Laman

Rabu, 29 Februari 2012

# Tai Kucing 3


HIPOKRIT

Seseorang mengataiku seorang HIPOKRIT. Sudahlah, itu masih lebih indah ketimbang menjadi seseorang yang barbar, yang buru-buru percaya pada perjuangan dan buru-buru melupakan dan memaki habis orang yang diperjuangkan. Ini bukan romantisme, tapi aku ingat apa yang dikatakan Ernesto. Kurang lebih seperti ini: “di Bolivia aku merasakan perjuangan yang sesungguhnya.” Berjuang untuk orang-orang yang tak mengerti bila sedang diperjuangkan. Berjuang untuk orang-orang yang apatis; berjuang melawan dalam kediaman yang dingin.
Ernesto adalah seseorang yang melankolik. Orang yang sentimentil dengan banyak keadaan yang terjadi di sekitarnya. Tapi ia hanya tau menekan pelatuk untuk sesuatu yang diyakininya “benar”; perang adalah soal membunuh atau terbunuh.

Dalam sebuah perjuangan sikap sentimentil dan kerinduan, terkadang, boleh disalahkan. Tapi dengan sikap tuli pada apa, siapa dan bagaimana yang diperjuangkan. Ia hanya tau memasuki lembah-lembah gelap yang JAUH DARI RUMAH dan tetap tidur dengan teror bom dan desingan senjata demi sesuatu yang diyakininya. Meninggalkan anak istri untuk hal besar yang diyakininya. Saat muda, Ernesto meninggalkan kekasih yang begitu disayanginya demi perjalanannya ke Amerika Selatan sebagai seorang lelaki dan untuk mengikuti sindrom dan virus aneh dalam otaknya yang membawanya menjadi gembel di jalanan. Seingatku, (mungkin salah, tapi semoga benar) ia tidak merengek untuk kekasihnya yang diambil orang.
Tapi di lain pihak aku ingin berterimakasih pada orang yang mengata-ngatai aku. Mataku hanya melihat apa yang ada diluar diriku. Mungkin di suatu ketika aku kalap dengan hatiku hingga aku menjadi begitu hipokrit, aku minta maaf pada semua orang yang merasa terlukai dengan kekurangan yang ada pada diriku. Lagipula aku tak perlu serius bertanya: mengapa orang lain merasa tersiksa dengan kekurangan yang ada padaku. Padahal di luar sana, orang-orang besar yang telah matang, merasa tersiksa dengan kekurangan di dirinya. Ada yang sampai menangis. Semoga kau menangis untuk kekuranganmu sendiri, kawan.
Selamat berjuang. Aku hanya ingin mengikuti dan mendengar bagaimana kau berjuang. Kalah dan menang hanya hasil yang mesti diakui secara jantan. Bukan menutupi kegagalan dengan serangkaian argumen yang berhasil dipelajari di bangku kuliah dan buku-buku marxis.

Citra D. Vresti Trisna
29 Februari 2012

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan ini terlampau mengkultuskan individu bernama Sang Ernesto ini.

Sang Ernesto didaulat, dikultuskan menjadi dewa yang nyaris tanpa cacat, minimal tanpa cacat untuk menjadi senjata gempur untuk merobohkan Sang Seseorang di tulisan ini yang terlanjur dijadikan 'negasi' terhadap Sang Aku, alias Si Penulis.

Sang Aku butuh Ernesto untuk menjadi senjatanya. Sang Aku butuh sosok Besar.

Ah, Ernesto, lagi-lagi, dan seperti kebanyakan tulisan dimanapun, kau di sini jadi Dewa lagi..

Ah, Ernesto, Marcos memang tahu benar hal ini:

"Kalau kau mengumbar dirimu sendiri, wajahmu, kehidupan pribadimu, kata-katamu, romantismemu, dan semua ke-AKU-anmu, orang-orang akan mulai menjadikamu Dewa dan lupa akan apa yang kau perjuangkan."

Ah, Ernesto, mungkin saja kini kau menyesal karena karena kau dulu lupa menutupi wajahmu dengan cadar.

