Laman

Rabu, 27 Mei 2015

Sorga dari Keprawanan Mbak Cantik

Suatu malam, seorang kawan datang kepada saya dan mengatakan bila dia akan menikah dua bulan lagi. Dia mengaku merasa senang karena akan memiliki seseorang yang bertanggungjawab penuh pada hidupnya. Karena, selama ini dia hanya dimanfaatkan para bergajul-bergajul cengegesan untuk kesenangan hormonal. Tapi, yang menjadi keresahan mbak cantik di depan saya itu adalah salah satu dari para bergajul cengengesan itu telah merenggut keperawanannya.
Di sisi lain, pria yang akan menikahinya ini tidak tahu bila si mbak cantik ini sudah tidak perawan. Kata si mbak cantik, hidup calon suaminya itu begitu lurus. Selain itu, pria ini juga sangat konservatif dalam urusan seks dan sangat percaya pada “mitos keperawaan” saat malam pertama. Inilah yang membuat hati mbak cantik—yang  salah satu hobinya adalah mentraktir saya nasi soto dan kopi pahit—ini gundah gulana.
Dia merasa kiamat akan datang di malam pertamanya nanti. Karena selama ini dia belum menceritakan soal masa lalunya pada calon suaminya. Dia kawatir calon suaminya bakal minggat bila tau dia sudah tak perawan. Meski setelah bertunangan dia menyesal karena tidak bercerita ke pasangannya. Sekarang, dia merasa sudah terlambat menceritakan hal itu dan membiarkan suaminya nanti tau sendiri.
Saya lihat mata mbak cantik memejam. Air mata meleleh di sudut matanya. Dulu saya kenal mbak cantik ini sebagai perempuan yang berpikiran ”merdeka”.  Dia menolak segala belenggu pada perempuan, termasuk keperawanan. Tapi, mungkin konstruksi sosial dan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat menggerogoti keyakinannya hingga dia merasa perlu menangis untuk ketakutan yang belum tentu terjadi.
 Mungkin keperawanan hanya persoalan “selaput tipis di dalam vagina”, tapi, ternyata persoalan sosial yang ditimbulkan karenanya bukan main rumitnya. Bayangkan, diakui atau tidak, sedikit banyak, keperawanan mampu menentukan masa depan kebahagiaan perkawinan sebagian pasangan.
Kalau selaput dara bakal menentukan kebahagiaan sebagian pasangan, lalu mengapa ia dibuat begitu tipis? Mengapa tidak dibuat setebal tembok penjara, yang bisa nyetrum, dihiasi beling dan kalau perlu ada gembok alami yang hanya bisa dibuka oleh seorang suami. Atau minimal keperawanan dibuat seulet dan sekokoh karung goni. Karena kalau tipis kan jadi gampang koyak dan mudah jebol akibat gerakan olahraga yang ekstrim, jok sepeda, dan kepala penis.
Kalau selaput dara dibuat cukup tebal kan susah dijebol. Sehingga paling tidak, muda-mudi butuh 30-47 kali ML baru bisa jebol. Selain itu, dengan adanya kondisi sosial yang melumrahkan seks bebas ini, seharusnya Tuhan menciptakan selaput dara perempuan dengan bentuk yang tebal, atau bahkan mungkin tidak ada lagi ide tentang penciptaan selaput dara.
Kalau sekarang muncul banyak gerakan perempuan yang menolak “mitos keperawanan” itu sah-sah saja. Karena memang, mitos keperawanan saat malam pertama sangat tidak adil.
Bisa saja seorang perempuan itu terenggut keperawanannya saat jatuh dari sepeda, karena jadi korban perkosaan. Dan tentu saja bisa saja perawan robek karena ulah mas pacar—atas nama cinta-suci-tulus-murni-selembut-awan-dan-bahagia-selama-lamanya—keperawanan perempuan tersebut terenggut. Tapi, dari berbagai macam kemungkinan hilangnya keperawanan itu—meminjam istilah penganut patriarki—adalah celaka karena mereka tidak lagi “suci”.
