Laman

Senin, 21 Januari 2013

Bencana Banjir Jakarta (lha matamu a?)



http://banjarmasin.tribunnews.com/
Banjir. Diam-diam saya “mensyukuri” hal itu sebagai anugrah, lantaran di ingatkan; seperti apa wajah kita (orang Indonesia). 

Kita adalah bangsa yang memiliki rakyat dengan sejuta paradok, dimana membuat orang gila macam saya nggelendem mesam-mesem. Saya bersyukur dilahirkan di kampung Indonesia , dimana banyak hal-hal terjadi di luar nalar. Biar pun banyak media memberitakan seolah-olah ada "sosok", entah individu atau kolektif yang bersalah dalam bencana banjir ini. Tapi, seperti biasa pula  masalah yang terjadi selalu berakhir dengan mengambang. Tentu membicarakan media dan objek beritanya tidak lepas dari politik media dan terusterang saya bosan membicarakan itu.

Saya tertarik memperbincangkan banjir dari kacamata AS Laksana. Ia memandang banjir adalah kesalahan kolektif orang Indoneisia yang tidak mau belajar dari pengalaman. Menariknya, AS Laksana menganggap “pengalaman adalah guru terbaik” adalah sebuah kekeliruan. Sebab, risiko hidup di dua musim adalah : kekeringan dan banjir. Mestinya kita yang sudah berkali-kali mengalami banjir harus bisa belajar dari pengalaman dan sudah ada jaminan kita tidak lagi kekeringan dan kebanjiran. Aku takjub dengan AS Laksana yang jeli memandang banjir adalah sebuah paradok yang semestinya tidak perlu terjadi.

Tapi saya tidak tertarik dengan obrolannya di ruan putih, Jawapos, soal selokan, resapan air, dll. Saya hanya ingin menyoroti kejeliannya menangkap antitesis bagi pepatah “pengalaman adalah guru terbaik,” di Indonesia. Ia tau bila orang-orang Indonesia  tidak kunjung belajar dari pengalaman  namun pandai  mengutuk. Tapi saya justru curiga bila banjir yang terjadi memang karena sengaja diciptakan orang-orang kita sendiri yang selalu merindukan dirinya sengsara (masokis). Rasa-rasanya kalau hidup orang Indonesia baru enak sedikit, sudah bingung setengah mati kepingin nyari susah.

Kamu ini gila, jaman sekarang ini siapa yang ingin menderita, mas bro?

Siapa? Ya, Raimu itu, cuk! (maaf, saya sedang sensi gara-gara rokok saya tinggal sedikit) Kalau tidak, mengapa kita tidak kunjung belajar dari pengalaman? Kalau sudah pernah kebanjiran sekali, ya, mestinya  bisa menanggulangi banjir apa pun caranya. Andaikan pemerintah yang ngelola duit kita sedang ndugal, tidak serius dalam mengatasi banjir, paling tidak kita merubah pola hidup dari diri sendiri. Misalnya, tidak buang sampah ke sungai, tidak tinggal di bantaran kali, tidak menebangi daerah puncak untuk vila, dll. Tapi, nyatanya pola hidup kita juga begini-begini saja. Tidak mau belajar. Kalau sudah banjir, kita ngeluh, nangis, melow drama, update status. Apa ndak Jancuk itu namanya? Apa dengan tidak merubah pola hidup hingga kena banjir itu bukan derita yang kita buat sendiri?

Tapi kan harusnya pemkot selaku pembuat regulasi mesti serius dalam menangani masalah ini?

Nah itu dia. Jadi ketika saya bicara Indonesia, itu sudah mencakup rakyatnya, pemerintahnya, baik pemerintah pusat juga pemkotnya, mahasiswanya, cendekiawan, seniman, tokoh agama, demitnya, setan-setan yang tinggal di sini. Semuanya rindu dengan banjir. Kalau kamu anggap persoalan ini adalah tugas pemerintah selaku pemegang aturan, mestinya mereka serius. Tidak maling dengan kedok proyek  penanganan banjir kota. Mahasiswa juga sama dungunya dengan kerbau, sebagai calon penerus generasi tua yang bau kuburan, mestinya mereka bisa berpikir lebih maju  dan tidak sok-sok an saja. Juga raimu, yang tidak selalu mempertanyakan apa dan mengapa tanpa memberi solusi yang jitu. Jadi semua ikut ambil bagian dalam banjir yang terjadi di Jakarta. Dan harap dicatat bila itu termasuk saya.

Lho-lho sebentar, mas. Kita pakai logika, siapa yang mau hidup susah ditimpa berbagai kemalangan seperti ini? Semua orang ingin cari senang, jangan ngawur, mas!

Omongan macam begini yang aku tunggu dari tadi. Selain akan menjelaskan betapa paradoknya orang-orang Indonesia. Aku juga ingin ngerasani AS Laksana, penulis novel Bidadari yang mengembara.

