Laman

Kamis, 13 September 2012

Saya Ini “Pelacur” Yang Bikin Merangsang



Tiba-tiba saya ingat tentang dua istilah pelacuran: pelacuran rasional dan pelacur keadaan. Pelacuran rasional, salah satu jenisnya biasa kita sebut sebagai “ayam kampus”. Pelacuran yang berangkat dari kesadaran diri untuk melakoni hidupnya sebagai penjaja cinta. Tak peduli baik atau buruk, yang jelas dia punya satu motivasi dalam hidup untuk melakukan sesuatu. Dia melayani karena rasa sadar dan keinginannya sendiri; tanpa paksaan. Dan saya menghargai itu.

Lalu saya teringat pada ramainya toko-toko, tahun ajaran baru, ospek, dan ramainya kampus yang tidak begitu saya cintai. Sebut saja Trunojoyo (bukan nama sebenarnya). Kemarin pagi, saya melihat sekumpulan massa, berjubel dalam kelompok dan memakai aksesori aneh. Ah, seburuk itu kah wajah dunia mahasiswa? Harus rela menjadi badut-badut hidup yang diperintah untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Apa motivasi mereka mau melakukan itu? Padahal, di kampus-kampus lain, hal semacam itu menjadi olok-olok tidak mendidik.


Menurut Abraham Maslow, dalam teori motivasi: bahwa pada dasarnya setiap manusia punya kebutuhan pokok. Dari lima hal dalam kebutuhan manusia, yang paling pokok adalah “aktualisasi diri”, atau kebutuhan untuk unjuk gigi; tampil. Tapi, apa mereka menghendaki diri dan butuh tampil menjadi badut-badut hidup yang berdandan aneh? Andai mereka terpaksa, mengapa tidak bertanya, atau yang paling ekstrim: “melawan”? Jangankan melawan, bertanya saja tidak: “mengapa saya harus seperti ini, seperti itu. Bukankah mahasiswa dimitoskan sebagai garda terdepan yang memperjuangkan nasib rakyat. Lalu bagaimana mereka akan memperjuangkan nasib rakyat, bila memperjuangkan nasibnya sendiri saja tidak mampu. Sudahlah, hal ini memang cerita lama yang terus berdengung dan berulang. Saya bosan mengulang cerita ini karena mental manusia sekarang lebih memilih cari selamat.

Tapi, percayalah, saya tidak berminat membicarakan masalah rakyat, perjuangan, revolusi dll. Karena saya percaya bahwa tidak ada perjuangan yang paling tulus kecuali memperjuangkan nasib diri sendiri, keluarga, dan golongan. Selebihnya hanya topeng palsu bau tengik. Yang ingin saya bicarakan adalah kebutuhan seseorang agar bisa menjadi manusia yang lengkap, yang “berkehendak”, bukan “dikehendaki”. Seseorang harus bisa bertindak dan berpikir merdeka. Itu bila tidak ingin disebut sebagai keledai.

Boleh jadi kampung bernama Indonesia telah jengah menampung orang-orang yang tidak berkehendak dan melakukan sesuatu tanpa motivasi yang jelas membawa dampak pada nasib bangsa. Berulangnya hal ini dari tahun ke tahun membuat hipotesis saya tentang nasib bangsa, meminjam istilah Cak Nun, sebagai babu di kampungnya sendiri kian jelas. Lalu ujungnya kemiskinan ada di mana-mana, dan sebagai ending yang manis: pembantaian etnis cina pada tahun 98. Hal ini adalah efek domino dari sistem pendidikan, dan pengenalan kampus (ospek) yang menjadikan seseorang sebagai murad (dikehendaki) ketimbang menjadi seorang murid (berkehendak), budaya dendam. Meskipun ini hanya sebagian kecil faktor yang melatarbelakangi. Tapi, kita tidak perlu bicara yang jauh-jauh, bukan? Hal-hal di dekat kita saja kita tidak peka, mengapa harus jauh-jauh. Tidak penting.

Tapi, saya percaya bila hidup adalah pertarungan melawan apa saja: kebodohan, perbudakan, dan segala taik kucing yang membuat kita tak kunjung merdeka. Dan memang tidak ada cara lain selain melawan dengan cara paling keras. Sebab, hidup mengajari kita bertahan dengan cara membunuh antara satu dengan yang lainnya. Lalu mengapa pada masa sekarang, masih saja ada orang tidak sadar akan bahaya yang menimpa dirinya sendiri: bahaya pembodohan.

