Laman

Sabtu, 14 Mei 2011

Kisah Bowo Part 2


Ya memang seperti itulah si Bowo. Manusia aneh dari abad 21 yang kebetulan harus nyasar di bumi ini dan menjalani kehidupan bersama kita. Dan setelah sampai sejauh ini, apa kau tidak ingin bertanya, siapa dia sebenarnya?

(“Pak Dalbo, saya mau tanya.”)

“Ya. Silahkan!”

(“Sebenarnya, siapa itu Bowo. Saya tidak mengerti dari awal sejak anda bercerita. Ini jujur lho..”)

“Pertanyaan yang aneh.” Aku membatin.


“Baiklah saudara-saudara. Bowo itu adalah sesuatu yang sangat abstrak. Manusia yang terlahir dari kemungkinan-kemungkinan yang nyelempit dan tanpa sepengetahuan kita, ia lahir dan harus hidup diantara kita semua. Bowo bisa hadir sebagai sebuah ibu, ayah, adik, kakak, tante, om, pakde,bude, nenek, kakek, dan teman-teman semua. Kita tak akan pernah tau siapa Bowo yang sebenarnya. Sebab kita tak akan pernah sampai ke sana. Bowo harus nyelempit diantara akal sehat dan kesadaran sebagai seorang manusia. Mahluk-mahluk yang sadar akan potensi-potensi rasional. Nah sedangkan Bowo adalah kebalikan dari itu semua. Bowo datang dari sisi yang paling tidak masuk akal. Sisi yang berlawanan dari logika kita semua. Dan ketika pakde sudah menjelaskan hal ini, maka, apakah kalian masih berminat menanyakan Bowo itu siapa?”

(“Saya tidak mengerti pakde! Tolong memakai bahasa yang saya dan kawan-kawan yang ada di sini pakai. Kenapa untuk menjelaskan sebuah cerita yang harusnya tidak rumit dan sangat mudah harus bertele-tele macam ini. Kalau toh ini fiksi, maka semua selesai. Aku bisa memahami, dan tak akan bertanya lagi. Tolonglah pakde. Jangan membuat kami merasa percuma datang jauh-jauh bila hanya untuk tersesat.” )

“Djangkrek… Apa lagi toh.” Aku mendesis. “Sebenarnya aku juga tak tau apa yang sudah aku jelaskan. Ini mahluk apa toh? Kok doyannya nanya. Pasti ini dari ras tertentu yang hobinya menjilat dengan terus bertanya. Cari muka agar dianggap hebat. Dan satu-satunya kemungkinan eksis yang bisa ditempuh seorang pemuda.”. aku masih menggumam.

Sementara aku bingung. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi. Dan aku mencoba tersenyum dan seolah-olah menjadi seorang guru yang menjelaskan pada muridnya yang paling bodoh. Dan aku sedikit tersenyum. Meremehkan.

“Nah, bagi yang lain. Ada yang ikut-ikutan ndak ngerti juga. Ayoh ngacungkan tangan! Biar sekalian njelasinnya. Ini gampang lo…!” sekarang semua nampak melongo dan tolah-toleh ndak ngerti. Sepertinya mrereka takut dibilang ndak ngerti. Hahahahaha aku menang.

“Ayoh bagaimana..!! ada yang ndak ngerti?”

“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak.” Mereka menjawab serempak.

“Nah lo. Semua saja tau. Masa masnya ndak tau? Makanya belajar lagi ya nak. Ya sudah, pakde jelaskan sekali lagi ya.” Aku tersenyum. Menang. Sementara dia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dan dia semakin jengkel. Aku tau itu.
“Bowo itu abstrak. Semua bisa menjadi Bowo. Saya atau anda semua bisa menjadi tokoh yang saya ceritakan ini. Kalau bilang ini fiksi. Rasanya tidak. ini real. Jadi Bowo itu bisa saja kita semua. Baik sudah paham semuanya. Sudah ya. Yang belum ngerti, bisa nanya teman di sebelahnya ya. Pakde mau melanjutkan cerita pakde.”

Suatu ketika Bowo sedang berada di sebuah mall. Ia mengantar pacarnya dan keluarganya untuk belanja barang kebutuhan sehari-hari. Karena pacarnya tau bila Bowo tak pernah punya uang, maka ia merelakan pacarnya yang aneh ini untuk keliaran sembarangan di sekitaran mall dengan diberi uang secukupnya untuk ke ponten dan pergi ke warkop. Alhasil Bowo berlarian menuju warkop dan minum kopi.

Hari itu memang agak sedikit naas buat Bowo. Perutnya sakit. Ia memegangi perutnya yang sudah sangat melilit. Kini Bowo sudah tidak lagi berminat dengan kopinya karena di dalam kopinya sudah ada seekor tawon yang mati dan menggenang di dalam gelas kopinya. Setelah Bowo membayar kopinya, Bowo berlari menuju sebuah ponten yang tak jauh dari mall.
Setelah ia masuk WC dan membakar rokoknya, ia berkonsentrasi dengan memejamkan matanya sambil sesekali menghisap rokoknya.
“Nanananana nanaaaaaaaaaaaa nana nanananananananananananananana” suara orang bersiul menyanyikan lagu ST 12 yang kebetulan ada sebelah kamar mandi Bowo yang kebetulan juga sedang buang air.
“Berisik!” Bowo mengumpat. Suara hening sejenak. Tapi beberapa saat kemudian, suara itu muncul lagi, dan kali ini dengan lagu kangen band.

Kini Bowo memejamkan matanya. Seluruh pernafasannya dipusatkan di perutnya agar mendapatkan hasil kentut yang optimal. Alhasil, sebuah suara panjang keluar dari pantat Bowo “preeeeetttt”.
Paska kentut Bowo, suara lagu itu mendadak menghilang. Hal ini membuat Bowo tertawa cekikikan dan merasa puas karena telah membungkam mulut bau tetangga bokernya. Tapi belum lama setelah kemenangan Bowo, sebuah suara muncul.

