Laman

Jumat, 27 April 2012

Pasca*

-Apa cara hidup beragama kita ini membosankan hingga harus ada kekerasan dan represi agama? Ketika komunis berkuasa dan agama di represi: itulah momentum terbaik untuk merenung – mengakhiri kebengisan dan keserakahan umat beragama.

Suara keagamaan kembali terdengar. Setelah komunis di berbagai belahan dunia sempat membungkam para “sales agama” Tuhan dalam dalam beberapa saat. Kini penyambung lidah Tuhan lebih leluasa dalam melakukan tugasnya.
Mesjid-mesjid bebas memanggil para hamba tuhan untuk sholat tanpa harus takut ditendangi punggungnya oleh sekelompok masa yang mengamuk. Pemeluk Islam tidak perlu kawatir membaca Al Quran setiap saat, tanpa perlu kawatir dirobek-robek: “iki sing mbarai gudiken  ( ini yang membuat kudisan ) ujar simpatisan Komunis Indonesia di Jawa Tengah yang merobek dan menginjak-injak Al Quran di pagi buta usai sholat subuh.  Gereja bisa membeli ikon-ikon paling mewah dan membuat lonceng dengan sepuhan emas tanpa kuatir dirampok tentara merah untuk dilebur dan dijadikan bahan senjata. Pohon cemara juga bisa ditebangi kapan saja, saat natal tiba, tanpa perlu kawatir dihalang-halangi pimpinan komunis, dengan alasan merusak lingkungan.
Di Soviet, semasa Lenin, semua kegiatan peribadatan berhenti. Lonceng gereja berhenti berdentang, perayaan natal tidak lagi meriah, mesjid berubah fungsi menjadi kandang-kandang babi dan ratusan diratakan tanpa bekas. Hanya beberapa yang tersisa. Gereja beralih fungsi menjadi kolam renang. Waktu itu, tak ada yang berani menentang kebengisan komunis.  Lenin “mungkin” berhasil mencapai puncak kejayaannya menghentikan denyut nadi aktivitas keagamaan. Jutaan petani miskin ramai-ramai diajak menaiki pesawat untuk membuktikan keberadaan kerajaan sorga dan malaikat. Universitas anti Tuhan juga tegak berdiri, mengalahkan kampus-kampus umum. Bahkan, pendidikan dasar sudah berhasil memasukkan kurikulum untuk menanamkan doktrin anti Tuhan bagi anak-anak. Proyek anti Tuhan sukses terlaksana.
Bagi komunis, semua nampak menarik. Agama disebut-sebut menjadi antek borjuis. Tuhan dianggap gagal menciptakan kemerataan kelas dan mengangkat derajat buruh tani. Maka, injil hanya diperbolehkan terbit dengan tiras yang sangat kecil. Namun, dalam versi anti Tuhan, terbit dalam jumlah besar. Tuhan telah gagal memberikan sesuatu yang sifatnya real bagi kemerataan kelas. Komunis lebih menyarankan masyarakat kelas untuk menyembah listrik ketimbang Tuhan. Karena waktu itu listrik telah berhasil masuk ke desa-desa terpencil dan memberikan penerangan diberbagai tempat.
Agama direpresi tanpa ampun. Semua orang yang merasa butuh agama mengeluhkan keadaan ini. Namun, di tengah keadaan ini, tanpa disadari, spirit agama Tuhan menggelora dalam sanubari para hamba Tuhan yang memilih untuk tetap setia, sekalipun hak mereka dalam ber-Tuhan dibatasi. Dalam posisi tertekan, rasa simpati dan keteguhan mereka bertuhan  mencapai puncaknya. Tekanan demi tekanan menjadi semacam detergen paling ampuh untuk membersihkan noda-noda agama. Mungkin saat itu, agama sudah lupa akan dahaga ekspansinya. Lupa akan segala kebengisan dan darah yang pernah dicipratkan agama di bumi. Segalanya meluruh, digantikan dengan kerendahatian untuk bangkit dari keadaan yang membelenggu kebebasan beragama. Dan jawaban tentang keresahan agama waktu itu: agama adalah jawaban hidup yang perlu diperjuangkan.
