![]() |
Mas Sabdo Palon |
”Kau kenal siapa Sabdo Palon?” tanya Rori di
sebuah siang yang membakar.
”Tidak. Apa itu?”
”Bodoh! Percuma kalau begitu. Lebih baik aku
bicara pada orang yang tepat,” ujar Rori.
”Woey, apa itu? Jangan buat aku penasaran.”
”Seandainya Sabdo Palon benar-benar ada,
mungkin kata-katanya yang paling aku suka adalah, ’kula
wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk.’ Ya,
kata-kata itu menggugah. Sekaligus pertentangan dari entitas Sabdo Palon.”
”Apa arti dari kata-kata siapa itu… Sab-do Pa-lon?”
tanyaku pura-pura tak mengerti.
”Kurang lebih, artinya: ’Saya malu pada bumi-langit,
malu mengasuh orang tolol,” terang Rori.
Kalau memang benar Prabu Brawijaya V masuk
Islam dan Sabdo Palon kecewa, kata Rori, apa harus seperti itu kata-kata yang
dia ambil untuk momongannya? Setahuku, kedunguan bukan batas yang harus
membuat Sabdo Palon beranjak meninggalkan Prabu Brawijaya V dan meninggalkan
rupa-rupa kutukan pada tanah Jawa.
Konsep pamomong adalah sesuatu yang
wingit. Dalam penafsiranku, pamomong itu bukan lagi sekedar menjadi guru
yang mengajarkan sesuatu pada muridnya. Pamomong itu lebih dari
membimbing dan tentu melampaui batas-batas kesabaran yang ada. Terlebih lagi,
dia mengaku sang Manik Maya. Dan yang dibimbing pun bukan sembarangan. Prabu
Brawijaya V adalah raja Jawa. Sehingga kalap (masuk Islam) adalah sesuatu yang
biasa. Terlebih lagi Brawijaya V adalah manusia dan Sabdo Palon bukan. Tapi,
lain lagi kalau dalam dunia dewata, persoalan kepercayaan adalah hal yang
prinsipil dan melampaui batas toleransi.
Seandainya toleransi adalah bagian dari
nilai-nilai dalam Jawa, mestinya Sabdo Palon menerima Brawijaya V masuk Islam
dan tetap membimbing demi melindungi rakyat Majapahit yang waktu itu digempur
Raden Patah. Bukankah kompromi antara Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijogo
adalah memeluk Islam agar perang tidak berkepanjangan.
Apa yang diharapkan seorang raja kecuali
keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Kecuali Brawijaya V adalah seorang
raja yang barbar, yang rela rakyatnya jadi korban karena egoisme pribadi. Apa karena
Islam di mata Sabdo Palon hanya sekedar kepercayaan yang irib-iriban (kearab-araban).
Kini Rori tampak berpikir keras.
Lima ratus tahun sejak kutukannya, lanjut
Rori, yang berarti hari ini sudah melampaui dari waktu yang ditentukan. Seandainya
apa yang dikatakan Sabdo Palon benar, berarti kutukan itu sudah datang. Dan kalau
kupikir lagi, kata Rori, sepertinya apa yang dikatakannya telah terjadi. Hanya saja
belum kita sadari.
”Kau takut, Ror?” tanyaku memecah lamunannya.
”Takut sih tidak. Karena kupikir aku sudah
mati sebagai manusia. Orang mati tak memiliki ketakutan apapun kecuali kegelisahannya
akan identitas. Karena tentunya aku butuh identitas bila aku hendak mengoarkan
apa yang dijanjikan Sabdo Palon. Aku butuh subjek agar mereka mengerti bila tak
ada yang bisa dibanggakan dari seseorang yang telah mati, kecuali rasa bahagia
dalam zona aman.”
”Itu perasaanmu saja, Ror. Anggap saja
ucapanmu benar, tentu tak banyak orang hidup dan bisa berarti. Kau hanya sedang
berolok-olok tentang sesuatu yang gagal kau raih: sebagai manusia, sebagai
pribadi,” protesku.
”Mungkin dalam hal ini kau benar. Tapi, coba
kau bayangkan apa jadinya bila hidup di jaman sekarang kita hanya menjadi
generasi yang menjawab ramalan-ramalan masa silam. Dan untuk menjawab ramalan
itu dibutuhkan identitas yang bukan sekedar absurditas sikap yang oportunis.”
Kini seperti biasa Rori menggumam sendiri.
Betapa merosotnya orang-orang di jaman
sekarang yang tidak bicara dan mencetuskan sesuatu yang akan dijawab anak turun
kita nanti. Meski jaman sekarang banyak buku dibuat, tapi ternyata kita bisu. Tak
bicara apapun kecuali gumam kamar dan proses mengulang apa yang sudah-sudah.
Ya, kitalah generasi cubluk yang
senang mendongeng dan membaca kembali dan hidup di alam pseudo. Aku jadi
berpikir: apa benar Prabu Brawijaya V adalah cikal bakal dan titik keberangatan
cubluk masal. Sehingga, mungkin apa yang dikawatirkan Sabdo Palon
menemukan alasan di jaman ini. Kita generasi orang mati yang senang dengan hal
baru. Lalu menikahi hal baru dengan setengah-setengah; menikmati berenang di
air dangkal.
Generasi kita tak pernah menyelam. Generasi yang
tak kenal dasar dan merasa telah mengkangkangi dunia dengan mainan plastik dari
Eropa dan Jepang. Mungkin kita adalah replika mainan berlabel made in china.
Atau mungkin, kisah Sabdo Palon hanya dongengan dan upaya nina bobo
pujangga-pujangga atas angina agar kita
terus menginjak bumi dan kenal batas.
Kalau misal apa yang kupikirkan benar. ”Agama”
yang dipersoalkan Sabdo Palon hanya kiasan yang kebetulan memiliki latar
historis yang tepat. Mungkin karena Islam adalah sesuatu yang baru di Jawa. Dan
gerakan Islamisasi oleh Walisongo adalah kebesaran yang lux karena
mengislamkan hampir seluruh tanah Jawa.
Mungkin ancaman bencana yang dikatakan Sabdo
Palon juga merupakan kiasan bila (seumpama agama disederhanakan hanya sebagai ideologi)
perubahan ideologi mendasar dalam sekala besar akan menjadi bom waktu. Dan mungkin
waktu untuk meledaknya bom itu 500 tahun seperti yang dikatakan Sabdo Palon.
”Ror, apa kau pikir Islam hanya apa yang ada
di Arab? Bukankah orang Arab pun mengolok-olok Islam kita tidak serius karena
hanya warisan pedagang-pedagang timteng? Bukankah kita tak harus menjadi
kambing di kandang sapi?”
”Aduh mampus aku….”
Bersambung…
Yakobus, 25 April 2014
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.