Laman

Senin, 16 September 2013

Satpam dini hari

Perlahan aku mengenali bangku-bangku kosong yang mulai ditinggalkan setelah lampu padam. Satpam berjalan sesekali menelusuri lorong-lorong gelap dan memastikan tak ada yang kemalingan. Sebenarnya aku merasa kasihan dengannya. Mungkin dia berjalan mondar-mandir bukan sekedar pekerjaannya sebagai seorang penjaga, tapi hidupnya sudah banyak dimalingi oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Mungkin ia hanya tau apa itu berkeliling untuk memastikan ia tidak kemalingan untuk yang kedua kalinya.
Kemudian, perlahan namun pasti, aku mencoba mengenali diriku. Tapi, kosong! Tak satu pun jawaban bisa kudapatkan. Segalanya gelap seperti lorong-lorong dengan bangku kosong yang ditinggalkan. Sepertinya aku baru kali ini mencoba mengenali diriku dengan serius. Dan baru kali ini pula aku menemukan kekosongan yang gigil dengan kesunyian yang suwung. Meski, aku merasa seperti ada suara langkah kaki yang mengawasiku; suara batuk di dalam ruangan; suara burung terdengar seperti leher yang tercekik. Siapa sebenarnya diriku?
Sebentar! Kali ini kurasakan suasana menjadi sedikit berubah. Binatang malam menyanyi seperti sedang merayakan sesuatu. Apa itu: ‘tarian kosmos’, katanya. Lalu sekelompok pemuda yang berarak-arakan sambil mengumpat mengamini. Juga suara orang menstarter mobil lalu pegi dari kegelapan yang membuatku hampir bunuh diri. Mungkin mereka ketakutan. Dan sekarang yang tersisa hanya rasa iri dan keinginan untuk kehangatan gelap melayang di atap. Oya, aku hampir lupa. Aku ingin mengenali diriku sedikit saja sebelum aku jadi serakah ketika pagi tiba. Menjadi sama dengan yang lain untuk tergesa-gesa seperti dikejar kenyataan hidup dengan parangnya yang tajam.
Sekarang satpam itu kembali lagi modar-mandir. Meski ia cuma bayangan, kehadirannya memberikan kengerian yang sangat. Tiba-tiba ia nampak seperti sesuatu yang sungil. Ia bicara pendek-pendek seperti arwah yang mati lantaran kesal dimalingi. “Mengapa kau masih di sini? Apa kau juga kemalingan seperti aku dan ingin menemaniku berjaga-jaga agar tak kemalingan untuk kedua kalinya? Apa orang miskin sepertiku tidak bisa membunuh lebih sadis bila perut lapar keluargaku memekakkan telingaku? Apa Tuhan maha pengampun?” Tapi sayangnya, tak satu pun dari pertannyaanya mampu kujawab dengan baik. Jemariku terus menari di atas keyboard dan pura-pura tak peduli dengan pertanyaannya.
Mungkin rasa kesalnya menjadi-jadi ketika merasa tak puas dengan diamku hingga kali ini pertannyaannya semakin tegas: ‘cuk! Siapa kau sebenarnya? Segawon dari dunia mana kau ini?’ Bulatan kelereng di matanya berkilat-kilat mencari mataku. ‘Apa kau tersesat anak muda?’ Kejar bayangan satpam itu.
Mungkin bayangan satpam itu mengerti apa yang sedang kupikirkan. Kesunyian adalah sesuatu yang sangat sadis dan bisa membunuhmu kapan pun. Dan keadaan semacam inilah yang kubenci. Gugatan pikiran ini membuatku teringat pada kawan susahku yang sekarang mungkin jauh lelap karena mabuk ketiak kekasihnya usai pergumulan hebat. Mungkin pergumulan adalah penawar yang mujarab untuk insomnia plus plus. Plus pikiran dan gelapnya keinginan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari insomnia. Mungkin juga keadaan seperti ini adalah salah satu himpitan yang membuat seseorang memerlukan menikah. Merasakan bebauan wingit seorang teman tidur: istri, suami.
‘Anak muda, aku ini telah menikah! Mengapa kau tak mendiskusikannya denganku perihal kesimpulanmu mengenai kebutuhan berumah tangga?’ Tanya bayangan satpam. Tapi, aku kembali merasa tak tega bertanya balik padanya: bagaimana mungkin kau selamat dari bahaya laten materialisme meretua. Namun, sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, ia sudah memotong pembicaraan.
‘Mungkin karena aku tak sekolah hingga membuat beban hidup serta tuntutan status pasca di dunia dan kecintaan orang tua justru membunuh kisa sebagai manusia.’
Kai ini tak seorang satpam pun menemaniku. Kabarnya ia akan pergi jauh. Kini giliran pemungut gelas-gelas plastik air mineral menjadi teman kala suwung. Ia juga nyeltuk dan menyarankan untuk menikah saja. Terus terang kata itu sedikit mengiburku. Namun aku tetap menunggu jawaban mengenai maksud kata-katanya. Dan benar saja. Di akhir kata-katanya ia juga berujar padaku: siapa dirimu? Kalau kau masih bodoh lantaran tak mengerti ‘siapa dirimu, maka simpan sayapmu untuk angan-angan yang sebenarnya tak perlu di tunggu.

Satu lagi! Setidaknya ia tidak sebegitu mengganggu seperti bayangan pak satpam diantara gelapap.




cdvt 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.