembar diratakan pada 11 September. Fundamentalisme sendiri telah berubah makna, yang disebut James Barr untuk mengistilahkan fundamentalis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Dunia Kristen; disempitkan menjadi sekedar “politik islam”. 

Dalam sejarah Kristen, fundamentalisme dipakai untuk menyebut para evangelicals atau penjaga Injil. Tapi, itu semua adalah sejarah yang tidak butuh disinggung dan diluruskan. Dunia telah nyaman dengan penyempitan makna fundamentalisme yang berarti: politik Islam, teror, kekerasan, dll. Terlebih di Indonesia yang merasakan hangatnya sentuhan konflik dari persinggungan antara sikap konservatif kaum fundamentalis dengan penganut humanisme dan liberalisme.

Kaum fundamentalis Islam di Indonesia juga mengalami kegelisahan yang sama dengan apa yang dirasakan Kristen pada masa gelap gereja. Keresahan terhadap tantangan bermunculannya “Tuhan baru” dalam kehidupan manusia: ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan kesadaran logis, serta modernisme. Saat itu gereja tidak segan-segan bersifat keras terhadap para misionaris penggoyah keyakinan dan dokrtin gereja. Galileo adalah salah satu contoh kecil dari keresahan kelompok agama terhadap bentuk Tuhan baru manusia. Dalam Islam, fundamentalisme juga tak kalah mengerikan dalam mengapresiasikan kekhawatiran akan bahaya jaman yang mencoba merusak “kemurnian” keyakinan. Seperti contoh: penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah yang menelan banyak korban juga menjadi catatan terbaru tentang kebengisan fundamentalisme islam di Indonesia.

Saat ini kaum fundamentalis telah mendapatkan rapor merah di dalam ingatan masyarakat. Fundamentalis adalah sesuatu yang tetap hidup dan menelan banyak korban. “Kemurnian adalah segala-galanya untuk mencapai kemenangan. Apapun itu,” ucap seorang kawan saat disinggung tentang fundamentalisme. Lalu, ia bercerita soal Israel, kemurnian ras dan segala kepercayaan yang intoleran. Maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa kemurnian itu benar-benar ada? Sejauh mana kita meletakkan batasan terhadap fundamentalis itu sendiri?

Saat keadaan chaos, yang dibutuhkan melebihi segalanya adalah kedamaian. Kita akan melupakan kemurnian, kepercayaan yang saklek dan tidak dinamis. Mengingat jaman dan manusia telah begitu letih terhadap perang untuk memperjuangkan sesuatu yang abstrak. Saat fundamentalisme mencapai chaosnya, diam-diam kita akan berpikir: apakah Tuhan membutuhkan ini semua? Butuh jatuhnya korban dan tubuh yang berdarah sebagai persembahan. Hal ini adalah perasaan yang wajar, karena setiap manusia terbentuk dari unsur yang sama. Juga sebuah kewajaran bila seseorang butuh untuk percaya pada sesuatu dan memperjuangkan apa yang diyakininya, hingga fundamentalisme lahir sebagai produk peradaban dan sejarah.

Kesadaran akan fundamentalisme menjadi sesuatu yang nisbi. Sebab untuk memahami fundamentalisme yang paling dasar berangkat dari semangat purba – narsisme – kelompok yang merasa paling benar. Segala hal yang berada di luar kepercayaan kita dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Disadari atau tidak, kebutuhan ekspansi akan keyakinan dan jumlah massa menjadi suatu kebutuhan yang tidak terelakkan. Untuk mencapai tujuan itu, segala jalan –termasuk perang–, menjadi logis bagi mereka yang menyebut dirinya pembela Tuhan. Sekali pun mereka sadar bila fundamentalisme akan membentur pada fundamentalisme yang lain dan mungkin memiliki tujuan yang sama.

Selain keaslian, kebenaran mutlak yang intoleran dan tidak fleksibelnya sebuah kepercayaan menghadapi tantangan jaman akan berpotensi konflik. Jaman akan berkembang dengan segala tantangannya. Ia berpotensi menjadi badai yang merobohkan bangunan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Hal ini seperti yang digambarkan Nietszche sebagai nihilisme. Ramalan dari runtuhnya kepercayaan dan kemapanan oleh Tuhan Baru. Ada anggapan, bahwa fundamentalisme merupakan manifestasi dari perlawanan terhadap datangnya Tuhan baru dalam kehidupan. Fundamentalisme juga lahir dari adanya ayat-ayat yang sifatnya saklek di kitab suci. Dari sinilah fundamentalisme lahir. Meski di sisi lain, kita kerap melupakan bahwasanya ada ayat-ayat yang ambigu dan membutuhkan telaah lebih jauh.

Agama adalah jawaban yang sangat relevan untuk mengatasi tantangan jaman model apa pun.  Tuhan menganugrahkan akal pada manusia untuk bersikap arif dalam menjawab setiap perubahan. Ambiguitas akan kita terjemahkan dengan sendirinya seiring masa dan tantangan yang datang dengan segala anugrah akal yang Tuhan berikan. Artinya, bahwa agama Tuhan memiliki metodenya sendiri dalam menjawab setiap tantangan.

Kesimpulannya, fundamentalisme datang dari sebuah keresahan tanpa dasar akan jaman yang kemudian diperjuangkan dengan bedil dan darah. Meminjam istilah Goenawan Mohammad: fundamentalisme dan liberalisme dalam agama itu tidak salah asalkan ia dijalani tanpa kekerasan.

Kekhusyukan kita berTuhan tidak sepantasnya sejalan dengan semangat kebencian pada sesama. Kita akan sampai pada pengertian tertinggi saat kita bisa saling memaklumi segala tantangan dan perbedaan yang datang. Kalau fundamentalisme berarti mengabarkan perang lantaran kegagalan kita melakukan ekspansi atas keyakinan, itu sama halnya dengan mengatas-namakan Tuhan untuk pembunuhan-pembunuhan. Masa-masa ketika segalanya telah bebas –termasuk menjalankan kepercayaan– sekaligus menjadi pertanda, bahwa masa berdarah demi berkeyakinan semestinya dihentikan. Seingat saya Muhammad adalah tauladan tertinggi yang mampu menunjukkan, bahwa Islam bisa sangat ramah dan duduk berdampingan dengan kepercayaan lain tanpa harus saling bertikai.

Adakah kita hendak menjadi nabi-nabi baru yang membawa pedang berlumuran darah untuk memaksakan kepercayaan  kepada orang lain?

September, 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.