Laman

Kamis, 14 April 2011

Menjelang Gila

Stress adalah pengantar menuju sesuatu. Selebihnya seorang harus sampai pada tahap menjadi gila, dan itu semua demi keseriusan.

Apa aku saja yang berlebihan. Seakan-akan sok menjadi sesuatu. Mengamini semua yang sudah melekat dan menjadi stereotype atas diriku, lantas sekarang ingin mengajak orang lain untuk menjadi sama sepertiku. Sudah benarkah aku dimata Tuhan? Dimata orang-orang yang ada di sekitarku: kawan di kampus, penghuni warung kopi, keluarga, dan bahkan di mata diriku.

Namun yang jelas, aku musti mencari kejelasan atas apa yang terjadi dengan diriku. Seperti ada setan yang berbisik di kuping. Membimbing aku pada hal-hal yang tampak indah, meski aku tak tau bagaima ujungnya dan seprtinya berbau busuk. Tapi entahlah, karena sementara ini aku menikmatinya, dan kalau aku boleh cerita, kira-kira seperti ini:


Dimulai dengan berdiam diri di WC

Sejak kecil, aku memiliki kebiasaan berlama-lama ketika buang air. Ada saja alasan dan kegiatan yang ku lakukan untuk berlama-lama di kamar mandi. Seperti orang yang memiliki kelainan: memainkan air di bak, atau menuang sampo di bak mandi agar ikan-ikan cepat mati.

Kata orang aku sakit. Tapi peduli setan. Orang tuaku juga kerap marah dengan kelakuanku ini.

Ketika aku tak punya kamar mandi dan WC sendiri, aku buang air di selokan samping rumah. Dari sini semua itu berawal.

Aku membayangkan bila aku adalah pemilik selokan ini, sehingga tidak ada yang boleh buang air di sini kecuali aku dan kakak sepupuku. Aku menjadikan selokan ini sebagai daerah kekuasaanku, tahta di kerajaan imajinasi. Sehingga kalau ada kawan sebayaku ingin buang buang air di sini, maka ia harus membayar upeti.
Apa saja: mainan, makanan, atau apa yang dia punya saat itu. Aku tidak segan mengusirnya dengan cara apapun ketika dia berani buang air di situ tanpa membawa upeti. Saat itu orang-orang di sekitarku menganggapku sak karepe dewe (semaunya sendiri).

Persetan!!
Ini selokanku. Kerajaankku. Rumah atas imajinasi dan pikiran barbarku.
Sampai pada saat aku menjelang dewasa dan pindah di sebuah rumah baru yang di dalam rumah terdapat WC.

Kerajaan baru, pikirku.
Menyesuaikan diri dan rasa tidak nyaman sangat wajar untuk anak seusiaku. Apalagi pertama kali saya pindah ke rumah baru. Kebetulan waktu itu saudaraku memakai kamar mandi dan WC di rumahku untuk buang air.

Rasa marah dan kesal muncul di dadaku. Rasa tidak suka. Muak. Menganggap saudaraku menjadi orang yang pertama kali menemukan istana itu, sehingga aku mesti mencari israna baru yang akan menjadi rumah imajinasiku.

Aku lari ke belakang rumah, melewati beberapa rumah dan sampailah aku pada sebuah sungai yang airnya putih karena ampas tahu. Seperti sebuah bilik dari bambu, tanpa atap, dengan pintu yang hanya dari bekas karung beras, dan untuk menutupnya aku musti mengaitkannya diantara bambu-bambu itu.

Tempat itu penuh bau. Jorok. Dan terkesan sedikit sangar. Sehingga tempatnya ada di bawah pohon bambu. Maka saat itu juga, tempat itu resmi menjadi istanaku.

*

Setiap harinya, aku selalu menghabiskan waktu di tempat itu untuk menghayal, berpikir tentang sesuatu yang aneh. Dan yang harus di ketahui bukan tentang pelajaran sekolah. Mungkin karena di sekolah, aku adalah anak yang tidak di perhitungkan. Bodoh.