Beberapa tahun kemudian, komunis bangkrut di beberbagai negara. Idiologinya tidak lagi laku di masyarakat bawah maupun atas. Trauma idiologi merajalela diberbagai tempat – termasuk Indonesia. Perlahan namun pasti, segala tindak represif akan agama berangsur hilang. Apalagi di Indonesia, yang notabene masyarakatnya memiliki keterikatan kuat dengan agama, mudah saja meninggalkan doktrin “paksaan” dan evoria jaman. Segala paham agama bergerak maju dan memperbaiki hal-hal yang telah terbengkalai. Umat beragama kembali berbicara soal soal apa saja. Masa gelap represi agama-agama dunia telah lewat. Namun, dunia kembali membuka lembaran arogansi agama yang telah lama dibungkam.
Kini, semua orang bebas bicara agama. Dalam mesjid, semua orang seakan sah bicara soal Tuhan, sorga dan neraka. Tidak ada lagi tekanan pada setiap orang untuk menjalankan agamanya. Lagipula agama tidak pernah merunut soal latar belakang seseorang  untuk bicara tentang “kebaikan”. Sorga dan Tuhan bisa dibeli dengan harga murah bak kacang goreng di pasar. Kekerasan pada agama memang merubah wajah pemeluk agamanya menjadi serigala yang membawa pentungan dan pedang-pedang yang lepas dari sarungnya. Coba lihat, Ahmadiyah diganyang tanpa ampun, seakan-akan mereka tidak lagi percaya pada hidayah Tuhan. Umat Islam seakan kalap dan melupakan: Tuhan maha berkehendak atas segala sesuatu. Kalau saja, misalkan, Tuhan tidak menerima mereka: mengapa Tuhan tiak pernah menyembunyikan matahari, tanah, air, udara bagi para jamaah Ahmadiyah. Semua merasa paling benar dan paling murni. Kalau ada yang berbeda, sudah gatal saja ini tangan. Kalau tidak dipakai menghardik, kok ya ndak pantes dengan yang lain. Dan yang paling parah, kita melupakan: Tuhan memasang perintang yang menguji seberapa jauh kesabaran dan kedewasaan kita untuk menerima perbedaan.
Memang benar kata orang sekarang: mana ada orang baik di dunia ini! Pernyataan itu benar, tapi pada akhirnya kita tak lagi bisa bicara soal kemurnian dan spirit soal agama Tuhan yang mesti diperjuangkan. Kita sudah masuk era merdeka dalam beragama. Lalu apa lagi? Kalau hidup adalah petualangan dan pencarian pada suatu yang tak mapan: lalu apa yang bisa kita cari dalam agama Tuhan? Kita seperti dihadapkan pada ribuan meja dengan hidangan agama-agama Tuhan. Tinggal pilih saja, mana yang kita suka.
Gereja juga tak kalah garang soal ekspansi dan eksistensi mereka pada dunia. Masa represi komunis pada agama membuat mereka seperti anak kecil yang baru bangun dari tidur panjang. Mereka bangun dan melihat dunia sudah melakukan banyak hal. Mereka pun tidak tinggal diam dengan hal ini. Mereka seperti sedang kesetanan melihat dunia yang telah jauh berubah. Alhasil, seperti agama yang lain, mereka tak ingin ketinggalan soal ekspansi dan eksistensi dalam peradaban. Maka mereka pun datang ke desa-desa terpencil untuk membagi-bagikan supermi pada masyarakatnya dan merayu mereka meninggalkan animisme dinamisme. Panggung-panggung kemiskinan juga tak lepas dari sasaran mereka untuk ekspansi gereja. Ketika dunia telah sesak dengan batas geografis yang memetakan daerah berdasarkan agama. Mereka kelabakan. Batas-batas kembali diterjang. Tidak hanya penganut animisme dinamisme yang menjadi sasaran mereka. Penganut agama lain yang tak kuat lapar juga tak luput dari sasaran.
