![]() |
http://banjarmasin.tribunnews.com/ |
Banjir. Diam-diam
saya “mensyukuri” hal itu sebagai anugrah, lantaran di ingatkan; seperti
apa wajah kita (orang Indonesia).
Kita adalah bangsa yang memiliki rakyat dengan sejuta paradok, dimana membuat orang gila macam saya nggelendem mesam-mesem. Saya bersyukur dilahirkan di kampung Indonesia , dimana banyak hal-hal terjadi di luar nalar. Biar pun banyak media memberitakan seolah-olah ada "sosok", entah individu atau kolektif yang bersalah dalam bencana banjir ini. Tapi, seperti biasa pula masalah yang terjadi selalu berakhir dengan mengambang. Tentu membicarakan media dan objek beritanya tidak lepas dari politik media dan terusterang saya bosan membicarakan itu.
Kita adalah bangsa yang memiliki rakyat dengan sejuta paradok, dimana membuat orang gila macam saya nggelendem mesam-mesem. Saya bersyukur dilahirkan di kampung Indonesia , dimana banyak hal-hal terjadi di luar nalar. Biar pun banyak media memberitakan seolah-olah ada "sosok", entah individu atau kolektif yang bersalah dalam bencana banjir ini. Tapi, seperti biasa pula masalah yang terjadi selalu berakhir dengan mengambang. Tentu membicarakan media dan objek beritanya tidak lepas dari politik media dan terusterang saya bosan membicarakan itu.
Saya tertarik
memperbincangkan banjir dari kacamata AS Laksana. Ia memandang banjir adalah
kesalahan kolektif orang Indoneisia yang tidak mau belajar dari pengalaman. Menariknya,
AS Laksana menganggap “pengalaman adalah guru terbaik” adalah sebuah kekeliruan. Sebab, risiko
hidup di dua musim adalah : kekeringan dan banjir. Mestinya kita yang sudah
berkali-kali mengalami banjir harus bisa belajar dari pengalaman dan sudah ada
jaminan kita tidak lagi kekeringan dan kebanjiran. Aku takjub dengan AS Laksana yang jeli
memandang banjir adalah sebuah paradok yang semestinya tidak perlu terjadi.
Tapi saya tidak
tertarik dengan obrolannya di ruan putih, Jawapos, soal selokan, resapan air,
dll. Saya hanya ingin menyoroti kejeliannya menangkap antitesis
bagi pepatah “pengalaman adalah guru terbaik,” di Indonesia. Ia tau bila
orang-orang Indonesia tidak kunjung
belajar dari pengalaman namun pandai mengutuk. Tapi saya justru curiga bila
banjir yang terjadi memang karena sengaja diciptakan orang-orang kita sendiri
yang selalu merindukan dirinya sengsara (masokis). Rasa-rasanya kalau hidup
orang Indonesia baru enak sedikit, sudah bingung setengah mati kepingin nyari
susah.
Kamu ini gila, jaman sekarang ini siapa yang
ingin menderita, mas bro?
Siapa? Ya,
Raimu itu, cuk! (maaf, saya sedang sensi gara-gara rokok saya tinggal sedikit) Kalau
tidak, mengapa kita tidak kunjung belajar dari pengalaman? Kalau sudah pernah
kebanjiran sekali, ya, mestinya bisa menanggulangi banjir apa pun caranya. Andaikan
pemerintah yang ngelola duit kita sedang ndugal,
tidak serius dalam mengatasi banjir, paling tidak kita merubah pola hidup dari diri sendiri. Misalnya, tidak buang sampah ke sungai,
tidak tinggal di bantaran kali, tidak menebangi daerah puncak untuk vila, dll. Tapi,
nyatanya pola hidup kita juga begini-begini saja. Tidak mau belajar. Kalau sudah
banjir, kita ngeluh, nangis, melow drama, update status. Apa ndak Jancuk itu namanya? Apa dengan
tidak merubah pola hidup hingga kena banjir itu bukan derita yang kita buat
sendiri?
Tapi kan harusnya pemkot selaku pembuat regulasi
mesti serius dalam menangani masalah ini?