Kalau sekarang sudah terjadi banjir, sampeyan ngeluh dan mempersalahkan sesuatu yang tidak jelas jeluntrungannya. Kan tadi sudah saya bilang, kalau kita ndak mau susah, mengapa tak satu pun dari kita merubah pola hidup agar tidak ditimpa kemalangan? Hal ini juga yang harusnya AS Laksana tau bila ngomong soal apa pun di sini tidak bisa didekati dengan pepatah-pepatah yang bukan murni dari kita sendiri. AS Laksana boleh bicara macam itu di luar negeri, tapi tidak di sini. Teori sosial produk toko kelontong ilmu pengetahuan (baca: kampus) tidak bisa mendekati dan menggambarkan secara persis bagaimana pola pikir, sikap jiwa, dan keyakinan yang dianut bangsa kita. Dia bicara demikian sama halnya dengan membuka kelaminnya sendiri dan dipamerkan ditengah pasar. Seolah-olah kita adalah orang terbelakang yang tidak tau bagaimana mengelola hidup dengan rasional. Seolah-olah kita ini begitu bodohnya. Dan kupikir, bodoh pula yang ikut-ikut apa kata dia.

Mengutip kata-kata AS Laksana, “saya jadi berpikir bahwa ‘Pengalaman adalah guru terbaik’ mungkin adalah pepatah yang keliru. Jika pepatah itu benar, kita tidak akan pernah kebanjiran tiap tahun. Dalam sejumlah kasus, pengalaman tidak pernah menjadi guru terbaik. Atau, ia tetap guru terbaik, tetapi tidak setiap orang adalah murid yang mampu menangkap pelajaran.” Penilaian AS Laksana  benar bila “pengalaman adalah guru terbaik,” adalah konsep yang keliru. Lebih tepatnya itu keliru kalau di terapkan  di Indonesia, dengan beragam bukti yang sudah dia paparkan. Untuk kata-katanya yang berbunyi: “tidak setiap murid adalah murid yang mampu menangkap pelajaran,” itu salah besar.

Dia salah karena semua orang Indonesia adalah murid yang pintar. Kalau tidak, mana mungkin kerumitan yang terjadi sampai pada batas tak terhingga. Hingga jelaslah bahwa kerumitan di sini bukan lagi diselenggarakan oleh oknum, tapi kolektivitas. Andaikan ada kepentingan multi nasional ikut campur, itu hanya sebuah sandiwara dan drama kecil yang berjudul: "pura-pura "manut." AS Laksana juga tak perlu pamer kebijaksanaan di sini, di tanah bangsa besar yang pernah berjaya di dunia, namun sekarang jadi bangsa yang rendah hati karena membungkus kekuatan dan laku spiritualnya dengan pura-pura sedih menyikapi banjir. Asal kamu tau, kita ini sedang menipu dunia dengan kerendahhatian. Nah, kita juga sedang menipu diri (terutama mahasiswa dan intelektual cap tikus). Ironisnya kita menipu diri dengan pakaian dan baju kebijaksanaan orang lain. Menipu diri dengan ilmu pengetahuan yang sebenarnya cuma kembang kertas. Kalau mereka memang bisa menangani banjir dengan kembang kertas dan ilusi pengetahuan, mengapa banjir tidak kunjung selesai, atau paling tidak bisa sedikit teratasi.

Bahkan ada yang coba-coba mencontoh kebijkaksanaan Jepang, budaya kaizen atau apa itu, saya ndak ngerti. Untuk apa kita mencontoh bangsa yang baru diterpa tsunami sedikit sudah gembeng, sudah berduka cita sampai seluruh negeri. Bandingkan dengan kita, bencana model apa pun terjadi, kita masih bisa joget dangdut. Berkaraoke sambil menggoda purel-purel kampung dengan mulut bas-bus-bas-bus ngerokok. Warung kopi juga tidak sepi, tuh. Bahkan tempat hiburan malam di Jakarta yang tidak terendam banjir juga masih sempat buka. Mas, apa benar kita ini sedang sedih dengan keadaan kita saat ini? Tidak, mas. Salah besar kalau kamu pakai pola pikir intelektual overdosismu itu.

Untuk tau seperti apa bangsa kita hanya bisa pakai hati, mas. Kejernihan akan membuat kita tau betapa agung dan besar bangsa kita. Bukan dengan pepatah sembrono yang asal-usulnya tidak jelas seperti apa yang dipakai AS Laksana. Bisa terpeleset kita nanti. Kecele dengan kemegahan yang kita kira bobrok hanya karena logika kita teracuni oleh data dan angka statistik. Boleh jadi, karena saking hebatnya bangsa ini, orang-orang pada sibuk cari susah agar lebih terlatih mentalnya dalam kondisi apa pun. Kalau orang-orang di luar sana pada sibuk cari selamat dan berupaya agar bencana tak datang, kita justru membuat bencana itu cepat datang agar jadi lebih matang.

Orang-orang kita sendiri, termasuk sampeyan juga sebenarnya, itu sangat dekat dengan Tuhan. Mereka berupaya sebisa mungkin agar Tuhan menghadiahkan bencana karena kita tau, Tuhan akan semakin mendekat pada kita. Mengusap air mata kita dengan tangan-Nya sendiri. Bukan lewat IMF, bukan lewat pihak-pihak asing. Kalau pun bantuan itu datang tanpa diminta, toh, juga tak pernah benar-benar sampai dan harus nyangkut di kantong beberapa gelintir makelar.