Anonim mengatakan...

mas pakde, menurutku tak ada orang yang bakal mati perawan: hidup tanpa mengidolakan sesuatu. Seperti yang pakde bilang dulu: uang, heroisme, vagina, kecerdasan intelektual dll. buat mas di atas, mungkin pendewaan itu salah, tapi kalau untuk menyadarkan betapa bopeng muka kemanusiaan dan narisme perjuangan dan pilihan arah gerak, aku pikir itu menarik juga. dan mungkin di kuburan, ernesto bisa memaafkan.

mungkin ernesto sendiri sudah terlanjur dikenang. maka sudahlah.
kalau sekarang bagi anak-anak belum dewasa yang mau berjuang, mesti pakai cadar agar terhindar dari pamrih.

pakde buatin blog donk. masih inget aku. ini fajar. kapan main ke banyumas lagi? kopine siap.

Anonim mengatakan...

Tak ada yang salah dengan Ernesto, yang salah adalah betapa tulisan ini mengkebiri aspek hidupnya untuk sekedar jadi pahlawan romantis yang sentimentil supaya sesuai dengan agenda narasi tulisan Sang Aku ini.

Ya, Narasi Pledoi bahwa Sang Aku punya hak untuk jadi Hipokrit.

"mungkin pendewaan itu salah, tapi kalau untuk menyadarkan betapa bopeng muka kemanusiaan dan narisme perjuangan dan pilihan arah gerak, aku pikir itu menarik juga," ucap Fajar.

Ah, tapi dimanakah dalam tulisan ini Ernesto digunakan sebagai kritik terhadap rusaknya muka kemanusiaan dan apalagi kritik terhadap narsisme?

Bukankah dengan mengeksploitasi sisi kepribadian dan kehidupan personal Ernesto, alih-alih apa yang diperjuangkannya, tulisan ini justru melandaskan dirinya di atas Narsisme personal, Ke-AKU-an, dan lebih-lebih Heroisme.

Ibarat mencapkan Foto Ernesto dalm T-Shirt T-shirt, lalu menjulukinya "PAHLAWAN ROMANTIS SENTIMENTIL" dan memisahkannya dari Kuba, dari Bolivia, dari Amerika Latin.

Seharunya, mudah saja melihat kenarsisan personal tulisan ini.

Fajar lalu buru-buru melempar klaim yang sungguh tendensius, "...kalau sekarang bagi anak-anak belum dewasa yang mau berjuang, mesti pakai cadar agar terhindar dari pamrih."

Ah, bagaimana bisa "memakai cadar supaya terhindar dari pamrih" berkorelasi langsung dengan "anak-anak yang belum dewasa".

Ah, benar-benar gegabah kesimpulan ini. Tampaknya Fajar harus mau menyempatkan waktunya untuk berkunjung atau membaca tentang perjuangan Masyarakat Pribumi Chiapas, di Meksiko, yang berjuang dengan cadar menutupi mukanya karena mereka ingin yang diingat adalah ide dan gagasan dan semangat perjuangannya, BUKAN PEJUANG ATAU MANUSIANYA.

Ah, kalau kelak kau membaca soal perjuangan di Chiapas ini dan melihat wajah-wajah pejuang pribumi di sana, Fajar, kuharap lain waktu kau harus malu untuk membuat kesimpulan gegabah semacam "kalau sekarang bagi anak-anak belum dewasa yang mau berjuang, mesti pakai cadar agar terhindar dari pamrih".





NB: Mungkin Ernesto bukanlah Idola sang Aku. Karena toh pada akhir tulisan, Sang Aku berkata bahwa "Aku hanya ingin mengikuti dan mendengar bagaimana kau berjuang."

Ernesto, seperti yang saya katakan di sini, dijadikan kultus untuk jadi pondasi utama tulisan ini. Tidak lebih.

Malahan, dari cara Sang Aku mendaulat Ernesto jadi kultus untuk membenarkan posisi Ke-Aku-annya, ada kesimpulan baru yang muncul: bahwa Idola Sang Aku yang sesungguhnya adalah DIRINYA SENDIRI.

Anonim mengatakan...

Lha, mas anonim, baru tahu po? Cen penulis blog ini narsis kok.. Hahahaha. Peace.


Ayoex.

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

woey, makasih sudah sudi mampir dan meninggalkan banyak kesan. hehehehe

Anonim 1: makasih sudah rajin datang. baca-baca dan berkomentar. senang rasanya.

Fajar : ada satu pola memaafkan yang paling arif dalam hidup. silahkan dipakai. hehehehe

ayoex: hehehe,

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.