Tapi, apakah menilai suci tidaknya perempuan itu hanya dari selaput daranya? Bagaimana dengan korban pemerkosaan? Atau yang mengalami kecelakaan kecil yang mengakibatkan dia kehilangan keperawanan? Atau pelaku seks pra nikah itu kah yang disebut tidak suci?
Kalau kita bicara agak serius soal kesucian dalam arti luas, maka boleh saja kita ulas soal muda-mudi sekarang yang piawai dalam menyiasati norma-norma sosial. Perempuan sekarang—yang jadi korban konstruksi sosial—sangat konsisten menjaga keperawanannya utuh hingga menikah. Tapi, di sisi lain mereka tidak pernah ragu dalam urusan pacaran. Pacaran itu la raiba fih. Meminjam istilah para bergajul (yang juga termasuk saya), dalam pacaran itu sudah ada istilah 3 x 4, 4 x 6, full, nyemi, dll.
Jadi, saat sang pacar merogoh isi kutang sambil kelagepen cipokan itu ndak masalah asal ndak sampai masuk vagina dan merobek selaput dara. Ciuman boleh, asal “wajar”. Petting boleh asal “wajar”. Tidur bareng, telanjang, saling pegang..., juga boleh asalkan tidak robek keperawanan. Apa semua ini masuk dan dihitung dalam kategorisasi kesucian?
Pacaran sekarang adalah semacam lisensi untuk merongrong “keperawanan”. Sehingga ketika kita membawa-bawa persoalan kesucian dan menghubungkan dengan keperawanan, rasanya seperti menikmati bubur kacang ijo dicampur kencing kuda. Sangat jauh. Jauh.
Kalau ada seorang perempuan yang sejak lahir menjaga keperawanannya, belajar memasak, mencuci, mengaji, mengasah kecerdasan spiritual dengan membaca kitab suci, tapi tiba-tiba dua hari sebelum menikah, dia jatuh dari sepeda dan selaput daranya robek. Atau sepulang mengaji dia diperkosa sekumpulan pemabuk. Apa perempuan ini masih suci?
Bagaimana kalau dibandingkan dengan perempuan yang sejak SMP sudah belajar pacaran, SMA semakin mahir, waktu kuliah sudah profesional. Setiap ketemu pacar, selalu diwarnai dengan seremonial uyel-uyel, grepe-grepe, sun sitik, nggosok, ngepel dan karaoke. Meski tidak sampai ML dan selaputnya masih save; bisakah kita sebut perempuan ini suci?
Sejak dulu tidak ada indikator dan garis batas yang jelas untuk bisa menentukan suci dan kotornya seorang perempuan. Apalagi hanya dari penilaian yang gegabah: keperawanan. Namun, persoalan sebenarnya adalah: selama ini  persoalan kesucian hanya disempitkan menjadi soal perawan atau tidak. Masyarakat tidak pernah merunut latar historis dari hilangnya keperawanan seorang perempuan. Umumnya lelaki juga tidak memusingkan seperti apa kelakuan istrinya sebelum menikah. Asal tau perawan maka beres urusan.
Hal ini membuat perempuan sekarang berpikir berpikir hanya untuk bisa melindungi keperawanannya apapun caranya. Mungkin ini pilihan atau alternatif yang tolol dan tidak adil. Atau kalau ingin pilihan yang lebih masuk akal: tidak perawan ndak apa-apa, asalkan sudah punya pasar pria yang jelas—yang menerima perempuan tanpa memandang dia perawan atau tidak.
Karena jaman itu ibarat supermaket. Kalau ada pasar perempuan merdeka yang menolak tunduk dari mitos keperawanan, tentu ada pula lelaki—yang juga merdeka, suka jajan, dan, ya, ndak perjaka juga—yang siap menerima perempuan-perempuan yang tidak perawan. Meski, diam-diam, si pria juga bangga dan bersyukur kalau suatu ketika dia dapat perawan. Namanya, juga lelaki.
”Umumnya lelaki punya sifat bajingan,” kata Gombloh.
Seharusnya, para pria jangan gemampang meletakkan standar nilai hanya berdasarkan keperawanan. Karena, keperawanan itu bukan jaminan: baik, buruk, benar, salah, suci, kotor, terhormat, tercela.