Nah itu dia. Jadi
ketika saya bicara Indonesia, itu sudah mencakup rakyatnya, pemerintahnya, baik
pemerintah pusat juga pemkotnya, mahasiswanya, cendekiawan, seniman, tokoh
agama, demitnya, setan-setan yang tinggal di sini. Semuanya rindu dengan
banjir. Kalau kamu anggap persoalan ini adalah tugas pemerintah selaku pemegang
aturan, mestinya mereka serius. Tidak maling dengan kedok proyek
penanganan banjir kota. Mahasiswa juga sama dungunya dengan kerbau, sebagai calon penerus
generasi tua yang bau kuburan, mestinya mereka bisa berpikir lebih maju dan tidak
sok-sok an saja. Juga raimu, yang tidak selalu mempertanyakan apa dan mengapa
tanpa memberi solusi yang jitu. Jadi semua ikut ambil bagian dalam banjir yang
terjadi di Jakarta. Dan harap dicatat bila itu termasuk saya.
Lho-lho sebentar, mas. Kita pakai logika,
siapa yang mau hidup susah ditimpa berbagai kemalangan seperti ini? Semua orang
ingin cari senang, jangan ngawur, mas!
Omongan
macam begini yang aku tunggu dari tadi. Selain akan menjelaskan betapa
paradoknya orang-orang Indonesia. Aku juga ingin ngerasani AS Laksana, penulis novel Bidadari yang mengembara.
Kalau sekarang sudah
terjadi banjir, sampeyan ngeluh dan mempersalahkan sesuatu yang tidak jelas jeluntrungannya. Kan
tadi sudah saya bilang, kalau kita ndak
mau susah, mengapa tak satu pun dari kita merubah pola hidup agar tidak ditimpa
kemalangan? Hal ini juga yang harusnya AS Laksana tau bila ngomong soal apa
pun di sini tidak bisa didekati dengan pepatah-pepatah yang bukan murni dari kita
sendiri. AS Laksana boleh bicara macam itu di luar negeri, tapi tidak di sini. Teori sosial
produk toko kelontong ilmu pengetahuan (baca: kampus) tidak bisa mendekati dan
menggambarkan secara persis bagaimana pola pikir, sikap jiwa, dan keyakinan
yang dianut bangsa kita. Dia bicara demikian sama halnya dengan membuka
kelaminnya sendiri dan dipamerkan ditengah pasar. Seolah-olah kita
adalah orang terbelakang yang tidak tau bagaimana mengelola hidup dengan rasional. Seolah-olah kita ini begitu bodohnya. Dan kupikir, bodoh pula yang ikut-ikut
apa kata dia.
Mengutip kata-kata AS Laksana, “saya jadi berpikir bahwa ‘Pengalaman
adalah guru terbaik’ mungkin adalah pepatah yang keliru. Jika pepatah itu
benar, kita tidak akan pernah kebanjiran tiap tahun. Dalam sejumlah kasus,
pengalaman tidak pernah menjadi guru terbaik. Atau, ia tetap guru terbaik,
tetapi tidak setiap orang adalah murid yang mampu menangkap pelajaran.”
Penilaian AS Laksana benar bila “pengalaman adalah guru terbaik,” adalah konsep yang keliru. Lebih tepatnya itu keliru kalau di terapkan di Indonesia, dengan beragam bukti
yang sudah dia paparkan. Untuk kata-katanya yang berbunyi: “tidak setiap murid adalah murid
yang mampu menangkap pelajaran,” itu salah besar.
Dia salah karena semua orang Indonesia adalah murid yang pintar. Kalau tidak, mana mungkin kerumitan yang terjadi sampai pada batas tak terhingga. Hingga jelaslah bahwa kerumitan di sini bukan lagi diselenggarakan oleh oknum, tapi kolektivitas. Andaikan ada kepentingan multi nasional ikut campur, itu hanya sebuah sandiwara dan drama kecil yang berjudul: "pura-pura "manut." AS Laksana juga tak perlu pamer kebijaksanaan di sini, di tanah bangsa besar yang pernah berjaya di dunia, namun sekarang jadi bangsa yang rendah hati karena membungkus kekuatan dan laku spiritualnya dengan pura-pura sedih menyikapi banjir. Asal kamu tau, kita ini sedang menipu dunia dengan kerendahhatian. Nah, kita juga sedang menipu diri (terutama mahasiswa dan intelektual cap tikus). Ironisnya kita menipu diri dengan pakaian dan baju kebijaksanaan orang lain. Menipu diri dengan ilmu pengetahuan yang sebenarnya cuma kembang kertas. Kalau mereka memang bisa menangani banjir dengan kembang kertas dan ilusi pengetahuan, mengapa banjir tidak kunjung selesai, atau paling tidak bisa sedikit teratasi.
