Aku takut melirik ke belakang karena “kita” (orang
jalanan) sudah bukan lagi menjadi “kita”. Kini “kita” hanya menjadi sekedar:
aku, kau, kalian dan sebungkus permen kenangan yang kita jilati ketika rindu,
ketika aku patah hati. Maafkan.
Kau tentu mengerti bila dunia perkuliahan sangat
melenakan. Buku, kembang kertas peradaban, perempuan, hipokrit, megalomaniak,
revolusi cacing dan romantisme perjuangan. Semua itu adalah cita-cita kita
bersama waktu masih hijau. Tapi hal itu pula lah yang kemudian memisahkan kita
semua. Dosaku pada candu perkuliahan adalah menjadi kelas berbeda dan lupa
bahwa kita semua manusia. Dosa yang terakhir adalah ketika dunia persma yang meninabobokkanku dan mungkin ratusan orang yang tiba-tiba menjadi merasa gagah lantaran telah membaca. Lalu mendongeng soal "Revolusi, buruh, tani, wacana nasional, taik kucing filsafat, dll" hassh
Terus terang aku bingung harus bersedih atau sebaliknya
melihat keadaanku yang seperti sekarang. Seorang mahasiswa kemput setengah
bohemian yang punya cita-cita setinggi atap rumah kos kita dulu: hidup yang
lebih baik dari sebelumnya dan selalu bersyukur dengan apa pun pemberian Tuhan.
Sewaktu aku menyanyi di hadapan kalian dengan gitar
yang dulu kerap kupakai, aku gemetar. Suara serak-keparat khas dulu pun banyak
hilang lantaran aku sudah mulai menye-menye.
Apa aku bayi tua jahanam dengan kepala besar yang merindu menyusu kalian karena
tidak sekeras dulu?
Ah kawan, mengapa
pula matamu menusuk menembusi jantungku seperti ini? Andai kau tau bila aku pun
benci bila hidup harus selalu memilih.
Kalau dulu,
dimata kalian, aku adalah burung yang terbang bebas dan nyalang mencari mangsa,
sekarang aku hanya burung hilang sayapnya dan kedinginan di bawah toko
universitas.
Hari ini kalian mengajariku untuk kembali merasakan “sakit”
yang dulu pernah hidup. Tapi dadaku sakit, napasku sesak, aku tak sanggup
kembali dan menoleh lagi. Ya, ya, aku tak akan melupakan matamu, matamu yang
tajam, Gin, dan kini harus basah lantaran menangisi aku yang sudah tidak lagi berani
dengan arak.
Hari ini, kalian ajari pula bagaimana cambuk sorot matamu
bagi seorang yang lupa membalas budi dari hutang nyawa. Kawan, dengan apa aku
harus membalas?
Kawan, apa kalian kehilangan aku? Apa kalian pernah
merasa memilikiku? Ah andai kalian tau bila aku tak pernah melupakan kenangan
sebagai seorang nokturnal. Menyusun segala liturgi untuk memanggil hujan,
memanggil sunyi yang membakari sampah kekosongan. Membakar tiap sentimentil dan
rasa letih pada nasib. Dan seperti kata Cak Rori: bahwa hati selalu seperti petak-petak
kamar kos yang menyimpan banyak hal yang pernah berarti. Kenangan itu berdiam
dan menunggu kita mengunjunginya.
Maaf, kawan. Bukan karena seorang perempuan seperti kau
menuduh. Tapi lebih karena hidup harus jalan terus. Terus.
Kalau ini sudah bukan lagi rumahku, bolehlah kalau
kalian kuletakkan dalam ruang rahasia di dadaku. Ruangan yang hanya ada “kita”
yang dulu, yang tertawa dengan tinju tangan mengacung-acung menantang hidup dan
matahari.
Belum
Ada Judul
Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah
Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat, masih ingatkah kau?
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati
Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku
Sobat
Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati
Iwan Fals
cdvt
4 komentar:
aku suka ini.
Hidup memang harus jalan terus, terus. Sampai akhirnya hidup itu harus bertemu dengan takdir yang menghidupkan, yang mempertemukan, dan yang mengakhiri. Satu rokokan untuk rasa sakit, karena rupanya kau sudah takut dengan arak. :-)
Cheers!
Terimakasih te
miris
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.