Laman

Selasa, 27 Desember 2011

Teh Tawar

Teh tawar. “Percayalah, ini enak. Cobalah.”

Selalu seperti itu kalau kebetulan aku sedang nyelles karena ditanya macam-macam soal pesanan teh tawarku yang baginya tidak lazim. Batinku, apa urusanmu dengan teh tawar yang aku pesan? Aku mau pesan teh campur taik kucing, atau taik kambing, itu semua urusanku. Tapi untung saja, di Indonesia masih belum ada warung yang mencampur hidangannya dengan taik kucing. Sehingga, aku tak perlu memesan teh campur tai kucing.

Di terminal Terboyo, Semarang. Seorang lelaki (kata kawanku mirip Rendra) tanpa ba bi bu, dia berujar: teh tawar bisa bikin kita awet muda. Apa hubungannya? Setahuku teh tawar itu obat mencret. Itu saja. Kalau saja ada penelitian yang membuktikan bahwa teh tawar membuat Anda jadi awet muda, atau bikin kita jadi lebih kaya, itu urusan nanti.

Lupakan soal penelitian itu. Seperti orang kurang kerjaan saja meneliti khasiat teh tawar. Tapi yang jelas, orang mirip Rendra itu memberikan spirit baru padaku untuk terus melestarikan budaya minum teh tawar. Sehingga, setiap ada acara ngopi, ada alternatif lain yang bisa dipesan selain kopi.

Hal ini pula yang mensugesti Timur Budi Raja (penyair Bangkalan) untuk ikut-ikut memesan teh tawar di kesempatan berikutnya. “Cit, ternyata teh tawar itu enak, ya?” Tukasnya. Aku tertawa terkikik, merasa dapat kawan yang juga aneh karena percaya padaku dan orang mirip Rendra yang kita temui di Terminal Terboyo.

Tak perlu artis untuk bisa mempropagandakan sesuatu dalam iklan dan membuat orang lain terprovokasi. Orang biasa di terminal dan saya yang juga nampaknya ada bakat ngartis ini bisa menjadi magnet bagi orang aneh-aneh lainnya.
Aku sendiri lupa kapan persisnya aku mulai memesan teh tawar di setiap acara ngopi. Aku juga tidak paham benar: apa iya kalau aku ini suka teh tawar. Setiap ke warung (karena sudah kembung dengan teh tawar di warung sebelumnya) aku ingin memesan teh manis untuk teman begadang. Tapi, sebelum aku memesan teh manis, penjaga warung mendahuluiku bicara: “teh tawar, mas?” Kata Cak To dengan senyum. Melihat Cak To (penjaga warung kopi di jembatan layang Waru) menghafal pesananku. Ada rasa bahagia yang meledak. Sepertinya aku begitu dirindukan di warung ini. Di samping aku adalah badut yang selalu jadi hiburan para tukan becak yang emosi karena kalah catur. Nampaknya, setelah kalah dengan Cak To, ia seperti menemukan harga dirinya kembali dengan bermain catur denganku. Karena di setiap pertandingan, aku selalu kalah dengan meraka.

“Ayo-ayo teh tawar’e diombe disek, baru main maneh (ayo-ayo teh tawarnya diminum dulu, baru main lagi). Sebuah sihir magis, menurutku untuk membuatku setia memesan teh tawar. Image yang melekat padaku adalah: orang asing pecinta teh tawar yang selalu kalah main catur.

Aku tak pernah keberatan harus menjadi bulan-bulanan para tukang becak dan Cak To dalam hal catur. Kalau itu bisa membuat mereka senang dan sedikit terangkat dari beban hidup yang mencekik, rasanya tak masalah. Toh kita semua butuh hiburan.

Melihat wajah mereka yang begitu bahagia, aku pun ikut senang. Kalau meraka jadi badut dan bulan-bulanan pemerintah tengik dan wakil rakyat Sidoarjo yang ingin ganti mobil karena menganggap sudah tidak layak dan minta tunjangan aneh-aneh. Duh, gemas rasanya saya ini. Jadi pengen duel saja sama mereka. Benar, aku tak keberatan menjadi badut catur para tukang becak. Bahkan, mungkin saking senangnya, mereka mentraktirku dua gelas teh tawar. Karena harga teh tawar di warung Cak To hanya limaratus rupiah. Setengah harga dari teh manis pada umumnya. Sungguh teh tawar waktu itu benar-benar berbeda.

Aku semakin mantab dengan teh tawar yang aku pesan. Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika hendak memesan teh tawar itu: “Cak To, teh tawar siji (satu).” Seperti seorang Rambo yang mantab berbiara dengan musuhnya: I am Rambo, who you are? Well, mreneo, tak pateni bareng-bareng! Yah, semacam itulah, padahal aku juga tak seberapa suka dengan teh tawar, tapi terus saja ku pesan.

Sama halnya dengan warung Kletek. Baik Sapari, Eko, ibu-ibu penjaganya sangat hafal denganku. Terlebih pesananku. Meskipun harga teh tawar di sini sama dengan teh manis, tapi tak apalah.

Tapi, ada hal yang mengerikan yang tersembunyi di balik seleraku dengan teh tawar. Seperti rasanya yang aneh: sedikit pahit dan tawar-tawar gimana gitu, mbuh lah; aku mendapatkan satu hal tentang diriku. Apa benar aku suka teh tawar? Jangan-jangan dalam hidupku, aku menyukai sesuatu yang tak pernah benar-benar kuyakini. Atau jangan-jangan aku terus melakukan sesuatu yang tak pernah kuyakini dan tau asal-usulnya. Mengerikan, bukan?