Dia salah karena semua orang Indonesia adalah murid yang pintar. Kalau tidak, mana mungkin kerumitan yang terjadi sampai pada batas tak terhingga. Hingga jelaslah bahwa kerumitan di sini bukan lagi diselenggarakan oleh oknum, tapi kolektivitas. Andaikan ada kepentingan multi nasional ikut campur, itu hanya sebuah sandiwara dan drama kecil yang berjudul: "pura-pura "manut." AS Laksana juga tak perlu pamer kebijaksanaan di sini, di tanah bangsa besar yang pernah berjaya di dunia, namun sekarang jadi bangsa yang rendah hati karena membungkus kekuatan dan laku spiritualnya dengan pura-pura sedih menyikapi banjir. Asal kamu tau, kita ini sedang menipu dunia dengan kerendahhatian. Nah, kita juga sedang menipu diri (terutama mahasiswa dan intelektual cap tikus). Ironisnya kita menipu diri dengan pakaian dan baju kebijaksanaan orang lain. Menipu diri dengan ilmu pengetahuan yang sebenarnya cuma kembang kertas. Kalau mereka memang bisa menangani banjir dengan kembang kertas dan ilusi pengetahuan, mengapa banjir tidak kunjung selesai, atau paling tidak bisa sedikit teratasi.
Bahkan
ada yang coba-coba mencontoh kebijkaksanaan Jepang, budaya kaizen atau apa itu,
saya ndak ngerti. Untuk apa kita
mencontoh bangsa yang baru diterpa tsunami sedikit sudah gembeng, sudah berduka cita sampai seluruh
negeri. Bandingkan dengan kita, bencana model apa pun terjadi, kita masih bisa
joget dangdut. Berkaraoke sambil menggoda purel-purel kampung dengan mulut
bas-bus-bas-bus ngerokok. Warung kopi juga tidak sepi, tuh. Bahkan tempat
hiburan malam di Jakarta yang tidak terendam banjir juga masih sempat buka. Mas, apa
benar kita ini sedang sedih dengan keadaan kita saat ini? Tidak, mas. Salah besar
kalau kamu pakai pola pikir intelektual overdosismu itu.
Untuk tau
seperti apa bangsa kita hanya bisa pakai hati, mas. Kejernihan akan membuat
kita tau betapa agung dan besar bangsa kita. Bukan dengan pepatah sembrono yang
asal-usulnya tidak jelas seperti apa yang dipakai AS Laksana. Bisa terpeleset
kita nanti. Kecele dengan kemegahan
yang kita kira bobrok hanya karena logika kita teracuni oleh data dan angka
statistik. Boleh jadi, karena saking hebatnya bangsa ini, orang-orang pada
sibuk cari susah agar lebih terlatih mentalnya dalam kondisi apa pun. Kalau orang-orang
di luar sana pada sibuk cari selamat dan berupaya agar bencana tak datang, kita
justru membuat bencana itu cepat datang agar jadi lebih matang.
Orang-orang
kita sendiri, termasuk sampeyan juga sebenarnya, itu sangat dekat dengan Tuhan.
Mereka berupaya sebisa mungkin agar Tuhan menghadiahkan bencana karena kita
tau, Tuhan akan semakin mendekat pada kita. Mengusap air mata kita dengan
tangan-Nya sendiri. Bukan lewat IMF, bukan lewat pihak-pihak asing. Kalau pun
bantuan itu datang tanpa diminta, toh, juga tak pernah benar-benar sampai dan
harus nyangkut di kantong beberapa gelintir makelar.
Kalau kita
menganggap ini semua datang dari Tuhan (kalau percaya), tentu Dia tak akan
sembarangan memilih kaum yang mana yang kena bencana. Karena tidak
semua bangsa sanggup menerima bencana yang datang bertubi-tubi seperti yang ada
di Indonesia ini, mas. Akhirnya dipilihlah orang-orang Indonesia yang lebih
kuat batinnya mengelola kesedihan menjadi kekuatan pilih tanding.
