Laman

Rabu, 31 Desember 2014

KB Dunia, Kesombongan dan Sinetron Demokrasi



Tidak ada lebih puitis dari berada diantara dua pemuda yang sedang berdiskusi dengan semangat membara.
Pemuda I: ”Apa kau tidak sinting, hah? Bagaimana mungkin rakyat bisa benar-benar berdaulat tanpa ada demokrasi? Hellow...! Jangan mimpi kau. Apa kau lupa bagaimana keadaan kita sebelum revormasi?”
Pemuda II: ”Bukan begitu, bro. Aku percaya demokrasi adalah jalan menuju rakyat yang berdaulat. Tapi, bagaimana kita bisa membawa demokrasi masuk ke dalam sebuah negara yang pemimpinnya terlanjur otoriter? Misal, nih, ya. Kalau kita dipimpin Prabowo, sudah barang tentu negara ini akan menjadi seperti masa Orba. Lha, kalau sudah begitu apa yang bisa dilakukan mahasiswa untuk mengembalikan demokrasi? Nah, itu yang saya maksud....”
*
Suatu ketika dimalam lelah, saya terjebak pada diskusi dua pemuda di warung kopi dekat Kampus Unair. Saya tidak pernah mengenal mereka. Sehingga dalam diskusi itu saya hanya menjadi penonton yang mengantuk karena tak tertarik pada apa yang mereka bicarakan.  Tapi, bagaimana pun juga sebagai orang yang pernah muda dan labil, saya terpaksa tidak pindah tempat dan sedikit menyimak apa yang mereka perdebatkan.
Bukankah akhir-akhir ini sudah jarang ditemukan pemuda yang serius berdiskusi kecuali soal kamar kos yang hangat?