Kalau yang diharapkan pria adalah kesucian dan kehormatan perempuan yang hakiki, hendaknya tidak hanya mengukur dari perawan atau tidak. Karena, pria akan rugi besar dari penilaian ini. Bukankah perempuan sekarang teramat pandai untuk menyembunyikan siapa dia sebenarnya? Kalau meminjam istilah teman-teman: perawan rasa janda. Bisa jadi, seorang perempuan memang benar-benar perawan, sopan ketika pacaran; taaruf; tapi hobinya menginjak kepala dan kehormatan anda sebagai lelaki ketika usai menikah.
Bicara soal keperawanan membuat saya teringat kata-kata Arswendo: ”Lelaki sering mencemburui masa lalu pasangannya, perempuan sering mencemburui masa depan pasangannya.”
Statement Arswendo dapat dijadikan alat untuk melihat gejala psiokologi pria. Bagiku, mencemburui masa lalu adalah sebentuk arogansi dari ego kelelakian. Umumnya seorang pria merasa perlu mengorek cerita masa lalu pasangannya untuk sekedar membuktikan: apa dia benar-benar yang “pertama”. Pertama merobek selaput dara. Pria pertama yang (paling mampu dan pantas) membahagiakan perempuannya.
Seorang pria juga kerap mengukur-ukur dan membandingkan mantan kekasih si perempuan dengan dirinya untuk mencari siapa yang lebih unggul. Kalau ternyata ditemukan ada yang lebih unggul, atau si perempuan tiba-tiba cerita soal kehebatan mantan, bisa dipastikan si pria akan kebakaran jenggot.
Obsesi lelaki dalam mengungkap masa lalu perempuan adalah bentuk arogansi dan rasa enggan untuk menerima sesuatu yang dianggap (maaf) “bekas”. Sehingga keperawanan adalah sesuatu yang penting dan sangat prinsipil untuk didapat, karena menyangkut harga diri kelelakian. Selain itu, pria merasa mampu mencari perempuan lain apa bila pasangannya didapati sudah tidak perawan.
Memang pola pikir macam ini asu sekali. Tidak dewasa. Kekanak-kanakan. Meski, tidak semua lelaki seperti ini.
Sedangkan perempuan hampir selalu “mencemaskan masa depan” kekasihnya. Hal ini terjadi karena tiadanya keperawanan menjadikan perempuan merasa “menjadi bekas”, tidak berharga dan pantas diloakkan. Perempuan merasa setelah kelihangan keperawanan membuatnya mustahil mencari kemungkinan lain. Sehingga, ketika keperawanan perempuan terenggut, bisa dipastikan dia akan mempertahankan pasangannya dari perempuan lain.
Ditinjau dari bentuk organ seksual, penis lelaki adalah organ yang (mungkin ditakdirkan untuk) “merobek selaput dara”. Sedangkan vagina, organ seksual milik perempuan, berfungsi untuk menerima penis sehingga selaput dara yang tipis tersebut akan robek ketika pertama kali penis memasukinya. Dan Tuhan tentu membuat itu tanpa pertimbangan yang jelas atau sekedar iseng. Karena sudah jelas, pasti ada maksud dan tujuan dari selaput dara dibuat amat tipis. Jal pikiren?!?
Lha wong dibuat tipis saja, muda-mudi bisa mengakali kok. Apalagi dibuat tebal? Belum lagi, kalau bapak-emaknya si perempuan itu kaya, bisa menjahitkan keperawanan ke Singapura. Mungkin itu sebabnya perempuan yang perawan punya harga spesial di pelacuran.
Jadi, kalau mbak cantik merasa sudah menjadi ”bekas” dan tidak lagi diterima, sebaiknya diterima saja. Saya akan sangat bangsat kalau menyuruhmu sabar, meski saya juga tak mampu menyuntikkanmu ke Singapura agar selaputmu bisa oke dan greeng lagi. Kalau perlu menangis, ya, menangis saja, tapi jangan lama-lama.
Melampaui Syariat
Saya pernah tergelitik dengan kalimat ”perempuan baik-baik hanya untuk lelaki baik-baik”. Jujur saja kalimat ini pernah membuat saya jengkel setengah mati karena selama hidup, saya tak pernah merasa sebagai orang baik-baik, lelaki baik-baik.