Kalau boleh berbaik sangka dengan peristiwa ospek di kampus ikan asin, mungkin sekumpulan panitia yang memakai almamater menantikan bentuk cinta kemanusiaan dengan kalian datang beramai-ramai dengan maksud bertanya: “oh kakakku yang baik, apa maksud dari kakak-kakak untuk membuat kami jadi topeng monyet macam ini?”. Tapi, nampaknya tidak satu pun dari peserta ospek yang mencintai kakak seniornya.

Sudah dua hari ini masa jahiliyah berjalan. Akan ada masa dua hari jahiliyah lainnya yang menanti, dan menjadikan kita badut-badut hidup yang terus dikehendaki melucu. Bukankah masa peralihan adalah momen penting untuk mengaktualisasikan diri. Masa peralihan dari SMA ke perguruan tinggi tidak datang dua kali. Mestinya kita memberi warna pada masa yang sebentar itu sebelum pada akhirnya diantara kita sibuk dengan hidup kita masing-masing karena kesibukan kuliah dan melupakan segalanya. Memang urusan orang lain tak perlu seberapa dipikirkan. Yang terpenting, bisa jadi penjilat di kelas, IP tinggi, punya banyak link, dan bekerja dengan layak. Ya, semoga cepat mati!

Saya tidak bermaksud memusuhi siapapun. Saya hanya sedang kesal dengan diri saya sendiri. Kesal karena harus hidup di lingkungan yang berbau tengik. Bahkan, keluarga menyarankan agar kita bisa cepat lulus, kerja yang layak, kaya, menikah. Soal ada tetangga kita lapar, tidak usah dipikirkan benar.

Hidup manusia memang benar-benar membosankan. Kalau ada yang bilang bila hal yang paling membosankan dalam hidup adalah menunggu. Mungkin itu salah.  Hidup membosankan adalah hidup lurus, menjadi kaya dengan mudah, tidak merokok, terus belajar tak kenal waktu dan menekuri diktat-diktat kuliah dari dosen yang hidupnya kering. Tak ada waktu minum kopi, tak ada waktu melakukan perjalanan jauh yang bukan sebagai turis, tapi sebagai manusia yang mencatat, mendengar, melihat dan merasakan langsung tentang arti hidup. Belajar memahami mengapa setiap orang mesti berlalu-lalang di jalanan? Mengapa kaum-kaum papa harus berpeluh di jalanan demi uang receh? Apa yang ada di pikiran mereka?  Apa motivasi mereka? Siapa yang mereka perjuangkan? Atau sesekali berangkat ke pelacuran untuk melihat betapa taik kucingnya hidup sebagai seorang mahasiswa, betapa pembual pemerintah negeri ini, betapa kita (sebagai mahasiswa) tak sedikit pun lebih baik dari para pelacur di rel-rel kereta.

Kalau ada yang tidak terima, kemarilah. Biar saya memberitahu betapa pelacurnya mahasiswa. Hidup untuk menunggu dan bersolek secantik mungkin agar nampak menarik di depan pemodal-pemodal perusahaan dan bisa sedikit membuat mereka bernafsu. Bukankah kampus selalu menyediakan apa saja kebutuhan dari pemodal dan pabrik-pabrik. Setelah kita lulus, kita menjajakan diri pada mereka. Tapi, anda semua tidak perlu kawatir. Lagi-lagi saya bicara pada diri saya sendiri. Karena, sayalah yang pelacur. Sayalah yang binal karena berani bicara macam ini kepada badut-badut penerus bangsa. Maaf, ralat. Maksud saya generasi penerus bangsa. Karena saya percaya bahwa anda semua tidak gila. Waras. Dan sayalah yang gila.

Ah, sudahlah, bicara apa saya ini. Biarlah, setidaknya saya adalah pelacur rasional. Saya melacur karena ingin melacur, dengan motivasi yang jelas. Mungkin sebagai Hetaerae (pelacur kelas atas; pelacur kuil).  Tapi, yang jelas saya bukan sebagai pelacur keadaan: yang menjadi pelacur dengan terpaksa.

Tambal Ban, 29 Agustus 2012
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.