Laman

Jumat, 25 April 2014

Gumam Rori Soal Sabdo Palon #demromor5

Mas Sabdo Palon
”Kau kenal siapa Sabdo Palon?” tanya Rori di sebuah siang yang membakar.
”Tidak. Apa itu?”
”Bodoh! Percuma kalau begitu. Lebih baik aku bicara pada orang yang tepat,” ujar Rori.
”Woey, apa itu? Jangan buat aku penasaran.”
”Seandainya Sabdo Palon benar-benar ada, mungkin kata-katanya yang paling aku suka adalah, ’kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk.’ Ya, kata-kata itu menggugah. Sekaligus pertentangan dari entitas Sabdo Palon.”
”Apa arti dari kata-kata siapa itu… Sab-do Pa-lon?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
”Kurang lebih, artinya: ’Saya malu pada bumi-langit, malu mengasuh orang tolol,” terang Rori.
Kalau memang benar Prabu Brawijaya V masuk Islam dan Sabdo Palon kecewa, kata Rori, apa harus seperti itu kata-kata yang dia ambil untuk momongannya? Setahuku, kedunguan bukan batas yang harus membuat Sabdo Palon beranjak meninggalkan Prabu Brawijaya V dan meninggalkan rupa-rupa kutukan pada tanah Jawa.
Konsep pamomong adalah sesuatu yang wingit. Dalam penafsiranku, pamomong itu bukan lagi sekedar menjadi guru yang mengajarkan sesuatu pada muridnya. Pamomong itu lebih dari membimbing dan tentu melampaui batas-batas kesabaran yang ada. Terlebih lagi, dia mengaku sang Manik Maya. Dan yang dibimbing pun bukan sembarangan. Prabu Brawijaya V adalah raja Jawa. Sehingga kalap (masuk Islam) adalah sesuatu yang biasa. Terlebih lagi Brawijaya V adalah manusia dan Sabdo Palon bukan. Tapi, lain lagi kalau dalam dunia dewata, persoalan kepercayaan adalah hal yang prinsipil dan melampaui batas toleransi.
Seandainya toleransi adalah bagian dari nilai-nilai dalam Jawa, mestinya Sabdo Palon menerima Brawijaya V masuk Islam dan tetap membimbing demi melindungi rakyat Majapahit yang waktu itu digempur Raden Patah. Bukankah kompromi antara Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijogo adalah memeluk Islam agar perang tidak berkepanjangan.
Apa yang diharapkan seorang raja kecuali keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Kecuali Brawijaya V adalah seorang raja yang barbar, yang rela rakyatnya jadi korban karena egoisme pribadi. Apa karena Islam di mata Sabdo Palon hanya sekedar kepercayaan yang irib-iriban (kearab-araban).
Kini Rori tampak berpikir keras.
Lima ratus tahun sejak kutukannya, lanjut Rori, yang berarti hari ini sudah melampaui dari waktu yang ditentukan. Seandainya apa yang dikatakan Sabdo Palon benar, berarti kutukan itu sudah datang. Dan kalau kupikir lagi, kata Rori, sepertinya apa yang dikatakannya telah terjadi. Hanya saja belum kita sadari.
”Kau takut, Ror?” tanyaku memecah lamunannya.
”Takut sih tidak. Karena kupikir aku sudah mati sebagai manusia. Orang mati tak memiliki ketakutan apapun kecuali kegelisahannya akan identitas. Karena tentunya aku butuh identitas bila aku hendak mengoarkan apa yang dijanjikan Sabdo Palon. Aku butuh subjek agar mereka mengerti bila tak ada yang bisa dibanggakan dari seseorang yang telah mati, kecuali rasa bahagia dalam zona aman.”
”Itu perasaanmu saja, Ror. Anggap saja ucapanmu benar, tentu tak banyak orang hidup dan bisa berarti. Kau hanya sedang berolok-olok tentang sesuatu yang gagal kau raih: sebagai manusia, sebagai pribadi,” protesku.
”Mungkin dalam hal ini kau benar. Tapi, coba kau bayangkan apa jadinya bila hidup di jaman sekarang kita hanya menjadi generasi yang menjawab ramalan-ramalan masa silam. Dan untuk menjawab ramalan itu dibutuhkan identitas yang bukan sekedar absurditas sikap yang oportunis.”
Kini seperti biasa Rori menggumam sendiri.
Betapa merosotnya orang-orang di jaman sekarang yang tidak bicara dan mencetuskan sesuatu yang akan dijawab anak turun kita nanti. Meski jaman sekarang banyak buku dibuat, tapi ternyata kita bisu. Tak bicara apapun kecuali gumam kamar dan proses mengulang apa yang sudah-sudah.
Ya, kitalah generasi cubluk yang senang mendongeng dan membaca kembali dan hidup di alam pseudo. Aku jadi berpikir: apa benar Prabu Brawijaya V adalah cikal bakal dan titik keberangatan cubluk masal. Sehingga, mungkin apa yang dikawatirkan Sabdo Palon menemukan alasan di jaman ini. Kita generasi orang mati yang senang dengan hal baru. Lalu menikahi hal baru dengan setengah-setengah; menikmati berenang di air dangkal.
Generasi kita tak pernah menyelam. Generasi yang tak kenal dasar dan merasa telah mengkangkangi dunia dengan mainan plastik dari Eropa dan Jepang. Mungkin kita adalah replika mainan berlabel made in china. Atau mungkin, kisah Sabdo Palon hanya dongengan dan upaya nina bobo pujangga-pujangga atas angina  agar kita terus menginjak bumi dan kenal batas.
Kalau misal apa yang kupikirkan benar. ”Agama” yang dipersoalkan Sabdo Palon hanya kiasan yang kebetulan memiliki latar historis yang tepat. Mungkin karena Islam adalah sesuatu yang baru di Jawa. Dan gerakan Islamisasi oleh Walisongo adalah kebesaran yang lux karena mengislamkan hampir seluruh tanah Jawa.
Mungkin ancaman bencana yang dikatakan Sabdo Palon juga merupakan kiasan bila (seumpama agama disederhanakan hanya sebagai ideologi) perubahan ideologi mendasar dalam sekala besar akan menjadi bom waktu. Dan mungkin waktu untuk meledaknya bom itu 500 tahun seperti yang dikatakan Sabdo Palon.
”Ror, apa kau pikir Islam hanya apa yang ada di Arab? Bukankah orang Arab pun mengolok-olok Islam kita tidak serius karena hanya warisan pedagang-pedagang timteng? Bukankah kita tak harus menjadi kambing di kandang sapi?”
”Aduh mampus aku….”
Bersambung…

Yakobus, 25 April 2014
Citra D. Vresti Trisna





0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.