Tidak seberapa lama aku berada di sana. Sejak se-ekor ular pernah bertengger, melintas di hadapanku, dan mengacaukan imajinasiku. Sejak itu, aku sudah enggan untuk berada di sana. Imajinasiku kering. Aku tidak lagi dapat menghayal. Pikiran ketakutan atas ular yang pernah aku lihat selalu membayangiku. Sehingga mau tidak mau aku harus mencari tempat baru. Dan tidak ada jalan lain kecuali menempati kamar mandiku sendiri yang sekaligus menjadi WC.

Dan hal itu berlangsung sampai sekarang. Seiring pikiran yang bertambah rumit, apa yang aku imajinasikan berubah drastis.

Pada masa SMP, aku mencoba merenungkan makna yang terkandung dalam lagu ilir-ilir,
dimana pernah di tuliskan di buku seseorang yang aku lupa namanya. Istimewa betul maknanya. Bahkan apa yang aku pikirkan, ditambah dengan ingatan tentang apa yang aku baca, ku ceritakan pada banyak anak sebayaku. Bahkan sampai seorang Kristen pun, ku ceritakan maknanya.

Pada masa ini, aku juga kerap merenungkan strategi dan teknik-teknik karate. Strategi serangan untuk kumite, pertahanan, dan bahkan sampai pada bagaimana menghbaisi seseorang.

Menjelang SMA, pikiran mulai berubah. Perenungan yang ku lakukan sudah mulai bermacam-macam. Sambil merokok, aku mulai berpikir soal perempuan, pelajaran sosial, sajak, mabuk, berkelahi, teknik mencopet, dan pelajaran kehidupan setiap pulang mengamen di Terminal Bungurasih.

Dan sampai sekarang, katika aku sudah menginjak bangku kuliah, aku tetap jadi orang yang menjadi pecandu WC.

Dengang dua batang rokok, selalu ku habiskan waktu di WC untuk merenungi materi-materi perkuliahan, buku-buku yang aku baca, dan hasil dari warung kopi. Semuanya menjadi tidak sah kalau tidak dipikirkan dulu dalam WC. Bahkan ketika aku di tawari menjadi pengurus Ketua HIMA di jurusan Ilmu Komunikasi.

Perbedaan keterkaitan aku dengan WC sudah semakin baik. Antara satu kamar mandi, ke kamar mandi lain aku semakin cepat akrab. Di mesjid kampus, di rumah Singgih (kawan baikku). Pokoknya di mana saja lah.

Sehingga sudah sangat wajar bila apa yang ku hasilkan adalah sesuatu yang jorok dan jarang bisa diterima orang lain.

Suatu ketika aku mendengar cerita orang. Kamar mandi, kakus atau WC adalah tempat kesukaan Jin. Sejak itu aku mendapat gagasan baru untuk mengajak sosok dunia maya menjadi teman cerita dan saling bantah.

Waktu itu ada tokoh rekaan ciptaanku, bagian diriku yang lain, atau setan dan jin, aku tidak paham. Hanya yang jelas, suara itu nampak dan sering bicara dengan jelas tentang hal-hal aneh, jorok, dan terkadang berbahaya.

Kadang aku menerima dan menelan mentah apa yang dikatakannya tanpa reserve. Atau kadang aku menolak mentah dan melakukan walk out dari WC ketika aku tidak sepakat dengan apa yang dikatakannya. Tapi aku juga sering tak melakukan interaksi apapun dengannya. mungkin diantara kita sama-sama sedang menahan diri, atau sedang muak antara satu dengan yang lain.

Kita pernah saling marah antara satu dengan yang lain, namun kita juga tak lupa untuk saling merindkan.

*

Suatu ketika, aku pernah di kejutkan oleh beberapa hal menarik yang membuatku semakin memaklumi kedekatanku dengan WC. Dan poin penting di sini adalah sebuah kesimpulan bila kedekatanku dengan WC adalah hal yang wajar dan bisa dimaafkan untuk segala kesesatan yang di timbulkan olehnya.

