Laman

Sabtu, 16 April 2011

Farid - Catatan Orang Biasa

Farid Maulana, sebuah nama yang mungkin asing bagi kalian. Atau bahkan tidak penting. Kalau kau berpendapat demikian, maka itu benar. Tidak ada yang mengenalnya, sebab ia tidak termasuk dalam barisan orang-orang yang pantas dikenal, seperti koruptor, misalnya. Ia bukan pejabat pemerintahan, ia juga bukan dalam barisan pengusaha, seniman, musisi, cendekiawan atau ilmuan. Dan mungkin sama sepertiku, yang tidak mempunyai kapasitas apapun yang membuatku berhak untuk dikenang setiap orang. Seperti ujarnya padaku di suatu sore yang cerah, di sebuah warung kopi murahan didekat terminal Joyoboyo, “Nasib sial bagi orang-orang macam kita adalah terlahir sebagai ‘manusia’. Yang tidak berlabel, kalau tau bakal seperti ini, lebih baik aku mau jadi orang, asalkan punya label.”


Mendengar ucapannya, aku hanya diam. Memandang langit-langit warung kopi yang bergoyang-goyang diterpa angin sore. “Ror, kemanusiaan yang kau tawarkan padaku itu sudah tidak lagi laku bagi kehidupan yang sekarang. Sebab dengan kemanusiaanmu, aku tidak bisa mendapatkan Tias, perempuan yang membuatku bodoh gelagapan.” Tukas Farid, serius. Sementara Rori hanya tersenyum, ngakak, tanpa henti menertawakan Farid. Entah apa maksud tawanya, waktu itu. Sebab, yang ku tau, aku hanya terdiam menanggapi kata-katanya.

“Manusia tak berlabel hanya sanggup dan pantas dengan harapan biasa, yang tak berlabel. Yang sesuai dengan derajad dirinya. Dimata siapa? Tuhan, kah?”

“Manusia, label, manusia, label” kata-kata itu terus diulang Rori hingga beberapa kali. Mungkin ia mencoba menerka apa yang dimaksud Farid. Yang jelas, wajahnya menjadi aneh seketika. Jelas Rori berpikir dengan kening yang sekarang nampak berkerut.

Saat itu tak ada penjelasan berarti, kecuali kita yang bubar satu-persatu, tanpa ada penjelasan apapun. Aku mengejar Rori yang nampak murung berjalan sambil memainkan gitarnya. Aku turut pulang bersamanya. Berjalan membelah sinar sore yang keemasan. Indah sekali, sayang harus tanpa kata.

Malam bergetar bersama hujan. Farid pergi untuk selamanya dengan wajah yang kelihatan risau. Dalam pelukan Rori, ia berpesan sangat singkat: “Sebagai manusia tak berpangkat dan tak berlabel, aku cuma minta tolong. Tolong ya bos, bayarin utangku di Pangat, ya, semuanya 200 ribu. Sampaikan salamku ke Tias: I lope yu (I love you). Sampai ketemu.”

Dia sekarat dalam sebuah perjalanan ke puskesmas. Ia meninggal di jalan hanya karena terlambat dapat pertolongan ke rumah sakit. Di sebuah gang agak jauh dari tempat kosnya harus di tutup karena ada acara pernikahan. Sehingga harus mencari jalan tikus yang lain.

“Djangkrek, balapan ngentu ae atek mbuntoni dalane wong. Dancuk!” (Jangkrik, lomba bersenggama saja harus pakai menutup jalannya orang lain ) mungkin karena hal itu aku sangat benci sekali ada orang yang harus menutup jalan hanya karena ada acara. Sebuah kebencian yang tidak prinsipil, memang. Tapi ku pikir aku berhak membenci; kalau sekarang bolehlah kukatakan ‘tidak pantas’.

*

Beberappa hari setelah kepergian dia, aku kembali teringat pada ucapan Farid mengenai label pada manusia. Namun, lagi-lagi aku harus tak punya penjelasan atas apa yang menimpa Farid.

“Serangkaian jerat hidup harus membuat orang kecil macam kita putus asa. Benar saja gelar itu penting kalau pada akhirnya kita harus berjalan pada suatu tujuan. Sedangkan hidup kita selalu memaki, ketika kita hanya berpangku tangan dan tak berjalan kemanapun untuk tujuan kita. Benar saja, cita-cita Farid sangat sederhana, se sederhana hidupnya dan harus habis dengan cara yang sederhana pula. Memang hidup itu tak mutu kalau cuma hendak menjadi badut.”

Sore menjadi layu. Se-layu mata Farid dalam memandang. Kali ini hari sudah lebih malam dari biasanya. Tidak ada ke-emasan sinar sore yang mesti dibelah dengan pertanyaan-pertanyaan. Sebab, akhirnya aku hanya bertanya pada diriku. “Apa masih pantas bila aku harus sombong ketika aku sendiri bukan siapa-siapa?”
Memang benar. Aku hanya manusia biasa, sama seperti Farid. Seorang, yang juga biasa, dengan cita-cita yang biasa, harus habis dengan cara yang biasa.
Kalau saja dia adalah Farid Martin, drummer Boomerang, mungkin akan lain ceritanya. Tidak seperti ini, karena tidak ada yang hendak mengenangnya. Mungkin cuma aku yang mau mengenang, yang masih mau membuatkan catatan-catatan sembrono tentangnya. Juga orang tuanya, mungkin.

Sebab, kalau bukan kita yang mengenang orang-orang biasa macam: Farid, Rori, dll. Siapa yang hendak mengenangnya. Apa mereka menghendaki aku menjadi orang besar?
Hai, bolehkah aku jadi orang yang besar?

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.