Laman

Sabtu, 31 Agustus 2013

#6 Ja Sagender



Sore ini sesak. Napasku tersengal dan mataku berkunang melihat orang-orang berlalu-lalang. Tiba-tiba aku merasa ingin sendiri, tapi dimana? Namun, yang ganjil adalah ketika aku sedang ingin sendirian, tiba-tiba selintasan rasa bersalah pada hidup menguat hebat. Seharian ini kulewati tanpa bicara dengan orang yang kukenal dan menjadi merasa belum genab sebagai manusia. Dan semakin jauh jarakku dengan sesamaku, sesama manusia.

Aku ini orang macam apa?

Sebentar, biar kulengkapi lagi. Setelah tak bicara sepatah kata pun pada orang yang kukenal, aku masih merasa mampu menerjemahkan dan mendefinisikan hidup. Aku adalah salah satu penghardik teori-teori sosial yang sembrono dalam memotret  hidup, tapi tiba-tiba aku jadi orang yang berusaha menafsirkan sesuatu yang terlalu besar untuk kuterka. Meminjam istilah Nietzsche, ja sagender atau meng-iya-kan hidup?

Apa benar aku sedang meng-iya-kan hidup?

Dunia boleh salah terka, tapi kesempurnaan yang subjektif ada di dalam diri. Mencari kesempurnaan (tanpa menghardik dan justifikasi) dalam batin, ketika melihat sesuatu yang salah adalah barbar. Tapi, bukankah hidup berjalan dengan cara demikian? Kebijaksanaan ditulis, diyakini, lantas dilembagakan. Sungguh! Aku sungguh takut nihilism itu benar adanya. Aku takut ia hadir di depan mataku sebagai jam weker dan isyarat: dunia itu sah untuk dihancurkan; dikampak seperti patung berhala di tangan Ibrahim. Sebab, aku hanya ingin menjadi “taat”, yang berarti “tidak pergi kemana pun” sebab surga hanya ada di sekitaran kampung dan halaman rumahku, di sekitaran rutinitas dan ritus-ritus beragama.
Tiba-tiba kelapanganku menerima hidup lenyap tak berbekas. Perjalanan bertemu orang-orang seperti hilang tanpa sisa. Hanya ada ketakutan pada sesuatu yang tak jelas, absurd. Menyaksikan orang lewat, lalu makna-makna mengalir deras begitu saja. Dan mereka seperti tak peduli denganku. Apa ini yang mereka sebut kegigilan hidup? Inikah kegigilan yang membunuh banyak orang dengan jalan akhir paling sadis: tali jemuran.
Tapi, aku menolak untuk mati. Diriku telah lama “mati”. Dan tidak ada kematian setelah mati. Yang ada hanya kembali memunguti sisa-sisa serta berkompromi untuk menyusun puzzle dan sebentuk kebijaksanaan absurd namun menghangatkan. Mungkin saja pacarku sedang kedinginan, atau anak-anakku kelak. Maka aku lah yang akan memeluk mereka.
Lalu bagaimana dengan “Tuhan”? Sesuatu yang being dan pernah kutemukan di punggung Arjuna setelah sekian lama tak mengakui tuhan. Tapi, bukankah 'ateis' adalah jalan menuju Islam yang sejati dalam konteks syahadat: meniadakan tuhan-tuhan palsu duniawi sebelum mengakui hanya ada satu tuhan (Allah). Apa hari ini dia tidak di sisiku---sekali pun logikaku meyakini Dia melingkupiku---dan Ia hanya (ada) pada rasa takut kesendirian?

Dan saya tidak mau meneruskan....

Surabaya, Agustus 2013



0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.