Laman

Rabu, 12 Desember 2012

Rokok


Saya tak mau mati dengan barang sekecil ini (rokok), tapi saya enggan bila harus berhenti membelinya. Bagi saya, rokok adalah keseimbangan yang membuat seorang manusia memenuhi kodratnya untuk ‘menyamping’; untuk sawang-sinawang.

Saya sungkan kepada Tuhan bila tidak merokok. Pasalnya Ia sudah terlanjur membuatnya, dan kupikir tidak mungkin Tuhan membuatnya tanpa maksud yang jelas. Buktinya karena tembakau, Surya Wonowidjojo bisa punya duit sampai US$ 10 milyar. Hal ini membuktikan keseriusan Tuhan dalam memberikan manfaat bagi Wonowidjojo. Tuhan juga sangat serius memberikan kehidupan bagi para petani tembakau di Madura, pengusaha pupuk, makelar di pasar-pasar, tengkulak, buruh linting, supir truk-truk besar yang mendistribusikan, agen-agen besar, pengecer rokok warung kopi, juga saya sendiri.

Saya senang berbaik sangka dengan ciptaan Tuhan, terutama tembakau. Hanya saja pihak kedokteran di seluruh dunia dan dinkes selalu membuat saya gerah lantaran menghalangi kekhusukan saya berbaik sangka. Iklan anti rokok dibiayai dengan wah, tanpa berpikir dampak jangka panjangnya. Harusnya, kalau pakai akal sehat, mestinya senang kalau banyak orang terjebak dalam lubang racun nikotin. Rumah sakit jadi laku kalau banyak orang memeriksakan paru-parunya dan ilmu si dokter selama kuliah bisa berguna, jadi duit, sukur-sukur bisa (naudzubilah) mal praktek. Bukannya rumah sakit adalah bisnis orang sakit?


Sakit adalah misteri yang sampai sekarang tidak bisa dipecahkan oleh akal manusia yang macet. Orang pergi ke rumah sakit, kan, macam-macam maunya. Tidak semua orang yang sakit itu benar-benar ingin sembuh. Ada juga orang frustasi yang karena sumpek, ia ingin mati, tapi takut gantung diri, jadi dia merokok, biar matinya wajar dan lolos dari kilat ekspres ke neraka. Ada juga orang yang merokok karena ingin dekat dan pasrah pada Tuhan. “Mati, ya mati; pasrah.”

Bukannya mati itu bukan perkara ia perokok atau tidak. Ada orang yang merokok, sakit paru-paru terus mati. Ada yang merokok sehari bisa sampai empat bungkus tapi tidak kunjung mati. Ada pula orang yang tidak pernah merokok, hidup sehat, makan empat sehat lima sempurna, olah raga setiap pagi dan tiba-tiba mati, atau ketabrak truk sampah. Bisa saja, bukan? Tidak ada kaitan antara mati dan rokok. Hanya manusia modern yang dangkal saja yang setengah mati menghubung-hubungkannya. Bukankah mati itu urusan kontrak hidup seseorang dengan Tuhan? Jadi mengapa ilmu manusia yang tidak seberapa harus setengah mati jengkel dengan rokok?

MUI juga punya sumbangsih cukup lumayan dalam ibadah merokok saya. Fatwa haram merokok juga dikeluarkan hanya karena rokok dianggap merugikan, mengganggu orang lain, dan merusak kesehatan. Sebelumnya rokok dianggap makruh oleh banyak orang. Padahal hukum itu selalu bergantung pada konteks-konteks. Apalagi hukum Islam, yang sudah semestinya dibedakan dengan hukum negara yang selalu gagal mengatasi kemungkinan persoalan-persoalan yang ada.

Kalau merokok dari duit korupsi, rokonya nyolong di warung, maka boleh kita sebut haram. Kalau intelektual Islam yang overdosis menafsirkan rokok itu haram, maka saya pun bisa mengeluarkan fatwa merokok itu sunnah. Hukum adalah hasil pengolahan tafsiran yang berangkat dari teks, yang kemudian dihitung untung dan ruginya. Kalau pada akhirnya yang rugi hanya saya sendiri, perekonomian saya, itu tidak masalah. Kalau kemudian karena saya tidak merokok, dan diikuti oleh seluruh umat muslim yang takut masuk neraka karena fatwa haram, dan perekonomian orang-orang kecil yang ada dalam lingkaran dan dunia rokok, itu keblinger namanya. Saya menghargai MUI dengan fatwanya, dan saya mohon MUI tidak mengurusi fatwa saya pribadi, yang merokok karena kesadaran mengorbankan diri saya bagi kepentingan orang banyak. Maka merokok bagi saya adalah sunnah. Titik.

cdvt
Bersambung…



2 komentar:

Anonim mengatakan...

mas mas.. anda tau mengapa merokok haram?
karena rokok membuat para bapak2 uangnya berkurang untuk memandaikan anaknya. mungkin bukan anda, tapi percayalah kalau itu sebagian besar.

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Terimakasih komentarnya :)
oya, anak kita kan cuma satu, dua, tiga, empat,
kalau rokok diharamkan, berapa banyak anak bangsa dari putra putri orang-orang yang bergelut di dunia rokok. terutama buruh kecil. kalo kita masih kurang itu mending, bodo dikit gpp lah. kalau seluruh anak buruh pabrik rokok yang bodoh gara2 gak sekolah lantaran pabrik rokok gak buka, itu satu milyar lebih gawat

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.