Laman

Kamis, 13 September 2012

PNS (Pegawai Negeri Semprul)



Tidak untuk PNS dan yang bercita-cita jadi PNS

Mungkin keresahan ibu-ibu para generasi muda di Indonesia, di tengah ketidakpastian hidup di negeri ini bisa terhapus ketika anaknya bisa menyandang status PNS. Ketika seragam coklat nanggung telah dipakai anaknya berdinas, segala kekawatiran orang tua akan terobati. Beragam hal baru yang kemudian dipikirkan sang ibu kepada anaknya: anakku pasti bisa bertahan ditengah ketidakpastian dengan gaji tetap dan pensiunnya; anakku pasti mendapat jodoh yang pantas di tengah mewabah gejala kedunyan alias matrealistisnya ibu meretua.
Anakku sudah pantas dan siap untuk menggenggam dunia ini, pikirnya. 
Karena cinta segalanya jadi irrasional. Karena cinta orang tua terjebak matahari palsu dan lupa diri. Merasa menemukan tempat teduh untuk berlindung, padahal sejatinya mereka tidak berada dimana-mana, kecuali berada di bibir pemangsa. Saya tidak ingin bilang bila para orang tua generasi muda, termasuk orang tuamu dan orang tua saya, berkiblat pada matahari palsu “kemapanan”. Saya hanya ingin sedikit ngerasani (menggunjing) soal kesadaran, soal rasionalitas dan matahari palsu jaman. Dan yang terakhir, saya tidak bermaksud menyeret anda dalam kehidupan saya yang suram.
Saya ingat pada waktu kecil, niat saya untuk sekolah adalah bukan untuk pintar, tapi saya ingin seperti kawan-kawan yang sudah bersekolah. Seiring waktu berjalan, saya jadi tau, saya harus sekolah untuk memenuhi sebuah tuntutan jaman. Saya harus sekolah karena tuntutan dan cinta kasih orang tua saya yang tak ingin hidup saya kelak jadi terlunta-lunta. Saya harus mengantongi ijasah agar kelak hidup mapan. Menjadi PNS, atau paling buruk, menjadi pengisi kekosongan buruh-buruh pabrik.
Dalam perjalanan saya bersekolah, dari TK, hingga tersesat ke kampus ikan asin (Trunojoyo: bukan nama sebenarnya). Saya mengenal istilah kesadaran nurani. Saya mendapat kembang kertas dan basa-basi istilah: hidup itu tidak boleh untuk sekedar memikirkan diri sendiri. Saya mengenal jahatnya KKN dari guru yang menyampaikan dengan setengah hati. Setelah dipandang cukup umur untuk bekerja, orang tua mulai gelisah untuk mencarikan kerabat yang punya koneksi di perusahaan anu, perusahaan ini, itu, agar setelah lulus tidak begitu kesulitan mencari kerja.
Begitu dalam cinta kasih orang tua. Menyekolahkan kita tinggi-tinggi untuk membuat kita percaya pada sesuatu. Tapi, setelah hampir percaya kebenaran dan hati nurani, tiba-tiba orang tua jadi hilang kendali. Mereka meruntuhkan segala yang kita percaya dengan serangkaian argumen yang menghardik untuk berpikir realistis di jaman sekarang. Kita harus menempuh kemapanan apapun caranya. Kita dipaksa berkompromi dengan keadaan agar bisa survive dalam perjalan hidup. Meskipun, di jaman sekarang, survive itu beda tipis dengan bunglon.
Saya tidak bermaksud menyalahkan para orang tua. Hal ini sudah masuk dalam rumus hidup dari kesadaran kolektif. Saya ingat sebuah statemen dari Pram tentang watak bangsa ini “...bangsa ini mempunyai watak selalu mencari-cari kesamaan, keselarasan, melupakan perbedaan untuk menghindari bentrokan sosial. Dia tunduk dan taat pada ini, sampai kadang tak ada batasnya. Akhirnya dalam perkembangannya yang sering, ia terjatuh pada satu kompromi ke kompromi lain dan kehilangan prinsip-prinsip. Ia lebih suka penyelarasan dari pada cekcok urusan prinsip.”