Tapi, jangan kawatir. Ini cuma buatku saja. Bagi Anda semua yang membaca catatan ini, saya yakin adalah orang yang waras dan tak perlu diragukan setiap keputusan dan segala sesuatu yang ada lakukan. Aku yakin Anda semua adalah orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran tinggi dan melalui metode pencarian yang epistemik yang membuat dasar-dasar keyakinan Anda begitu jelas.

Kalau Anda menikahi seseorang, itu karena Anda semua benar-benar mencintainya dan memutuskan hidup bersama untuk beranak pinak. Kalau Anda bekerja di suatu tempat – jadi PNS, guru, dosen, pegawai bank, polisi, TNI – itu karena jiwa, kesadaran, kemampuan, latar belakang, bakat dan kemampuan Anda memang mengarah pada pekerjaan yang Anda lakoni sekarang. Juga ketika Anda memutuskan untuk jadi mahasiswa, memasrahkan nasib Anda pada pendidikan yang tidak jelas, percaya pada tokoh agama, atau nyolong, melacur, korupsi, menjilat,  membandit, memperkosa, juga karena sebuah dasar yang logis. Bahkan Tuhan pun akan kelimpungan  dengan segala argumen Anda. Apalagi saya.
Beda dengan saya. Saya ini – dari hal yang sepele, seperti memilih teh tawar – bukan dari kesadaran logis, dan bahkan plinplan. Dan terus terang aku juga curiga dengan hidupku yang lain. Jangan-jangan saya adalah satu kesatuan ketidak jelasan yang membuat saya jadi macam ini. Bahkan dengan kuliahku sekarang; kupaksakan juga menggarap skripsi untuk kelak “katanya” bisa jadi sarjana. Memakai baju karung yang aneh, juga topi yang aneh, dengan tali yang bila ditambah lagi panjangnya bisa jadi semacam alat gantung diri. Apa sekolah tinggi-tinggi ujungnya hanya melakoni ritus yang aneh. Dan kita bangga. Ditambah lagi, kupaksakan menggarap skripsi, bukan karena aku cinta pada teori-teori yang mengkalengkan manusia dan sok-sokan menjadi metode dan cara kerja dunia. Apalagi soal berpikir runtut dan sistematis yang tengik. Bukankah lebih menarik untuk mengarang cerpen stensilan (porno) ketimbang menggarap itu semua.
Tapi, semua harus kulakukan dengan alasan: lha piye maneh (lha bagaimana lagi). Tragis benar hidupku.

Sudahlah, mengapa aku jadi begitu sentimentil gara-gara teh tawar. Bodoh sekali. Tapi biarlah sejenak aku akan terus pesan teh tawar dan jadi badut catur yang payah didepan para tukang becak, agar hidup mereka tidak semakin tercekik. Dan kabar burungnya, mereka tercekik juga karena orang-orang yang dulunya kuliah. Taik kucing.

Aku sadar bila apa yang ku lakukan hanya menjadi sebutir debu diantara gurun pasir. Kalaupun kulakukan, ya, tidak ada dampaknya. Mereka tetap miskin. Aku juga sadar bila aku bukan Tuhan.

Duh Gusti, sebegitu jauhnya aku dari berarti. Betapa payahnya kesadaranku untuk terus melakukan sesuatu  yang tak
berdasar apa-apa. Gusti pengeran with me, please. Juga bersama Cak To, tukang becak yang kalah nasib, sopir bemo, pemabuk warung kletek, juga bersama Anda semua.

Soal teh tawar, salut buat Cak To, yang sudi memberikan aku setengah harga pada teh tawar yang aku pesan. Ayo dolanan skak maneh.

Selamat Natal dan tahun baru, bagi yang merayakan. Saya sarankan, nikmatilah natal dan tahun baru anda dengan teh tawar. Sumpah enak lo.

Warung Kletek, akhir 2011
Citra D. Vresti Trisna

12 komentar:

Esti Maryanti mengatakan...

Kalo aku sih minum teh tawar cuman pas lagi diare.. hehe

sipp pak de.. dari teh tawar aja bisa jadi tulisan ya

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Terimakasih ya Esti sudah sudi mampir di kampung saya. hehehe

Si Belo mengatakan...

Teh tawar emang enak apalagi campur es...:)

ayoo...lawan maen catur ame Nay pak de, di jamin deh pak de yang menang...#eaaa..:D

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

terimakasih udah berkunjung Mbak naya elbetawi. monggo, main catur. sesama orang yang suka kalah, dilarang saling meledek. hehehehe

terimakasih

L. Nadira Rambe mengatakan...

tulisannya bagus baanget. saya suka. banyak pesan moralnya apalagi saya yang baru nyadar ternyata bersatus plinplan juga. hehehe :D

kunjungan pertama. :)
trims sudah berkunjung ke blog saya :)

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Terimakasih Leiny sudah sudi mampir di kampung saya. Kamu gak plinplan kok. itu cuma buat saya saja. heheheh
terimakasih sekali lagi

Anonim mengatakan...

enaknya minum teh tawar sambil ditemenin sama mikha tambayong -_-

garuru mengatakan...

nice post pak de first visit here :D

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

oomguru: terimakasih untuk kunjungannya. salam tembayong

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

garuru: terimakasih

Dara Agusti Maulidya mengatakan...

follback ya kk :)

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

makasih dara, udah aku follow kok. salam kenal

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.