Laman

Senin, 02 April 2012

Orang Biasa


“Orang biasa.” Duduk di warung kopi, menikmati jajanan, kopi, rokok. Mereka beredar dimana saja–tempat-tempat yang biasa pula. Mungkin hanya itu yang pasti. Soal apa yang berdiam di kedalamannya; tiada yang tau pasti –biasa pula atau mungkin luar biasa.
Merekalah yang selalu menjadi soal, gagasan, dongeng, olok-olok, dan bahan untuk dikasihani. Tapi apa orang biasa butuh dikasihani?
Aku sediri hampir terjebak–saat menulis catatan ini–untuk mempertanyakan betapa pendidikan, kekayaan, dan posisi sosial kerap melahirkan idiom ‘orang biasa’ sesuai dengan klasifikasi yang berbeda.
Apakah klasifikasi dan kemunculan idiom ini merupakan sebuah tolak ukur bahwa kesombongan itu ada diantara kita, dan membuktikan bahwa kesombongan bukan sesuatu yang abstrak. Ia real, karena dampaknya selalu bisa dirasakan langsung, sekaligus membuktikan bahwa setiap orang memiliki potensi-potensi kesombongan yang menggelisahkan. Mungkin dalam versi lain, idiom orang biasa dapat menjadi bagian bila kesadaran diri akan kelas lahir bukan karena konstruksi–tapi alamiah sebagai akibat persaingan hidup.
Kehadiran orang dewasa juga memiliki potensi yang berbeda kaum yang menggolongkan diri sebagai “tak biasa”, semacam legitimasi dari status sosial, dari potensi-potensi yang kita miliki hingga orang lain mengakui. Seperti halnya seorang penulis lahir karena ada orang, atau kelompok yang tidak menulis, atau hanya sekedar menjadi penikmat karya-karya tulis.
Orang biasa punya keistimewaannya tersendiri. Kebijaksanaan yang hampir tak dimiliki kelompok yang selalu mengkultuskan diri sebagai: pejabat, orang suci, rohaniawan, akademisi, jutawan dll. Orang biasa memiliki kemampuan mempraktekkan dirinya seperti sebagaimana skenario Tuhan digariskan. Hampir tidak ada kepura-puraan.
Mereka tidak sungkan untuk ke warung hanya dengan sarung dan bertelanjang dada, tertawa terbahak-bahak di gardu, memaki, bercerita dengan irama dramatisasi yang naik turun, dan bahkan memperaktekkan seorang yang sedang bercinta di kamar mandi beserta desahannya. Tak ada rasa sungkan dalam hal apapun karena mereka cenderung tak memiliki beban berat untuk menjadi “sesuatu” –untuk  dilihat dan diperlakukan khusus.
Kalau pada akhirnya mereka dijadikan objek oleh mereka yang mengkultuskan diri sebagai “tak biasa” –dengan sederet kebijaksanaan dari buku-buku, teori, dan kepedulian sosial yang pamrih–tak pernah diambil pusing oleh korps orang biasa. Tak ada lagi pusing soal dicatat sejarah atau tidak, atau bahkan diperhitungkan langsung oleh sebuah sistem yang mempengaruhi konstalasi politik nasional atau global.
Sebuah kecerdasan dengan porsi yang pas; karena tak sembarang orang dapat mempraktekkan kecerdasan yang berangkat dari kebijaksanaan diri; apalagi yang telah terlanjur terjebak pada label tertentu. Orang biasa juga kerap mengalah–tetap berada dibawah –untuk derajad dan posisi yang lebih prinsipil dalam pergulatan hidup secara vertikal maupun horisontal.
Aku ingat seorang filusuf Yunani kuno yang menganggap seseorang yang belum berani bermansturbasi di pinggir jalan; berarti ia masih dalam penjajahan dan budak rasa malu. Juga kata lain dari sebuah kemerdekaan yang dirampas sendiri. Meskipun nampaknya berlebihan, antara kemerdekaan dari rasa malu dengan pola kearifan orang biasa bertemu dalam suatu keniscayaan yang puitis. Keberanian dramatis yang tidak populis membuat kita berpikir: kecerdasan tanpa keberanian adalah mitos dan sebuah eskapisme kosong. Saat itu, norma dan etika mengambil jarak ketika kebijaksanaan orang biasa mengambil perannya untuk tampil dimuka logika dan kesadaran kita yang dekaden.
Pola kearifan orang biasa memberikan kesegaran tersendiri pada hidup manusia modern yang kaku. Dalam kehidupan yang dinamis, kearifan yang menelanjangi setiap rutinitas yang selalu menjadikan manusia mati lebih cepat bak kayu lapuk tanpa harga. Namun pola-pola kearifan yang menjadikan seseorang jadi “awet” hidup juga menemui kritiknya sendiri sebagai hidup yang tidak menyenangkan; membosankan dan tanpa tantangan.
Rasa “syak” juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehadiran orang biasa di sekitar kita; ketika mereka menjadi “ayat-ayat” Tuhan untuk kita terjemahkan, sebagai pelengkap atas kitab sebelumnya dan menggenapi kodrat tak tertulis manusia: sebagai mahluk yang tak pernah final. Baik-buruk, dari ayat ini, menjadikan kita sadar akan kejutan hidup, dimana tidak pernah seperti apa yang kita bayangkan sebelumnya.
Segala pencapaian intelektual model apapun tidak akan mampu membuat kering cakrawala berpikir orang-orang yang telah jatuh kafir mengkultuskan diri sebagai sesuatu dengan semangat kesombongan. Nyatanya kecerdasan intelektual produk kampus terbukti hanya bisa menerjemahkan dunia dari kulit luar saja–belum sampai masuk dan lebih mengintimi hidup. Matahari palsu intelektualitas tak kunjung membawa seseorang pada fitrahnya untuk menjadi sadar bila kaum intelektual hanya mengandalkan kesadaran yang berangkat dari semangat epistemik yang kering dan intoleran.
Dan lagi-lagi kita terkejut, bahwa untuk bertemu “Tuhan” dan menjadi manusia, seseorang harus menjadi orang biasa terlebih dahulu. Yang rela tidak dikenal, yang rela untuk tidak dicatat sejarah dan tidak berambisi untuk jadi sang pemula.
Aduh, lagi-lagi dagelan kampus menipu kita dengan lawakannya yang tidak lucu tentang konsepsi intelektualitas yang baku, kering dan intoleran. Lagi-lagi kita jadi boneka kayu peradaban. Tapi mengapa masih banyak orang yang mendambakan perkuliahan – sesuatu yang tidak membuat kita jauh lebih cerdas dan bijak dan membutuhkannya lebih dari sekedar kebutuhan biologis.
Aku penat di kampus. Meskipun muak, aku ingin menyelesaikan urusanku dengan kampus dan sesegera mungkin ke warung kopi. Nyelempit untuk kembali bertemu dan menjadi orang biasa.

