Laman

Kamis, 15 Mei 2014

Perjalanan dan Seorang Kawan

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar, terimalah dan hadapilahGie
Kepada seorang kawan yang sepi, tersenyumlah sebelum kau lewati semak bermiang hidup. Mungkin, tak ada cara lain kecuali menghadapi apa saja yang ada di depan dengan berani; tanpa perlu menyesali yang telah lewat.
Kau tau, kawan, siapa yang tak pernah terperosok di kubangan dalam sekali hidup? Siapa yang bisa lolos untuk mendapat predikat ”bandit” di satu putaran hidup? Termasuk kau, mungkin.
Meski sudah cukup lama kita tak bersua. Dan sekali ini, ketika kau hanya melihat jalan buntu; tidak! Aku tak akan menghiburmu dengan kata ”sabar” yang klise. Aku bukan seorang barbar yang berambisi membuatmu jadi baik-buruk—dimana kedua jalan itu adalah murni hakmu sebagai seorang manusia yang berkehendak.
Tapi, ketika kau mengatakan bila tak perlu tanggung untuk jadi manusia: benar-benar jadi baik atau total menjadi orang bejat. Kau tau, aku hanya bisa tersenyum. Hey, apa kau sedang panik?
Mungkin di matamu sedang tak ada kemungkinan lain untuk arah yang ingin kau tuju. Atau kehilangan sesuatu yang prinsipil membuat jalanmu seakan dipenuhi kabut? Ya, kawan. Lagi-lagi denganmu, aku hanya punya sebuah ”mungkin” untuk menerka apa yang ada di pikiranmu.
Aku dengar kau sedang menggilai perjalanan. Sesuatu yang nampaknya begitu menerbitkan gairahmu untuk mengemas ransel dan keluar dari rutinitas. Aku membayangkan ada senyum dan sebuah malam dimana kau tak bisa memejamkan mata menanti berkumpul bersama kawan untuk memulai perjalanan. Aku juga membayangkan bagaimana kau bangun pagi-pagi sambil kembali mengingat barang-barang yang mungkin terlewat.
Tapi, yang juga ada dalam pikiranku adalah: apa kau juga bersalaman dan berjanji dengan semua masalah dan bebanmu di rumah-tempat kuliah-tempat kerja, untuk kembali padanya dan menyelesaikan semuanya di lain waktu?
Kalau itu benar adanya, boleh aku bertanya sesuatu: sampai kapan kau lari dari itu semua?
Dulu, aku sempat berpikir bahwa semua yang ada di luar terlampau indah untuk dilewatkan. Kau tau, melewatkan hijau hutan dan terjalnya batu-batu gunung adalah hal yang sangat sayang untuk dilewatkan. Kembali ke rumah di tengah menikmati matahari terbit di hamparan pasir pantai selalu menerbitkan rasa jengah dan kesal. Dan tak ada yang lebih indah dari bercengkrama dengan orang-orang di gardu atau di warung kopi di sebuah kota yang tak pernah kita singgahi sebelumnya.
Percayalah, selalu ada riak-riak kebahagiaan ketika kau tersesat dan rasa lapar mulai menyerang malam-malam. Atau ketika berurusan dengan orang-orang ingin mencari sesuap nasi dengan cara setengah mati berkelahi denganmu untuk merebut tas ransel di punggungmu. Semuanya terlalu indah dilewatkan ketimbang menghabiskan waktu di kamar dan membaca diktat-diktat kuliah.  
Kalau segala kebosanan dan himpitan masalah di duniamu sekarang melatarbelakangi perjalananmu, aku senang kau seperti itu. Tapi, ketakutan dan kebingungan dengan apa yang (belum) kau terima sebagai akibat menghadapi beban hidup itu tidak baik. Aku ingat kata-kata Laird Hamilton—peseluncur dari Amerika.
”Aku tak ingin mati hanya karena takut dengan apa yang akan terjadi.”
Meski tak ada yang tau seberat apa masalahmu. Yang jelas, kau yang paling tau bagaimana harus menghadapinya. Meski aku tak berhak menasihatimu, tapi, sebagai teman, aku telah katakan di awal: siapa yang tak pernah mendapati jalan buntu pada hidupnya.
Tak ada kesatria yang lahir tanpa peperangan, bukan?
Dan untuk eskapismemu dari banyak kebuntuan, kau harus tau, kawan: perjalanan dan petualangan itu sangat mulia bila kita lalui sebagai manusia, bukan sebagai turis yang melancong untuk berfoto-foto.
Sebagaimana yang dikatakan Santo Agustinus, salah seorang filusuf: Dunia adalah sebuah buku dan mereka yang tidak bertualang hanya membaca satu halaman saja.
Seandainya yang dikatakan Santo Agustinus benar, betapa pedihnya hidup ketika kita hanya membaca selembar dari ratusan halaman di dalamnya. Betapa kita tak pernah melihat sebenar-benarnya hidup ketika hanya di rumah saja. Tapi, ketika perjalanan yang kita lalui adalah karena murni pelarian, lalu apa yang menarik? Belum selesai membaca selembar, kita membuka-buka lembar lain dengan mata terpejam.
Apa menariknya melakukan perjalanan dengan mata terpejam; tak melihat apapun—sesuatu yang sebenarnya terlalu prinsipil dan bahkan penting untuk kita lihat.
Bukankah kita teramat sering merasa telah melampaui sesuatu padahal kita masih berada di dasar. Ketidakmungkinan dan potensi kekalahan seorang manusia membuat kita merasa telah melakukan hal besar hanya dengan naik gunung, berfoto, dan merasa gagah.  
Hanya sekedar melancong dan foto tanpa banyak mengamati dan mempelajari lembar-lembar lain yang sedang kita balik adalah ”sakit”.
Hey, kawan lama. Kita tak perlu jengah membaca satu lembar halaman buku. Kita hanya perlu untuk menuntaskannya dan menganggap yang satu lembar itu bagian dari takdir Tuhan yang harus kita jalani. Dan takdir itu boleh jadi adalah jalan Tuhan. Sebagaimana Kurt Vonnegut katakan dalam tulisannya: perjalanan yang tidak biasa adalah menari di jalan Tuhan.
Ber-sam-bung

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.