Sore ini sesak. Napasku tersengal
dan mataku berkunang melihat orang-orang berlalu-lalang. Tiba-tiba aku merasa
ingin sendiri, tapi dimana? Namun, yang ganjil adalah ketika aku sedang ingin
sendirian, tiba-tiba selintasan rasa bersalah pada hidup menguat hebat. Seharian ini kulewati
tanpa bicara dengan orang yang kukenal dan menjadi merasa belum genab sebagai
manusia. Dan semakin jauh jarakku dengan sesamaku, sesama manusia.
Aku ini orang macam apa?
Sebentar, biar kulengkapi lagi.
Setelah tak bicara sepatah kata pun pada orang yang kukenal, aku masih merasa
mampu menerjemahkan dan mendefinisikan hidup. Aku adalah salah satu penghardik
teori-teori sosial yang sembrono dalam memotret hidup, tapi tiba-tiba aku jadi orang yang
berusaha menafsirkan sesuatu yang terlalu besar untuk kuterka. Meminjam istilah
Nietzsche, ja sagender atau meng-iya-kan hidup?
Apa benar aku sedang meng-iya-kan hidup?
Dunia boleh salah terka, tapi
kesempurnaan yang subjektif ada di dalam diri. Mencari kesempurnaan (tanpa
menghardik dan justifikasi) dalam batin, ketika melihat sesuatu yang salah
adalah barbar. Tapi, bukankah hidup berjalan dengan cara demikian?
Kebijaksanaan ditulis, diyakini, lantas dilembagakan. Sungguh! Aku sungguh
takut nihilism itu benar adanya. Aku
takut ia hadir di depan mataku sebagai jam weker dan isyarat: dunia itu sah
untuk dihancurkan; dikampak seperti patung berhala di tangan Ibrahim. Sebab,
aku hanya ingin menjadi “taat”, yang berarti “tidak pergi kemana pun” sebab
surga hanya ada di sekitaran kampung dan halaman rumahku, di sekitaran
rutinitas dan ritus-ritus beragama.
Tiba-tiba kelapanganku menerima
hidup lenyap tak berbekas. Perjalanan bertemu orang-orang seperti hilang tanpa
sisa. Hanya ada ketakutan pada sesuatu yang tak jelas, absurd. Menyaksikan
orang lewat, lalu makna-makna mengalir deras begitu saja. Dan mereka seperti
tak peduli denganku. Apa ini yang mereka sebut kegigilan hidup? Inikah
kegigilan yang membunuh banyak orang dengan jalan akhir paling sadis: tali
jemuran.
Tapi, aku menolak untuk mati.
Diriku telah lama “mati”. Dan tidak ada kematian setelah mati. Yang ada hanya
kembali memunguti sisa-sisa serta berkompromi untuk menyusun puzzle dan sebentuk kebijaksanaan absurd
namun menghangatkan. Mungkin saja pacarku sedang kedinginan, atau anak-anakku
kelak. Maka aku lah yang akan memeluk mereka.
Lalu bagaimana dengan “Tuhan”?
Sesuatu yang being dan pernah
kutemukan di punggung Arjuna setelah sekian lama tak mengakui tuhan. Tapi, bukankah 'ateis' adalah jalan menuju Islam yang sejati dalam konteks syahadat: meniadakan
tuhan-tuhan palsu duniawi sebelum mengakui hanya ada satu tuhan (Allah). Apa
hari ini dia tidak di sisiku---sekali pun logikaku meyakini Dia
melingkupiku---dan Ia hanya (ada) pada rasa takut kesendirian?
Dan saya tidak mau meneruskan....
Surabaya, Agustus
2013
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.