Laman

Rabu, 19 Desember 2012

Gie


Gie, kesepian adalah membunuh waktu bersama pengap dan berkawan rindu yang entah harus dialamatkan pada siapa.

Terimakasih, Gie. Untuk keberanianmu melawan; pemikiran yang kau luapkan lewat tulisan-tulisanmu. Karena dengan itu kau tetap hidup hingga kini. Hidup dalam pikiran dan diamini oleh mereka yang mengaku “berjuang”. Dijadikan pemanis retorika dan dikutip oleh siapa saja yang kebetulan ingin dianggap berani dan pintar. Dan kau sudah jadi semacam pasword bagi mereka yang ingin tampil.
*
Aku kenal kau lewat buku-buku yang membual soal revolusi. Buku-buku itu menggambarkan kau bak pendekar yang tak mundur meski ditodong moncong bedil. Meski kau membantahnya dengan cara mati sunyi dalam rindu di puncak tertinggi pulau Jawa:  Semeru. Karena aku adalah bocah labil yang mudah penasaran, maka aku mencari-cari tulisanmu dan mencoba mengenal siapa kau sebenarnya. Kira-kira seperti itu aku mengenalmu dulu. Meski kau tak perlu mengenalku, salah satu bagian dari korps hipokrit dari organ yang masih percaya pada perjuangan dan revolusi, namun sangat rajin menjilat.

Gie, aku sedih kau harus mati muda. Meski kau menginginkan itu dan mengikuti sifat masokistik irrasional akutmu. Tapi, ada baiknya Tuhan memeluk mimpi dan inginmu untuk mati. Sebab aku tak perlu melihatmu di podium dalam acara seminar dan menjadi pembicara yang mungkin akan mudah terjebak pada post power sindrome. Dramatisasi dan romantisme perjuangan adalah penyakit paling tengik dari orang tua sekarang yang mudah saja mengembik pada partai. Meski pun tidak semua orang tua seperti itu, tapi kau tetap manusia kan? Kau juga bukan dewa.

Kau yang mengajariku untuk tidak mudah kagum dan percaya pada orang lain. Dan tak salah bila—aku yang terlanjur mengenalmu—tak perlu sering-sering mengingat dan mengaminimu. Kau telah selesai, Gie. Kini giliranku, generasi-generasi hipokrit yang terjangkiti megelomaniak.

Mengingatmu yang dulu galak tapi romantis, aku jadi ingat kawan-kawanku kini. Memikirkan kata-katanya. Kalau tidak salah, kira-kira seperti ini bunyinya: “ketika yang lain tertidur pulas, kita yang sibuk memikirkan jaman.” Pongah sekali kan? Seperti saat-saat terakhir kau hidup, kau masih saja pongah. Tapi seorang pemuda terkadang butuh sedikit overdosis agar tidak labil saat tua. Apa kau overdosis dan terlalu reaksioner dalam urusan jaman, Gie? Apa kau terlalu tegang dan kaku seperti dalam penggambaran Riri Riza?

Sesekali aku pernah bertanya, apa para pengaggummu selalu pongah dalam hidupnya? Aku tau itu bukan pertanyaan bijak. Tapi,  kalau terlalu kesal dengan gengerasi muda jaman sekarang (termasuk diriku sendiri) adalah dosa? Kupikir, Riri Riza juga menyimpan kagum padamu hingga dia membuat film itu. Dan aku menghargai dia yang sudah bersusah payah melakukan sesuatu untuk “mengabadikanmu” lewat apa yang dia bisa. Paling tidak ia telah melakukan sesuatu meski pun gagal membingkai potongan hidupmu. Lalu bagaimana dengan pengagummu yang lain? Tak usah kujawab, bikin senewen...

Kali ini soal kesepian, Gie.

Andai kau bisa memahami dan membahasakan kesepian dengan tepat, mungkin eskapismemu tak akan membuat banyak menyakiti perempuan. Aku selalu menolak untuk percaya bila seorang pemikir itu sekaligus pembual cap tikus dan perayu cap kambing. Apa kau kesepian, Gie? Kesepian yang lahir dari perasaan suwung lantaran gelisah sendiri di tengah kawan perjuanganmu dulu yang mulai menyerah dan kompromi. Bagiku, kesepian adalah membunuh waktu bersama pengap dan berkawan rindu yang entah harus dialamatkan pada siapa. Andai kamu adalah pembual perempuan yang tangguh, aku sangat bisa memaklumi. Aku sangat-sangat bisa mengerti.  

Gie, yang kusesalkan dari sekian banyak tulisanmu adalah kegagalanmu mewariskan metode yang tepat dalam mengajarkan keberanian untuk generasi facebook dalam melawan arus. Mestinya, mereka yang mengaku resah mesti juga berani dalam mengambil sikap, bukan menggumam. Keberanian adalah keniscayaan bagi mereka yang mengaku resah. Jadi...

Sudahlah, Gie. Baik-baik kau di sana.

Selamat ulang tahun. Selamat pagi.
cdvt

1 komentar:

Fathul Qorib mengatakan...

aku selalu suka dengan tulisanmu mas, tulisan yang real thing seperti ini. yang tentu lebih mudah di tangkap olehku. kadang, aku merasa diusik juga dalam ctatanmu. kadang, aku merasa tertampar, dan itu bagus.
ada kesan bahwa Gie yang selama ini ditampilkan oleh media adalah salah, aku menjadi ingin tahu bagaimana Gie sesungguhnya menurut pembacaan mas citra? karena aku, kurang bisa membaca buku-buku seperti ini. selamat(kan) malam, mas.

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.