Kalau kita menganggap ini semua datang dari Tuhan (kalau percaya), tentu Dia tak akan sembarangan memilih kaum yang mana yang kena bencana. Karena tidak semua bangsa sanggup menerima bencana yang datang bertubi-tubi seperti yang ada di Indonesia ini, mas. Akhirnya dipilihlah orang-orang Indonesia yang lebih kuat batinnya mengelola kesedihan menjadi kekuatan pilih tanding.

Mas, tidak selalu bencana sejalur dengan kebodohan. Tidak selalu “kemiskinan statistik” dari logika ekonomi diartikan sebagai kemunduran. Karena bisa berbeda seratus delapan puluh derajat kalau itu diterapkan di sini. Kalau yang benar-benar miskin itu, ya, di Nigeria  sana. Mereka tak mampu beli rongsokan Jepang dengan gila-gilaan macam di Indonesia. Mana ada UMR yang barani beli sepeda motor sampai dua buah, dengan kredit pula. Apa ndak edan itu namanya? Jadi jangan keburu-buru, mas, dan se-enak dengkul menyimpulkan Indonesia hanya gara-gara sudah dibaptis pintar oleh kampus. Lha matamu a?

Kok jadi kemana-mana ini, mas bro? Coba anda pikir lagi, kalau memang kata-kata anda itu benar, mengapa masih terjadi korban atas musibah banjir ini? Lalu apa artinya kebijaksanaan kita? Nah, silahkan jawab.

Mas, mas! Tak pikir goblogmu ini sudah selesai. Sejak kapan mati itu dihubung-hubungkan dengan kebijaksanaan? Sejak kapan mati dihubungkan dengan bencana? Mati itu ya urusan Tuhan. Kok anda jadi menghubung-hubungkan sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan. Lha tanpa bencana pun, setiap orang pasti mati. Orang Jepang yang hidup tertip macam robot, ya, kalau sudah waktunya mati, ya, mati. Tidak usah nunggu bencana. Kalau sampai bencana banjir ini membawa korban, berarti, ya, orang itu waktunya mati. Kalau anda masih menggunakan pendekatan teori-teori, ya, goblog sendiri jadinya. Saya kasih contoh, ya. Menurut medis, seseorang bisa bertahan hidup tanpa makan itu sampai tujuh hari. Kalau tanpa air, itu cuma tiga hari. Apa you  tidak tau bila ada orang yang ritual bertapa sampai empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan. Mereka juga masih hidup. Bagaimana itu?

Bahkan ada orang yang dipendam di dalam tanah selama empat puluh hari juga masih hidup. Itu juga lebih aneh lagi. Kalau mau contoh yang dekat-dekat dengan banjir, dengan air, oke lah. Ada lo, mas, dalam ritual jawa, orang menjalani ritual dibuang ke sungai deras oleh gurunya hanya untuk melatihnya berpasrah pada Tuhan, dan mereka ada yang tidak mati. Mereka tidak mencoba berenang, mas. Mereka juga tidak mencoba untuk menepi, tapi pasrah dengan kehendak Tuhan. Jadi bisakah kita hubungkan dua premis tadi menjadi satu kesimpulan?

Kampus mencontoh pembodohan “tidak minum tiga hari berarti mati,” itu karena sampelnya bukan kita orang-orang Indonesia. Yang dijadikan sampel adalam mereka bangsa-bangsa yang tubuhnya ringkih dan tak tahan menderita. Mengetahui realitas seperti itu, dunia kedokteran cuma bisa nyengir kuda, mas. Tapi lagi-lagi orang kita sangat rendah hati, mas. Meski pun orang-orang kita sudah tau dengan ndagelnya dunia kedokteran sekarang, orang-orang masih nekat ke rumah sakit. Berani untuk tanggung risiko jadi korban mall praktek. Itu, ya, karena tadi. Orang-orang kita berhenti untuk main aman dalam dunia yang sebenarnya penuh dengan keadaan yang tidak aman. Lagi-lagi kita spekulasi, tidak takut. 

Kalau kita balik, beranikah dokter-dokter itu ke dukun?  Ndak berani, mas. Padahal sama-sama tidak aman lo, ya.

(Manggut-manggut.)

Asu, ojok mantuk-mantuk tok ae raimu, suu.

Banjir oh banjir. Cepatlah datang. Tunaikan tugasmu untuk membuat kita jadi lebih kuat. Lalu pergilah dan sampaikan pada Tuhan bila mesti Ia sendiri yang mengusap air mata kami. Ampuni dosa kami... Sudahlah jangan kawatirkan sesuatu yang telah kita kehendaki : p

Januari, 2013
Citra D. Vresti Trisna



3 komentar:

secangkir kopi pahit mengatakan...

keren...............

Maria Puspitasari Munthe mengatakan...

hahaha...kowe koyo lagi pms... :D

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

@munte: ia te, lagi pms ini.

@sofyan: suwun

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.