Dari sini kita mesti berkaca soal kehancuran sikap beserta kemerosotannya sebagai sesuatu yang sudah diramalkan. Gejala dekadensi moral dan keruntuhan filsafat dan kepercayaan kita akan prinsip telah terbaca dengan gamblang dengan pola hidup manusia di jaman modern. Dan kebutaan karena cinta tidak bisa kita persalahkan sepenuhnya. Dalam hal ini, kita seharusnya bisa bijaksana menghadapi keadaan ini. Mungkin kebijaksanaan itu bisa berarti ikut arus, terus melawan arus, atau justru kita bikin sungai sendiri. Melawan ketidakpastian dengan menciptakan sungai sendiri, sehingga kita yang menentukan arus, adalah sebaik-baik kemungkinan. Tapi, sekarang bagaimana kita mesti membuat sungai kita sendiri agar sebisa mungkin kita tidak terjebak untuk terlena akan matahari palsu?
Saya selalu berusaha menampik cerita-cerita macam Don Quixote karya Cervantes. Cerita tentang seseorang yang menjadi tamsil; hidup dalam matahari palsu imaji. Tapi bisakah kita paham apa itu imaji di jaman saat saat seperti ini. Tapi kita tidak lantas mengamini sikap masokistis tokoh Alexander Supertramp (Christoper Jhonson Mcandless) dalam film Into The Wild, “uang adalah ilusi.” Anda bersikap masokis diperlukan, tapi tidak perlu sejauh itu, bukan? Masokis memang perlu bagi mereka yang ingin menguji ketahanan dirinya sampai pada titik paling ekstrim. Tapi bila kita hendak mengatakan bila hidup adalah masokis itu sendiri, kita bodoh, dekaden.
Kesadaran nurani harus kita letakkan pada tempat dan saat yang tepat agar kita masih tetap pantas disebut manusia. Pengingkaran terhadapnya akan menjadikan kita kembali pada puak-puak yang degil. Pada kubangan bau tengik comberan. Namun rasanya begitu berat dan tak sampai hati bila kita ingin berkata “Pak, bu, kalau untuk sekedar hidup, aku tak ingin melonte pada jaman. Mengembik pada penghisapan. Mengabdi pada jahanamnya tittel yang membuat kita pada akhirnya tunduk dan terpisah dari kesadaran nurani.” Sudah pasti lebam hati mereka, menitik air mata mereka.
Memang untuk menjadi sedikit benar dan mampu memaknai hidup sangat tidak mudah, sekalipun hidup itu begitu sederhana. Sesederhana menyerahkan diri pada kebahagiaan orang tua: lulus cepat, mengantre mendaftar PNS, dan kemudian sebagai mantan intelektual kita sepantasnya bicara soal kapitalisme sambil sesekali membalas BBM dari rekan sekerja.
Jaman sekarang, siapa yang tidak butuh pasangan hidup? Meskipun IMSI (Ikatan Meretua Seluruh Indonesia)* sangat-sangat realistis (baca: materialistis). Yang kalau bisa urusan cinta sebaiknya diletakkan di nomor tiga ratus tujuh puluh delapan. Asal bisa menjamin susu anak, liburan meretua, beli rumah dan pensiun, maka: silahkan bawa anak saya asal jangan dipukuli.
Mungkin dengan cerita Don Quixote, Cerventes ingin menertawai dirinya sendiri. Ia hendak menyindir hidup manusia yang tak luput dari tamsil matahari palsu, sekaligus menertawai dirinya sendiri. Begitu naasnya hidup bagi mereka yang sadar apa itu benar salah. Meskipun tak ada yang mutlak benar, paling tidak hidupnya kesadaran nurani dalam diri seseorang akan menjadi racun yang memakan dari dalam bila dadanya tak kuat mentolelir jaman.
Bila anda ingin hidup dengan “wajar”, tak semestinya membaca tulisan ini. Saya sedang kurang waras, tak baik ditanggapi serius.

13 September 2012
Citra D. Vresti Trisna

Catatan:  
* hanya karangan saya sendiri; mengada-ada; tidak benar; ngawur.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

like this...

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.