Citra D. Vresti Trisna
29 November 2011

2 komentar:

Orang Sinis mengatakan...

Heleh. Benci kampus tapi ya masih kuliah saja, sampai hampir rampung pula. Ini namanya Paradoks. Lagipula, mau apapun klaim antidotnya, tulisan ini masih pula membangun kultus baru, mengangkat yang katanya tidak mau dikenal: orang biasa.

Oh, my hero, oh ordinary people!

Kalimat-kalimat sinis terhadap dunia intelektual yang dituduh 'kering' dan 'intoleran' di tulisan ini mengingatkan kembali pada sabda-sabda Cak Nun dan bualan-bualan 'sublim' Goenawan Mohammad yang mendayu-mendayu untuk menina-bobokkan orang supaya mengawasi diri saja, sambil mempersetankan apapun yang datang dari luar, dari sistem.

Hina saja semuanya, supaya kau puas dan merasa lega. Aksinya nanti saja. Nanti kalau kau aksi, kau sudah bukan lagi golongan 'orang biasa'.

Ada busung lapar di ujung jalan...
Ada pembantaian di depan pagar...
Ada pemerintah abai di negaramu..

Biar saja. Selama warung kopi kita masih tidak digusur, dan selama kita masih bisa menertawakan hidup. Biar saja. Toh kita kan orang biasa. Biarkan saja. Toh kebahagiaan itu milik masing-masing.

Anonim mengatakan...

yang aksi, sudah jadi superman. sudah bisa jalan di atas air.

Ada busung lapar di ujung jalan... kita terus online
Ada pembantaian di depan pagar... kita masih ribut dendam
Ada pemerintah abai di negaramu... kita masih sibuk pacaran

asik toh

ngopi itu perlu mas bro, biar gk sumpek. mumpung muda harus punya sikap. sejak kecil di warung, sampai besar ya tetep di warung. atau sejak kecil protes, pas besar jadi pns gara2 takut meretua.

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.