Laman

Kamis, 19 Januari 2012

Nusantara

   Nusantara punya ceritanya sendiri. Tentang hidup, kejayaan, “mitos” dan hipotesis tentang bom waktu yang bakal meledak esok hari ketika wacana nusantara meluas. Saat ini, nusantara masih terpendam bersama wacana sebayanya – atlantis, yang katanya di Indonesia – untuk menunggu banyak ahli  dan ramai-ramai mengasumsikan, menggali dan mengambil hipotesis. Begitu juga denganku yang juga bisa sekehendak hati untuk mengambil hipotesis sederhana terhadap wacana itu, dimana berkaitan dengan dengan proyek besar disintegrasi di Indonesia dan keperdulian sesama – terutama kaum cendekia – yang pada akhirnya terjebak pada primordialisme dan fanatis sempit yang picik.
   Siapa yang bisa menduga benar tidaknya nusantara dengan segala kejayaannya. Tapi, ada indikasi bila itu benar adanya berdasarkan bukti yang telah ditemukan. Apalagi melihat “manusia jawa” yang bagiku masih “di luar logika”; karena tidak ada penjelasan ilmiah yang bisa memetakan manusia jawa dengan baik sehingga bisa memberikan kejelasan tentang teka-teki nusantara dan segala dampak. Dan yang terpenting: apakah wacana nusantara ini bebas dari politisasi dan setting global untuk disintegrasi di Indonesia.
   Dari banyak perjalanan untuk mencari jawaban akan hal ini, banyak ditemui tiap-tiap daerah dan tokoh-tokohnya seakan terjangkit sindrom sejarah akan kejayaan masa silam. Masa silam di berbagai daerah memang sanggup untuk membangun semangat bernegara dan berjuang untuk maju. Tapi, pertanyaannya, apa kita sanggup untuk bangkit bila kita berjalan sendiri-sendiri, karena semangat primordialisme berlebih? Apa kita sanggup untuk menjawab segala tantangan peradaban bila kolektivitas terbentuk dari pribadi-pribadi pongah dan angkuh?
   Hipotesis tentang bom waktu dari wacana nusantara menjadi antitesis yang memukul telak: apakah kita benar-benar butuh untuk terjun dan tenggelam bersama wacana kejayaan nusantara? Tapi, dalam kasus ini, tidak ada jalan tengah yang bisa diambil. Belajar berarti terjebak ke kubang primordial, dan tidak berarti tenggelam dalam kubangan tanpa bisa bangkit. Maka, yang kemudian menjadi logis, ketika dunia tak memberikan jalan tengah, adalah dengan berhitung untung dan ruginya. Berapa banyak waktu, darah, dan kemanusiaan yang mesti dikorbankan pada setiap pilihan yang kita ambil. Apa benar Tuhan begitu welas asih dan memahami mereka yang tidak tau apa-apa, sehingga mereka lantas dengan leluasa memapu untuk tidak mengambil sikap? Atau justru, kita bakal mempus dengan pilhan kita – menjadi bagian yang terus terpuruk tanpa spirit masa silam – tanpa sempat memilih.

17 Januari 2012

baca juga Nusantara Part 2

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.