Laman

Senin, 30 Januari 2012

Jagong Sunyi


Gelapgelap di dada
Terangterang di mata
Menanti jawaban: Tuhan

Apa benar sisa-sisa Hindu yang lenyap dari Majapahit adalah lantaran Islam? Sedang aku meyakini ayat-ayat yang dibacakan sebelum subuh datang adalah “benar”. Tapi, apa iya itu benar? Kalau tidak, lalu? Kalau benar, apa dunia sedang butuh pembaharu?

Menanti sisa-sisa. Bijak dan kesadaran.
Puing yang berbisik: akulah mantra yang digulung muka ombak. Ditelan pasir, debudebu, lalu hilang

Jumat, 27 Januari 2012

Akar


Setiap akar –tanpa mata– akan setia menelusuri setiap gembur, batubatu, saling silang dengan akarakar yang lain. Hingga sampai di sebuah batas. Maka menarilah daundaun sampai tanggal menjemputnya. Seingatku, pohonpohon selalu menolak mendebat soal kehilangan. “Bukankah kita cuma setia pada waktu.” Ujar pohon di suatu sore menjelang pagi.
Di hari yang lain, saat aku merisaukan akarakar bisu  dan segala perjalanan yang setia. Pohonpohon kembali bersenandung: akarku selalu setia di tahajudnya sendiri –menelusuri tanah genit berbatu.
Lalu aku mencoba mencari setiaku sendiri. Menelusuri sujud untuk mencari dimana wajahMu.

Jogjakarta, November 2011
Citra D. Vresti Trisna

Sabtu, 21 Januari 2012

Nusantara Part 2 (Nyantai bos...)

Cita-cita adalah sesuatu yang membuat seseorang terus hidup. Keberadaan kepentingan membuat kita sadar bahwa masih ada orang yang bisa dikatakan “hidup”. Tapi sebelum itu, kita harus tau dulu kepentingan apa yang dibawa? Prinsipil atau tidak? Punya harga diri atau tidak? Kalau demikian adanya, bolehlah kita—orang-orang di Kampung Nusantara—belajar untuk sedikit lebih hidup dengan mempunyai “kepentingan” dan belajar lagi mengenali arti “harga diri”. Lalu mengingat-ingat falsafah hidup yang telah lama dilupakan, dan yang terpenting tidak sok mbarat.
Coba kita bayangkan bila setiap anak yang lahir di Kampung Nusantara ini tumbuh bagai mayat hidup tak berkehendak. Tumbuh dan belajar untuk senantiasa dikehendaki: negara lain,  bangsa lain, kelompok dan golongan-golongan tertentu. Dipaksa—sadar, tidak sadar—kehilangan jati dirinya: asal usul, cita-cita bapaknya, hidupnya, nenek moyangnya. Karena bisa dibilang aturan tak tertulis di Kampung Nusantara ini adalah saling menopangkan cita-cita di pundak anak cucu. Hal ini dibenarkan oleh kata Edi Banteng, seorang kawan tua, “kita ini terlahir dan harus hidup dengan beban sejarah dari orang-orang terdahulu kita”.

Kamis, 19 Januari 2012

Nusantara

   Nusantara punya ceritanya sendiri. Tentang hidup, kejayaan, “mitos” dan hipotesis tentang bom waktu yang bakal meledak esok hari ketika wacana nusantara meluas. Saat ini, nusantara masih terpendam bersama wacana sebayanya – atlantis, yang katanya di Indonesia – untuk menunggu banyak ahli  dan ramai-ramai mengasumsikan, menggali dan mengambil hipotesis. Begitu juga denganku yang juga bisa sekehendak hati untuk mengambil hipotesis sederhana terhadap wacana itu, dimana berkaitan dengan dengan proyek besar disintegrasi di Indonesia dan keperdulian sesama – terutama kaum cendekia – yang pada akhirnya terjebak pada primordialisme dan fanatis sempit yang picik.
   Siapa yang bisa menduga benar tidaknya nusantara dengan segala kejayaannya. Tapi, ada indikasi bila itu benar adanya berdasarkan bukti yang telah ditemukan. Apalagi melihat “manusia jawa” yang bagiku masih “di luar logika”; karena tidak ada penjelasan ilmiah yang bisa memetakan manusia jawa dengan baik sehingga bisa memberikan kejelasan tentang teka-teki nusantara dan segala dampak. Dan yang terpenting: apakah wacana nusantara ini bebas dari politisasi dan setting global untuk disintegrasi di Indonesia.

