Laman

Jumat, 24 Februari 2012

# Tai Kucing

Semacam Catatan:
Kesalahan dan Penjara

   Menurutmu, apa yang menarik dari hidup kalau bukan hidup itu sendiri? Berjalan sendirian di tengah malam sampai menjelang pagi. Duduk di antara pesawahan, atau di bawah terang lampu dimana pagimu benar-benar sepi. Mengingat-ingat kembali orang-orang yang pernah kau sakiti, seperti: ayah, ibu, perempuan atau lelaki yang pernah mengisi hidupmu dan mungkin juga sahabatmu. Saat itu, terkadang tak kau temukan penyesalan yang bisa dibahasaan lewat kata hati yang berpacu dengan detak jantung. Hanya ada dua kepastian: pertama semua tak mungkin kembali dan mengikhlaskannya menjadi sejarah untuk dibuka kapan pun kau suka; saat kau butuh untuk menyesali semuanya. Kedua, hidup haruslah ditempuh dengan berani dan sebuah janji bila tak akan mengulang kesalahan yang sama dikemudian hari.

   Malam ini kutemukan sisi labil dalam diriku, dimana aku masih terlalu sentimentil dengan masa silam. Sesuatu yang telah membentuk diriku kini. Melekat erat dalam jiwaku sekaligus menggenapiku sebagai seorang manusia yang utuh.
   Bukankah manusia seperti sebuah bangunan tak selesai. Ada-ada saja yang mungkin bisa kau lakukan dengan dirimu. Menuntaskan segala hal yang kau anggap tak tuntas. Juga kesadaran bila bangunan tidak selalu tersusun atas kebaikan; rumus pasti dan harapan-harapan tentang hidup yang lebih baik. Tapi apa bisa selalu seperti itu?
   Kadangkala sebuah bangunan juga tersusun dengan kesalahan-kesalahan yang menggenapkan hipotesa yang diam-diam orang percaya: kebenaran membuat sesuatu akan “bertahan” dan kesalahan yang kemudian merobohkannya. Bagiku, Tuhan tak perlu dipaksa menjelaskan kekekalan dirinya, karena semua telah dijawab dengan banyak ketidakberdayaan yang  membuat kita lebih dekat dengan “Tuhan”; menghormati kemungkinan-kemungkinan yang mungkin datang seperti air pasang yang membawa sesuatu yang tak bisa kita duga. Hanya diam-diam kita bisa menjalaninya dengan segala yang telah dibawa air pasang kepada kita.
*
   Di suatu senja, ketika aku masih mengamen di Bungurasih, aku pernah berujar pada seorang kawan: “Penjara bukan sesuatu yang jauh bagi orang bebas. Penjara bukan sesuatu yang jauh bagi orang jahat; juga orang baik. Dan orang baik justru memiliki banyak kesempatan untuk pergi ke sana.” Hanya soal waktu sebelum tembok penjara membelenggu kita dengan rutinitas, membelenggu dengan temboknya yang seakan tak pernah menipis oleh air mata penghuninya. Kalau nasib baik tak berhasil mengurungmu di penjara, maka hidup yang akan membelenggumu seperti monyet tua dalam kerangkeng.
   Seperti sebuah garis-garis tangan yang (semoga benar) menggambarkan kehidupan seseorang mulai dari hal yang paling kecil sampai yang paling besar. Juga penjara. Terkadang ia tergambar di tanganmu. Tak ada orang tanggung (tidak baik atau jahat) yang bisa berurusan dengan penjara kecuali sedang sial, atau Tuhan sedang muak atasnya.
   Jauh setelah pembicaraan itu. Sekarang aku menulis di sini. Membusuk dalam supermarket ilmu pengetahuan yang mengalengkanku bak sarden. Mitos intelektual dan kemapanan hidup di kemudian hari membuat penghuninya rela untuk sekedar menjilat demi IP yang tinggi. Faturahman (saridin), seorang kawan yang kini entah dimana, juga mengatakan hal yang sama tentang ‘kampus sebagai penjara’. Seperti penjara pada umumnya. Ia ada dan nyata bagi orang yang membuka mata. Ia mitos bagi mereka yang mendambakan masa depan cerah dan keberhasilan hidup yang telah dipropagandakan motivator-motivator tengik: pengkotbah kelas kakap yang membual agar bisa liburan di Singapura.
   Di sekitar supermarket Trunojoyo ini, banyak orang memandang sinis ke arahku dan mengata-ngataiku dekaden. Taik kucing! Aku tak perduli dengan itu semua. Tapi mereka boleh memakiku dan aku tak marah dengan itu semua. Karena nyatanya aku tak berusaha kabur dari penjara ini, supermarket ilmu pengetahuan yang memjajarku bak ikan asin yang menanti melacurkan diri pada jaring-jaring kapitalis.
   Kadang aku bertanya: “bukankah di Indonesia banyak napi-napi (baca: mahasiswa) cerdas? Tapi mengapa mereka tidak memilih untuk kabur?”
   “Korban motivator.” Jawab kesunyian. Cih.

Citra D. Vresti Trisna
Supermarket, 2012

1 komentar:

CARA GAMPANG mengatakan...

Wah-wah ungkapan yang bermakna dalam, salam kenal dan jumpa persahabatan

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.