Laman

Sabtu, 09 April 2011

Keseimbangan Kosmis dan Disintegrasi




Pada akhirnya sebuah kesadaran tentang hidup selalu butuh memperhatikan kesadaran kosmis. Sebab, demikianlah ucapan orang pedalaman Papua mengenai hubungan mereka dengan alam. Ketika kita menebang hutan untuk pertanian, maka yang harus dilakukan adalah menanam kembali pepohonan agar tidak terjadi bencana. Setelah kita mengacaukan tatanan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah lewat serangkaian aksi untuk membela rakyat, maka seyogyanya kita perlu mengambalikan kepercayaan rakyat agar kembali harmonis.
Mungkin ini harapan yang tersirat budayawan mbeling Emha Ainun Nadjib, soal tulisannya yang akhir-akhir ini kerap bernapaskan pandangan positif pada apapun, termasuk pada pemerintah. Sebab kemajuan suatu negara selalu membutuhkan sinergitas antara rakyat dengan pemerintah, baik dalam hal apapun. Sekalipun tak serambutpun kita bisa mempercayai kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan nasib rakyat.

Berkaca dari perjumpaanku di suatu pagi dengan sekelompok tani asal Sulawesi Tengah yang kebetulan menginap di Kontras, lembaga advokasi HAM dan orang-orang hilang. Dia bercerita padaku mengenai ribuan hektar tanah mereka yang siap panen harus di tebang dan dikuasai oleh pemodal yang main mata dengan pemerintah. Dengan nadanya yang putus asa, ia menjelaskan padaku bila apa yang dilakukannya adalah jalan pamungkas, sebelum dia harus menempuh jalan terakhir – jalan kuburan – konflik berdarah Morowali.
Menurut Pak Syarifudin, salah seorang dari kelompok tani Sulteng, sekarang dirinya sudah tidak lagi sanggup untuk menyelenggarakan sekolah yang layak untuk anaknya. Juga untuk saudaranya yang sakit, dimana sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa mengurus dan membawanya ke rumah sakit.
Dari sini, boleh jadi sebuah konflik menjadi logis di mata pihak yang dipecundangi dan dirampas tanahnya. Kalau istilah kawan Papua, yang menjadi jurus jitu untuk membungkam mulutku, “mungkin kau akan merasakan pentingnya kita merdeka dan bantu OPM, setelah merasakan keluargamu ditembaki tentara, atau ketika telingamu harus di potong TNI dan dijadikan koleksi” begitu ujarnya, dengan nada yang bersungut, marah. Matanya terus memandang, dan mulutnya terus berkoar tentang data-data dan kisah pilu mereka di kampung. Sehingga akhirnya mereka bertemu denganku dan bisa saling berbincang.
Dengan serangkaian data dan fakta yang sudah dipaparkan padaku tentang alasan disintegrasi di berbagai wilayah, dimana ketidakpuasan selalu menjadi alasan klasik yang tidak pernah ditemukan solusinya. Modal dan kepentingan kelompok selalu bicara lebih jauh dan lebih logis ketimbang sebuah keperdulian pemerintah atas nasib rakyatnya. Modal adalah tuhan atas segala sesuatu. Maka logis atau tidak keputusan-keputusan merdeka juga menjadi pembenaran di satu sisi, dan ganjil di sisi yang lain, sebab nasionalisme dan NKRI tidak pernah menyebut urusan disintegrasi.
Lalu konsep keseimbangan kosmis, tentang mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, yang harus dilakukan elemen yang mengatas namakan pembela rakyat mendadak harus menjadi klise karena inkonsistensi penguasa. Pemerintah selalu kembali ke jurang yang sama dari satu kezaliman dan kelalaian lainnya.
Perlukah kita mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada negara untuk sebuah tujuan mulia rekonstruksi Indonesia? ketika pertanyaan selanjutnya harus menjengkelkan – kapan pemerintah bisa sedikit kita percayai? Menunggu sesuatu yang tidak jelas pasti membuat kita jenuh sampai akhirnya kita menyerah pada takdir, atau yang lebih logis, pada konstalasi global atas disintegrasi di Indonesia.
Dalam benak orang yang masih percaya pada mitos nasionalisme – persatuan adalah segalanya. Sedangkan ketika keputusan nasionalisme menjadikan arogan, tidak bijak, egois – apa artinya? Tapi di satu sisi, ketidakbijakan lain menunggu pula di depan. Ketika harus membiarkan saudara kita jadi bulan-bulanan intervensi asing ketika sudah lepas dari NKRI. Seperti saudara di Timor Larosae, yang harus merangkak dan mengembik pada Australia agar di susui. Dan lagi-lagi perkara kepercayaan – seberapa jauh kita percaya pada kepedulian pemerintah atas rakyatnya bisa tercapai di Indonesia. Sedangkan untuk pemerintah, sang bayi tua peradaban Indonesia, sampai kini terus mencari susu dari putting-putting asing dan putting pelacur peradaban – putting pemodal.
Bila puncak krisis kepercayaan di berbagai dimensi harus ditandai dengan suburnya wacana disintegrasi dan kumpulan-kumpulan organ-organ yang harus terjebak pada konflik pemerintah versus rakyat. Lantas keadaan yang terparah adalah ketika organ-organ yang masih perawan harus terjebak pada seting barat untuk disintegrasi Indonesia. Organ gratisan yang mendukung perpecahan dan krisis kepercayaan masyarakat dan pemerintah.
Sampai kapan waktu yang kita pakai menunggu itikad baik pemerintah harus memakan banyak korban di berbagai tempat. Apa mesti penduduk di Papua, Maluku, Ambon, Aceh, harus berkurang separuh, lantas kita baru mengambil keputusan? Aku rasa tidak.
Tiba-tiba aku rindu P4. Dan kali ini yang mesti harus mendapat penataran adalah pemerintah tengik yang selalu merangsang dengan pemodal.

08 April 2011
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.