“WC lebih baik ketimbang mesjid” tulis kawanku yang bernama Bejo, ketika mengomentari sebuah catatan di facebook.

“Aku kerap membawa tiga batang rokok, segelas kopi dan secarik kertas setiap aku hendak ke WC. Dan ibuku selalu curiga dengan apa yang ku lakukan di dalam. Karena ibuku kawatir aku onani atau sejenisnya” ujarnya.

Dari sebuah kesamaan proses kreatif, aku dan Bejo akhirnya memiliki kedekatan secara pemikiran. Sekalipun pikiran kita kerap berbeda akan banyak hal, paling tidak dari proses kreatifnya kita mengalami kesamaan. Mungkin setan yang membisiki bejo, sama juga dengan setan yang membisikiku. Lantas dari mana anggapan WC lebih baik daripada mesjid?

Terkadang aku curiga dengan segala yang melingkupi pikiran-pikiranku dan mereka. Paling tidak bagi semua yang menganggap mendapat proses kreatif dari WC, sampai yang menganggap WC lebih baik dari mesjid, adalah korban dari kegagahan atas diri yang seakan ingin dipandang aneh oleh orang lain karena menyimpang apa yang di pikirkan dan di katakan.

Apa memang ungkapan macam itu berdasar motif pamer kegagahan pemikiran, atau memang benar adanya bila mesjid sudah tidak lagi sakti?

Namun ketika aku kembali berpikir ulang, dengan menghbaiskan beberapa kopi, dan menemui sobat karibku di WC, akhirnya aku memperoleh beberapa kesimpulan sederhana perihal WC dan mesjid.

Kalau boleh berbaik sangka dengan kawanku, boleh jadi anggapannya itu didasarkan pada untung rugi. Apa yang bisa aku dapatkan dari mesjid, sedangkan selama ini yang banyak memberikan dia informasi, dan banyak karya adalah WC, bukan mesjid. Lagipula mungkin kedekatannya dengan mesjid sangat kurang, atau mungkin dia lebih suka menjumpai Tuhannya di rumah ketimbang di mesjid.

Apalagi banyak mesjid sekarang yang tampilkan masyarakat sekarang dengan kesan yang sangat sombong. Menjulang megah, berpagar tinggi dan pintu yang selalu tertutup, dan hanya di buka pada saat solat.

Pertanyaannya apakah orang hanya boleh sowan ke Tuhannya pada saat jam-jam solat saja? Apalagi rumah Tuhan sekarang jarang menerima tamu dengan urusan yang tak penting, seperti berteduh contohnya. Tuhan saja tidak pernah protes rumahnya di pakai berteduh mahluknya, kenapa manusia yang repot. Persoalan sekarag banyak pencuri kotak amal, itu urusan lain, mesjid tetap harus di buka untuk menampung siapa saja, termasuk urusan mencuri. Tapi sedikit-sedikit, kita mesti berbaik sangka dengan para pengurus mesjid sekarang. Menyalurkan bakat terpendam takmir mesjid sebagai seorang satpam, memakluminya, jangan-jangan ketika lulus dari takmir mesjid, dia bisa menjadi hansip. Siapa tau.

*

Suatu ketika aku pernah bertemu dengan orang asing di sebuah warung kopi. Kita
bicara banyak karena aku banyak mendengarkan dia. Selain apa yang di ungkapkan kerap meledak-ledak dalam pikiranku, kadang juga nampak menggelikan.