Yahudi juga tak kalah barbar dalam ekspansionistik kepercayaan dan narcisme keturunan. Bangsa Arya mengakhiri arogansi mereka lewat kegilaan Hitler, dimana mereka yang terdata sebagaiYahudi dibantai dalam sebuah kamar gas.  Saat itu pembunuhan bukan lagi sebuah kualitas dan dendam semata, tapi, masuk dalam ranah kuantitas. Setelah horoclaus berlalu, keserakahan menjadi-jadi di berbagai belahan bumi. Agenda-agenda besar –yang katanya menentang nash kitab suci– begitu akrab di telinga.
Represi pada agama selalu menjadi pisau bermata dua. Satu sisi represi mengajarkan umat beragama untuk kembali mengikuti kodrat kemanusiaannya. Di lain pihak, represi agama mengasah kebengisan umat beragama dalam menjalankan ekspansi kepercayaan dan kekuasaan. Agama dan Tuhan bukan lagi jaminan seorang manusia mencapai kemuliaannya dalam menjalani hidup. Karena hidup juga tidak selesai dengan perkara batin dan ketenangan. Kompleksitas hidup manusia menjadikan seseorang tidak bisa lepas dari kebanggaan materi. Narcisme dan pengakuan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan beragama. Di samping itu, tendensi politik selalu berada jauh didepan, melebihi fungsi agama itu sendiri.
Komunis mungkin telah berhenti menodongkan bedil pada semua agama di dunia. Tapi pasca represi agama-agama dunia, kini giliran umat beragama diberbagai belahan dunia saling menodongkan senjata. Seperti konflik agama yang dipicu pemberitaan Majalah Times yang menyoroti latar belakang agama Islam-Kristen pada kasus pengusiran preman Ambon di Jakarta, hingga meledaklah konflik tanah air sesuai dengan harapan Amerika yang tengik.
Jaman selalu punya caranya sendiri dalam mengungkapkan rasa letihnya pada sesuatu. Ia menyapa dengan cara yang paling lembut, selembut cinta kasih Tuhan pada manusia. Kalau saja masa represi agama juga salah satu cara ungkap jaman akan kebosanannya dengan pola hidup umat beragama yang kering, maka bila jaman akan bicara dengan bahasa yang juga berbeda ketika ia letih dengan segala laku hidup yang kolot dari agama, karena saling menodongkan senjata. Lagipula, kalau kita masih percaya kehendak dan ijin Tuhan – termasuk pada masa komunis berkuasa selama tiga per empat abad – bukan tidak mungkin apa yang akan terjadi nanti adalah sesuatu yang dikehendaki Tuhan untuk memberikan penyegaran pada hidup umat beragama yang begitu membosankan. Dengan cara yang paling manis tentunya. Soal bagaimana kejutan Tuhan buat hidup yang akan datang. Tidak ada yang tau.
Kita menduga-duga saja sambil merokok dan minum kopi di warung.

Citra D. Vresti Trisna
7 Oktober 2011

*dimuat di majalah LPM  Civitas, UNMER Malang

6 komentar:

Unknown mengatakan...

Maaf sobat sebenarnya blog aku masih bayi...umurnya belum genap 1 bln,maka nya terlihat bobrok gitu,,,,mau g kita tukaran link..???

Unknown mengatakan...

gan,,,mohon backlinknya ya,,
http://ayamketawajog.blogspot.com/
nuwun

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

ALL: terimakasih atas kunjungannya

Mulyadin: LInk anda sudah saya pasang, gan. salam kenal

Andi Arya: Link sudah saya pasang, gan. bisa di cek. terimakasih

Blog Agil95 mengatakan...

nice post sob :)

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Blog Agil95: Terimakasih kunjungannya.

Unknown mengatakan...

mohon backlinknya ya gan,,,banner agan udah ane pasang,,,join jg di blog ane gan,,

blog ane http://lovebirdjogja.blogspot.com/
buat teman2 yang koment,,,ayo kita tukaran link...ane tunggu di blog ane,,,nuwun

makasih

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.