Saya ini boleh jadi mantan seorang gali junior. Pernah jadi playboy cap tikus dan dari semua aspek hidup saya, tidak ada sedikit pun yang bisa membuat saya pantas mendapat perempuan baik-baik. Heh, sopo toh ning ndunyo iki seng gelem oleh elek?
Jelek-jelek begini, cita-cita saya adalah mendapat perempuan baik-baik. Meski kalian anggap saya tidak pantas untuk dapat sesuatu yang baik, karepmu! Yang jelas saya ingin dapat yang baik karena saya tidak munafik. Tapi, masalahnya di dunia ini tidak semua perempuan itu baik-baik, begitu juga sebaliknya. Kalau semua ingin yang baik, lalu yang buruk itu untuk siapa? Demit? Genderuwo alas? Atau untuk Pakde Dalbo? Hehehe...
Apa kalau seseorang merasa buruk, lantas apa dipikir yang dia tidak ingin hidupnya berubah jadi lebih baik dengan cara mendapat sesuatu yang baik? Atau setidak-tidaknya mampu mendapat pasangan yang mampu membawanya ke arah yang lebih baik.
Mungkin benar kebaikan hanya pantas untuk kebaikan. Di situ ada keadilan Tuhan. Tapi, kalau benar demikian, dimana keadilan Tuhan bagi yang (sudah terlanjur) buruk? Bukankah Tuhan itu senantiasa memberi ”jalan yang lurus” bagi setiap manusia? Meski, manusialah yang kerap ingkar dan tidak memilih jalan yang sudah ditentukan.
Kalau dalam konteks baik-buruk perempuan dan lelaki, tentu saja jalan lurus itu bisa berupa jodoh yang diberikan Tuhan pada seseorang. Artinya jodoh itu sudah pasti baik—meski kita tidak suka dan tak bisa menerima—dan tinggal pasangan tadi mencari kebaikan itu sendiri. Bila suatu saat mereka gagal dan merasa tidak bahagia, ya, berarti gagal mencari kebaikan dan Tuhan akan memberikan alternatif jodoh yang lain. Atau mungkin tidak memberi sampai akhir hayatnya. Dan itu pun sebenarnya juga baik, karena mungkin Tuhan berpikir, lebih baik kita hidup sendiri ketimbang menyakiti orang lain.
Mbak cantik, jangan gusar. Seandainya kelak suamimu membuangmu ke got, kau akan ditemukan seorang pria yang benar-benar menerimamu apa adanya. Dan itu artinya, calon suamimu adalah bergajul dengan bentuk yang lain. Atau mungkin, dia tetap orang baik, namun dia sedang tak siap menerima sesuatu yang (dianggap masyarakat) buruk.
Kalau, kau di loakkan ke besi tua, berbaik sangka saja dengan dia. Anggap saja dia masih berada di tataran syariat. Berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang sudah ditentukan. Tapi, jika suatu saat suamimu bisa berbesar hati menerima, atau ada orang lain bisa menerima kondisimu, berarti dia adalah best of the best.
Setiap orang (lelaki dan perempuan) hanya mampu untuk mendapatkan takdir baik dari Tuhan dan tak siap dengan yang buruk. Kalau ada lelaki atau perempuan sanggup menerima jodoh yang baik, maka apa hebatnya? Seseorang baru bisa disebut hebat ketika bisa menerima sesuatu yang tidak dia inginkan. Sesuatu yang dicampakkan orang lain, tapi di matanya, kau tetap berlian serta mau membimbingmu ke arah yang lebih baik.
Mbak cantik, kau tau, di tengah musim kawin seperti ini—ketika kawan-kawan sebaya saya sudah pada lomba kawin—perasaan saya masih tidak dibuat gentar dengan pernikahan mereka. Bagiku, pernikahan kawan-kawan terdekatku tak ada bedanya dengan pergantian musim: sudah tua, ya, pilih-pilih, seleksi calon lantas kawin. Begitu saja. Tidak ada yang istimewa.
Calon yang dipilih pun standar-standar saja. Memilih apa yang menurut mereka baik, dari keluarga baik-baik, pekerjaan baik-baik. Kebanyakan kawan saya hanya mencari apa yang baik menurut mereka, menurut keluarga dan masyarakat.  