“Putting susu perempuan sekarang sudah tidak lagi menghasilkan apa-apa kecuali kegunaan untuk pertumbuhan dan nutrisi. Ada sesuatu yang tak banyak orang tahu. Putting susu seorang perempuan yang banyak di cucup laki-laki akan membawa dampak pada anaknya. Mereka akan menjadi anak-anak bodoh yang sehat. Nyoni pada putingnya telah hilang. Sedangkan tuah pada putting susu perempuan itu keramat. Ketika tuah itu habis pada mulut lelaki, maka tak ada lagi yang bisa di berikan pada anaknya kecuali nutrisi”

“Ah, masa seperti itu, pak? Itu klenik. Mitos yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya”.

“Bodoh! Kau mesti percaya padaku. Kau orang sekolah, jangan gemagah dan sombong melogikakan dan terlalu sembrono mengilmiahkan sesuatu. Bisa mati tak tau apa-apa, kau! Rugi hidupmu nanti. Karena banyak hal besar yang sudah tidak lagi bisa di ungkap oleh professor kita yang sudah bau kuburan. Dia sudah di cegat dan sekarang sibuk kejar-kejaran dan kucing-kucingan dengan malaikat maut. Untuk apa kau harapkan dia untuk mengungkap sesuatu lagi. Sekarang giliranmu: yang muda-muda ini”. Ujarnya lantas tertawa dan menunjukkan gigi kuningnya yang renggang-renggang.

“Tapi pak. Kita di ajarkan untuk mengungkapkan suatu realitas dengan metoda penelitian dan cara-cara ilmiah. Karena melalui metode itu, kita bisa mem-pertanggung jawabkan keabsahannya. Seperti itu, pak”. Kini giliranku tersenyum kemenangan.

Tiba-tiba wajah lelaki itu berubah jadi menyeramkan. Senyum dan gigi renggangnya digantikan bibir yang mengkerut kehitam-hitaman.
Pria itu nampak berpikir dan manggut-manggut tak jelas dan terdengar dari bibirnya menggumam sesuatu.

“Kau musti mengingat orang yang telah mengajarimu metodologi penelitian”. Tukasnya, serius.

“Untuk apa?”. Tanyaku, gelisah. “Orang yang sudah mengajarimu metodologi penelitian adalah salah satu dari sekian orang sombong yang sudah memberimu racun dalam kehidupan”. Ucapnya dengan mimik serius.

“Mengapa bisa sejauh itu?”.

“Jelas! Dia adalah salah satu orang yang ingin mengankangi dan menkapling dunia dengan namanya saja. Dia tidak ingin namamu ada dalam pusaran kehidupan”.

“Tapi, kupikir dia berhak”. Ujarku menatak. “Hey, sebentar. Dengarkan dulu…”

“Dia orang-orang yang menulis untuk dibaca banyak orang. Dia menyediakan dirinya untuk disanggah, dan di uji orang lain apabila ada yang salah dengan hasil analisa datanya. Jadi wajar dia bisa seperti itu. Sedangkan saya hanya…”

“Seperti ini anak muda” dia memotong, tak terima. “Apa kau pikir dunia ini diciptakan Tuhan untuk disempitkan macam orang yang mengajarimu metodologi penelitian.

Ada hal yang harus kamu ingat, bila Tuhan tidak akan menciptakan dunia ini hanya untuk di sempitkan. Tuhan itu bosan pintar sendirian. Sekali-kali dia butuh lawan bicara yang hampir seadan, sekalipun pada akhirnya dia yang musti menang, karena kita mesti tau etika dan dengan pertimbangan dia adalah yang menciptakan kita maka sudah sepantasnya dia yang mesti menang.

Karena persoalan itu, kita mesti memikirkan ulang, apa benar mengungkap realits itu harus dengan berkutat pada metodologi. Berputar-putar merumuskan masalah, apalagi dengan biaya yang sangat mahal karena harus menempuh S1, S2 dan S3. Lantas untuk mereka yang cerdas, namun tidak punya uang untuk kuliah, apa mereka harus gantung diri karena pemikiran-pemikirannya harus dikalengkan. Karena untuk apa pula, mereka merumuskan sesuatu untuk tidak di akui masyarakat luas.

Citra D Vresti Trisna
Surabaya, November 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.