Mas, tidak
selalu bencana sejalur dengan kebodohan. Tidak selalu “kemiskinan statistik”
dari logika ekonomi diartikan sebagai kemunduran. Karena bisa berbeda seratus
delapan puluh derajat kalau itu diterapkan di sini. Kalau yang benar-benar
miskin itu, ya, di Nigeria sana. Mereka tak mampu beli rongsokan Jepang dengan
gila-gilaan macam di Indonesia. Mana ada UMR yang barani beli sepeda motor
sampai dua buah, dengan kredit pula. Apa ndak
edan itu namanya? Jadi jangan keburu-buru, mas, dan se-enak dengkul menyimpulkan
Indonesia hanya gara-gara sudah dibaptis pintar oleh kampus. Lha matamu a?
Kok jadi kemana-mana ini, mas bro? Coba
anda pikir lagi, kalau memang kata-kata anda itu benar, mengapa masih terjadi
korban atas musibah banjir ini? Lalu apa artinya kebijaksanaan kita? Nah,
silahkan jawab.
Mas,
mas! Tak pikir goblogmu ini sudah selesai. Sejak kapan mati itu
dihubung-hubungkan dengan kebijaksanaan? Sejak kapan mati dihubungkan dengan bencana?
Mati itu ya urusan Tuhan. Kok anda jadi menghubung-hubungkan sesuatu yang sama
sekali tidak berkaitan. Lha tanpa bencana pun, setiap orang pasti mati. Orang Jepang
yang hidup tertip macam robot, ya, kalau sudah waktunya mati, ya, mati. Tidak usah
nunggu bencana. Kalau sampai bencana banjir ini membawa korban, berarti, ya,
orang itu waktunya mati. Kalau anda masih menggunakan pendekatan teori-teori,
ya, goblog sendiri jadinya. Saya kasih contoh, ya. Menurut medis, seseorang
bisa bertahan hidup tanpa makan itu sampai tujuh hari. Kalau tanpa air, itu cuma
tiga hari. Apa you tidak tau bila ada orang yang ritual bertapa sampai
empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan. Mereka juga masih hidup. Bagaimana
itu?
Bahkan
ada orang yang dipendam di dalam tanah selama empat puluh hari juga masih
hidup. Itu juga lebih aneh lagi. Kalau mau contoh yang dekat-dekat dengan
banjir, dengan air, oke lah. Ada lo, mas, dalam ritual jawa, orang menjalani
ritual dibuang ke sungai deras oleh gurunya hanya untuk melatihnya berpasrah
pada Tuhan, dan mereka ada yang tidak mati. Mereka tidak mencoba berenang, mas.
Mereka juga tidak mencoba untuk menepi, tapi pasrah dengan kehendak Tuhan. Jadi
bisakah kita hubungkan dua premis tadi menjadi satu kesimpulan?
Kampus
mencontoh pembodohan “tidak minum tiga hari berarti mati,” itu karena
sampelnya bukan kita orang-orang Indonesia. Yang dijadikan sampel adalam mereka
bangsa-bangsa yang tubuhnya ringkih dan tak tahan menderita. Mengetahui realitas
seperti itu, dunia kedokteran cuma bisa nyengir kuda, mas. Tapi lagi-lagi orang
kita sangat rendah hati, mas. Meski pun orang-orang kita sudah tau dengan ndagelnya dunia kedokteran sekarang,
orang-orang masih nekat ke rumah sakit. Berani untuk tanggung risiko jadi
korban mall praktek. Itu, ya, karena tadi. Orang-orang kita berhenti untuk main
aman dalam dunia yang sebenarnya penuh dengan keadaan yang tidak aman. Lagi-lagi
kita spekulasi, tidak takut.
Kalau kita
balik, beranikah dokter-dokter itu ke dukun? Ndak berani,
mas. Padahal sama-sama tidak aman lo, ya.
(Manggut-manggut.)
Asu,
ojok mantuk-mantuk tok ae raimu, suu.
Banjir
oh banjir. Cepatlah datang. Tunaikan tugasmu untuk membuat kita jadi lebih
kuat. Lalu pergilah dan sampaikan pada Tuhan bila mesti Ia sendiri yang mengusap air mata
kami. Ampuni dosa kami... Sudahlah jangan kawatirkan sesuatu yang telah kita
kehendaki : p
Januari, 2013
Citra D. Vresti Trisna
3 komentar:
keren...............
hahaha...kowe koyo lagi pms... :D
@munte: ia te, lagi pms ini.
@sofyan: suwun
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.