Mbak cantik, saya pernah dua kali dibuat gentar dengan pernikahan. Itu terjadi pada tahun 2010 dan 2013. Tahun 2010 adalah pernikahan seorang kawan, yang aku anggap sangat baik dan santun. Sebut saja dia mas baik.
Si mas baik ini menikahi tetangganya, seorang purel warung yang bisa sekalian disewa untuk begitu-begitu-begitu-begitu. Alasan yang dikemukakan kawan saya begitu bikin merinding, ”Sakno bro, dek’e dipandang rendah wong-wong, dianggap balonan. Nek ngene kan derajate munggah ta (Kasihan bro, dia dipandang rendah orang-orang dan dianggap lonte. Kalau begini derajadnya kan naik),” kata kawan saya.
Waktu itu di malam pernikahannya begitu melankolik. Semua jadi terasa lain. 
Tahun 2013, saya pernah digetarkan dengan pernikahan seorang kawan lama, sebut saja dia mas bakpau. Dulu dia seprofesi dengan saya: pengamen terminal. Tapi, mendadak dia berhenti dan berdagang bakpau, lebih tepatnya bosnya bakpau. Mas bakpau menyuplay bakpau dan mendadak jadi bos yang lumayan besar. Usahanya semakin maju.
Sejak mengamen, saya tau mas bakpau punya pacar seorang juwita malam. Tapi, saya tidak tahu bila hubungan itu terus berlanjut sampai ke jenjang pernikahan. Mas bakpau tidak peduli dengan pekerjaan kekasihnya bahkan setelah dia jadi bos bakpau. Dia pun menyuruh kekasihnya berhenti dan merubah status dari “mbak juwita malam” menjadi “mbak bakpau”. Kalau mas bakpau tidak menjadi bos dan tetap menjadi pengamen, saya tak akan heran. Karena mungkin kedua profesi itu dipandang rendah.
Saya terenyuh dengan pernikahan mas baik dan mas bakpau. Keduanya adalah pernikahan yang spesial, karena saya sendiri belum tentu mampu melakukan apa yang dia lakukan. Hatiku belum tentu kuat dengan cercaan masyarakat dan omelan orang tua. Terlebih mengetahui masa lalu istri saya yang menjadi milik semua pria yang mampu membeli.
Pernikahan kedua mas-mas itu punya tempat di batin saya dan sebagai bukti bila jalan Tuhan untuk merubah hidup seseorang menjadi lebih baik itu tidak main-main. Saya merasa terenyuh melihat kebaikan dan kelapangan hati mas-mas itu melampaui syariat dan memiliki kadar kedewasaan dari anggapan-anggapan dan norma masyarakat yang umumnya kerdil. Mungkin Om Iwan benar, ”benih cinta memang tak pandang siapa”.
Mbak cantik, boleh jadi koyaknya keperawananmu adalah jalan menuju sorga dengan datangnya pria yang menerimamu apa adanya.
Mbak cantik, mungkin ini adalah sebuah momen untuk memastikan: apa suamimu kelak adalah malaikat atau bergajul dalam bentuk yang lain. Bersyukurlah kau kelak bisa memastikan suamimu itu benar-benar baik atau baik di muka saja. Karena perempuan lain (yang dianggap baik) tak mampu memastikan bakal suaminya itu benar-benar orang baik atau bukan. Karena umumnya mereka datang karena kasmaran, karena kau masih dipandang baik. Kalau kelak dia mau menerimamu, segera cium keningnya, buatkan dia kopi yang enak dengan cinta, temani malam-malamnya, pijiti bahunya sepulang kerja, jaga hartanya, dan jagalah anak-anaknya, serta didiklah dengan baik. Karena dia suami yang kelak menerimamu adalah cara Tuhan menghapus tangis di matamu, lukamu, keresahanmu.  Selamat malam.

Jakarta, Mei 2015

Citra D. Vresti Trisna

4 komentar:

Heru Prayogo mengatakan...

salut bang sama tulisan ente

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Terimakasih atas kunjungannya

Eyang Abiyoso mengatakan...

Abis ngobrol sama mbak cantik terus ada adegan apa mas?

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Kita sama-sama "tua" dan pernah menjadi bergajul. Dan kamu tanya hal yg sangat jenius.

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.