“drtttttdrtttttttt…. Pretttt.. csss” suara kentut dari kamar mandi sebelah terdengar panjang seakan memberondong Bowo dengan senyum kekalahan. Kini suara cekikikan berganti di kamar mandi sebelah. Dan Bowo mengartikan ini sebagai sebuah penghinaan atas eksistensi pantatnya.

Bowo kembali diam. Ia kembali berkonsentrasi dan melakukan pengaturan napas secara seimbang guna membuat hasil yang lebih optimal dari yang ssudahnya. Ditambah lagi Bowo mulai mengetuk pelan perutnya berulang-ulang untuk menghasilkan efek ledakan yang spontan dan mengejar pada sisi suara saja.

“BRAAAAK.. PRETTTT” Bowo menarik napas lega dan tertawa cekikikan mengejek kamar mandi sebelah. Kini tertawa cekikikan dari kamar mandi sebelah tak lagi terdengar. Bowo dapat tertawa dengan cukup lepas dari yang sudah-sudah.

Tak berapa lama setelah serangan Bowo, sebuah serangan balik kembali dilancarkan.

“prutttt. Cess”

Sebuah serangan yang nampaknya gagal dan dibuat dengan terlalu tergesa-gesa dan hasilnya kurang optimal. Hal ini karena proses penyimpanan kurang baik karena terlalu berambisi untuk melakukan serangan balasan.
Mendengar suara serangan lawan Bowo yang lemah. Bowo tertawa lebih keras dari yang sudah-sudah. Ia merasa memenangkan pertandingan ini dengan telak. Kini Bowo mengangguk. Mengepalkan tangannya ke dada. Ia merasa yakin kemampuannya tidak lagi tersaingi. Ia mengangguk yakin dan kembali meneruskan tawanya yang tertunda.

Kini suara ponten sudah tidak lagi kondusif. Suara orang mengantri yang sedari tadi mengomel dibungkam dengan serangan Bowo yang telak pada lawannya. Dan para pengantri kamar mandi itu hanya sanggup mengelus dada seraya mengatakan: “kurangajar”.

“djangkrik” kini lawan Bowo mengumpat tak terima.

Tawa Bowo semakin meledak tak karuan. Ia merasa telah mempecundangi orang di sebelahnya. “Makanya kalau pantat kecil tak berisi, gak usah ngadu pantat. Makan itu kentut..” disusul tawa Bowo yang membrahana.

Seketika orang yang ada di kamar mandi sebelah langsung bersungut marah. Air berkecipak tanda lawan Bowo mengakhiri acara buang airnya. Dan Bowopun tak mau kalah. Ia juga mengakhiri acara buang airnya.
Setelah pintu terbuka, seseorang berperawakan tipis dengan rambut pendek berkuncir kecil menatap Bowo dengan tatapan penuh tantangan. Bowo pun tak kalah kobar membalas tatapannya dengan pandangan yang lebih garang.

“Opo cuk!” tukas Bowo, tak terima dipandang dengan cara begitu.

“Opo? Gak trimo ta raimu (apa? Kau tidak terima?)”

“Yo gak trimo cuk. Ayo gelut. Bokong wes kalah, opo koen njaluk diajar maneh liyane? (ya tidak trima bangsat. Pantat sudah kalah, apa kamu ingin dihajar lagi yang lainnya?)” Ujar Bowo membalas, tak terima.
Mereka berdua sama-sama keluar ponten dan berkelahi di pelataran ponten. Mereka berdua bergelut dan saling meghantam dan menendang. Dan duel seru antara Bowo dengan pemuda berbokong tipis tak terelakkan. Namun ketika Bowo dan pemuda tak berbokong sedang berkelahi, orang-orang di sekitarnya tak ada yang berniat memisahkan mereka. Pemilik ponten melarang setiap orang yang hendak memisah keduanya berkelahi.

Kini Bowo menjadi tontonan orang-orang yang ada di sekitar mall itu. Mulai dari anak-anak, orang tua dan para pedagang menyaksikan bowo berkelahi. Bahkan diantara mereka ada yang saling bertaruh siapa yang menang diantara keduannya.

Kini bowo dan pemuda tadi merasa sama-sama capek. Tak seorang pun ada yang memisah mereka berdua. Karena napas mereka berdua terengah-engah, keduanya sama-sama mengambil jarak dan pergi berlalu tanpa sempat diketahui siapa yang menang. Keduanya sama-sama menahan rasa sakit dan memegangi lebam-lebam pada tubuh mereka berdua.

***

Sesampai di rumah. Bowo berendam air hangat dan melepaskan diri dari kelelahan lantas memanjakan tubuhnya yang sakit akibat berkelahi sepulang dari ponten.


Dear Diary,
Ternyata berkelahi itu tak enak. Sekarang badanku seperti remuk. Tapi paling tidak aku sudah membungkam mulut pemuda berkuncir itu. Dia akan membawa kekalahan beradu kentut denganku itu seumur hidupnya. Ia tak akan enak makan dan tak enak tudur. Wajahku akan menghantui mimpi-mimpinya.
Tapi aku juga mesti harus belajar banyak untuk melatih fungsi pantatku. Dan cara berkelahi yang baik tentunya agar tidak babak belur seperti ini. Tapi aku senang.…”

Bowo terlelap dan terbawa mimpi karena tubuhnya yang telah kecapekan akibat berkelahi selama berjam-jam.

Selamat Bowo. Kau berjuang dengan cukup baik. Selamat malam.
Bersambung…

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.