Rabu, 18 Januari 2012

Phone Sex


Phone sex. Ah... ah... ah... 

Saya pikir, tidak ada orang yang menolaknya. Bahkan kalau ada orang suci jaman dulu bisa “hidup lurus”. Mungkin akan belok setelah kenal ponsel. Kalau mereka menolak dan berang atas ungkapanku ini. Tidak masalah. Bukankah kelak Tuhan akan menyediakan TV layar lebar yang akan merekam segala polah tingkah hidup orang sekarang. Dan saat itu pula, kelakuan phone sex-nya akan terbongkar.

Untuk berkata tidak pada phone sex, sebelumnya jawab dulu pertanyaan saya: siapa orang yang sanggup menolak sex? Kecuali dia seorang kasim. Siapa bisa menolak pentingnya keberadaan ponsel yang jadi berhala wajib jaman sekarang? Kalau bisa, mengapa dalam sekali hidup kita tidak mencoba untuk jujur. Seperti digambarkan dalam novel “blakanis” karya Arswendo Atmowiloto. Dalam novel itu diceritakan seseorang yang bernama Ki Blaka berkumpul dengan pengikutnya untuk mempraktekkan hidup Blaka: jujur. Jemaah Ki Blaka tidak segan-segan untuk jujur menjawab setiap pertanyaan yang diajukan setiap jemaah lain. Ada yang membongkar kasus korupsinya, seksualitas, dan kehidupan keluarga. Bahkan Ki Blaka mengaku kalau dia pernah menyodomi kambing. Ayo, ayo, sepertinya kita mesti punya Ki Blaka yang lebih real. Ia tidak hanya akan dicatat dalam buku, bahkan sejarah pun akan mencatatnya. Dan itu bisa dimulai dengan jujur soal kegiatan phone sex kita.

Televisi

“Televisi adalah sahabat paling mengerikan karena ia berada di tengah-tengah rumah kita” kata AS. Laksana dalam sebuah kolomnya. Hal itu mungkin benar,  karena televisi selalu punya cara yang menarik untuk memberikan ragam cara untuk melakukan kejahatan. Ia seakan memberikan sebuah kesimpulan bahwa kejahatan bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Apalagi berita-berita kacangan tentang kasus kriminal.

Tapi, seburuk apapun substansi berita dan metode penyampaiannya, ia tetap informasi yang memberikan gambaran tak selesai akan wajah kehidupan berbangsa kita yang bopeng. Satu sisi kita mesti tau bila dunia sedang tidak baik-baik saja. Di sisi lain, ia tetap racun karena dramatisasi – yang berorientasi pasar – menjadikan kita adalah kopian-kopian dari sesuatu yang diberitakan.

Rabu, 04 Januari 2012

Daftar Sakit Jiwa

cowok-bugil-1

 Sakit Jiwa no 1 : Orang yang tidak sadar bahwa dia gila, dan menganggap orang di sekitarnya-lah yang gila.

Sakit Jiwa no 2 : Optimis berlebihan

Sakit Jiwa no 3 : Para pencari perhatian yang disebabkan krisis eksistensi.

Sakit Jiwa no 4 : Kaum sok suci.

Sakit Jiwa no 5 : Jablai.

Sakit Jiwa no 6 : Mereka yang bangga menyebut dirinya miskin.

Sakit Jiwa no 7 : MASOKIS