Waktu itu, perhatian saya terpecah antara diskusi mereka dan sinetron di tipi yang kebetulan ditonton dengan khusuk oleh pemilik warung. Terus terang, waktu itu tayangan sinetron lebih membius kesadaran saya ketimbang debat kusir dua pemuda tadi. Selain itu, yang membuat saya semakin betah nongkrong adalah cara dua pemuda tadi menyindir saya yang sedang asyik hanyut dalam sinetron.  Karena selain berdiskusi, sesekali mereka nyeletuk soal cerdas media dan pembodohan televisi dengan suara yang agak dikencang-kencangkan agar kita yang rame-rame menonton sinetron di tipi jadi insap.
Tapi, rupanya mereka berdua salah orang. Jangan panggil saya Dalbo kalau kuping saya panas hanya karena disindir. Justru saat itu, saya malah makin semangat menonton sinetron dan nyeletuk balik: ”Oalah, buk. Saknone lakone mati. Seng nangis niku bojone seng mati wau ta? (Oh, bu. Kasihan jagoannya mati. Itu yang nangis istrinya yang mati tadi kah?)” tanyaku ke buk warung dengan suara dikeras-keraskan.
Enggeh, wuuu kulo nggeh gregeten kale seng wedok niki. Wes dikandani bojone gak ngereken, saiki mati ditangisi. Kapok koen saiki nangisi bojomu (Iya, wuuu saya juga jengkel sama yang perempuan ini. Sudah dibilangi tidak mau dengar, sekarang mati ditangisi. Rasakan kamu sekarang menangisi suamimu).” Jawab buk warung. Saya semakin senang karena buk warung menanggapi saya dan semakin buat dua pemuda tadi panas.
Acara niki bendinten ta? Kok sae. Kulo mboten nate nontok seng niki. Timbangane nontok berita seng elek-elek, kulo tasih remen sinetron (Acara ini setiap hari kah? Kok bagus. Saya tidak pernah lihat yang ini. Daripada melihat berita yang jelek-jelek, saya lebih senang melihat sinetron)”
Lho... Emane. Apik acara iki. Cumak yo rodok nggregetno bojone seng mati maeng. Wingi malah wapik mas, seng mati wau mateni bojone seng wedok klambi abang seng jahat. Sak iki ceritane balas dendam (Lho... Sayang sekali. Bagus acara ini. Hanya saja agak menjengkelkan istrinya yang mati tadi. Kemarin malah bagus, mas, yang mati tadi bunuh istrinya perempuan baju merah yang jahat tadi. Ini ceritanya balas dendam)”
Halah, mas. Sami mawon. Kadang-kadang bapak e niku nek kulo pas nontok nggeh ngganti sak enak e dewe. Pokok e nek wes onok bal-balan karo berita-berita ngunu, wes gak ngreken kiwo tengen ( Ah sama saja, mas. Kadang-kadang suami saya juga suka mengganti se enaknya sendiri. Pokoknya kalau sudah ada acara sepak bola atau berita gitu, sudah tidak menghiraukan kiri-kanan)” tambah buk warung.
Nah, modar ora raimu, ndeng-gendeng
Obrolan saya dengan buk warung tadi telah saya pastikan bisa membuat membuat dua aktivis tadi hilang fokus dan kuping panas. Buktinya selama saya berdialog, dua orang tadi diam mendengarkan. Padahal sebelumnya mereka nyerocos. Setelah saya bicara, dua pemuda tadi geleng-geleng kepala. Mungkin karena tak habis pikir dengan saya.
Niki lo, mas. Sinetrone sae. Sampean nontok o disek. Engko sue-sue lak seneng. Timbang sampean ngomong ngalor ngidul (Ini, mas. Sinetronnya bagus. Kamu nonton saja dulu. Nanti lama-lama pasti suka. Daripada kamu bicara kesana-kemari tak jelas)” goda saya ke dua pemuda tadi.
Mereka berdua tak menanggapi kata-kata saya. Hanya aku lihat salah seorang pemuda melongo dan menatap saya tak suka. Sementara kawannya hanya tertawa tertahan.
Dan setelah sukses membuat dua pemuda tadi jengkel, saya pun kembali diam. Saya jadi tak tega dengan dua pemuda tadi yang dibakar kejengkelan. Saya tidak peduli karena saya senang. Dan tak lama kemudian, dua pemuda tadi melanjutkan diskusinya.
Pemuda I: ”Blablablabl ablablabla*( %&#(#(* (#)@#$%blablabla ))(####(*%$&* ()#)++##(%co k4934(*)#*%&asu008**%)”
Pemuda II: ”BlaBlaBlaB laBlagatel)*& ^$#@*@telek* &^$(@jembut**&* @))&&^gar1n6*&^##”
*
Saya tak tau dari mana muaranya, tapi tiba-tiba pembicaraan dua pemuda tadi merembet sampai kemana-mana, sampai soal Saddam.
”Tapi, yang jelas, bro. Hal-hal yang patut disyukuri dari invasi Amerika ke Irak—terlepas benar-salah dan omong kosong senjata pemusnah massal—adalah Rezim Saddam dibabat habis. Demokrasi yang diidam-idamkan rakyat Irak dapat terealisasi meski untuk membayar demokrasi itu harus berdarah-darah,” kata seorang pemuda.
”Iya juga sih. Saya memang tak sepakat dengan invasi itu. Tapi, bagaimanapun juga invasi itu sudah terjadi. Berdarah, memang. Tapi, masyarakat harus mengambil hikmah dari runtuhnya Saddam, yakni: demokrasi terwujud,” ujar pemuda lainnya, menimpali.
Nah, ini baru namanya cok. Setelah tidak konsen nonton sinetron gara kepikiran kata-kata dua pagebluk ini, saya memutuskan untuk ikut campur dalam diskusi mereka. Tapi, sialnya, sebelum saya gabung, dua pemuda tadi membayar kopi yang mereka pesan. Su!
Kini giliran aku dibakar amarah. Mataku buram. Kepalaku berdenyut-denyut menyaksikan betapa suuempak-nya kata-kata dua pemuda tadi. Saat  mataku tertuju pada tipi, samar-samar aku lihat Saiful Jamil joget di acara ndangdut. Dia nampak hot dengan stelannya. Apalagi di samping Saiful Jamil ada Ivan Gunawan dengan kaus yang dadanya terbuka lebar.
Ya, sinetronnya memang telah selesai dan buk warung menggantinya dengan acara ndangdut, tapi, yang bikin aku merinding adalah wajah Saiful Jamil yang tiba-tiba berjenggot macam orang arab. Mataku masih berkunang-kunang. Sehingga aku lihat dan mendengar Saiful Jamil membacakan sebuah naskah. Kira-kira begini yang dibaca Saiful Jamil: 
Memang Saddam bukan seorang santo. Meski demikian, dia dipuji dan mendapat kejayaan sebagai seorang diktator yang sukses di Irak. Aku pikir, di Irak tak banyak persoalan yang timbul karena kediktatorannya. Kecuali Amerika yang sudah tak tahan dengan Saddam yang menolak tunduk dan menerapkan demokratisasi Irak.
Sebenarnya tak ada masalah dengan presiden berjenggot tebal ini, kecuali kita di sini sibuk mengkritik apa yang dia lakukan.
Indonesia adalah negara cukup besar yang kaya akan tambang dan sumber daya manusia masalah namun dermawan dan perhatian pada urusan orang lain serta dapur orang planet. Kurang bangkrut apa negara ini? Tapi, meski demikian, ternyata kita masih bisa memperdebatkan: apakah kediktatoran Saddam pantas dihadiahi moncong senapan oleh Amerika yang kalap? Tapi pernahkah anda mendiskusikan tentang bagaimana sistem pemerintahan di Arab? Pernahkah kalian mendiskusikan mengapa tidak pernah ada serbuan ke Arab meski sejak dulu tak pernah ada demokratisasi diterapkan? Atau mungkin mendiskusikan, mengapa Arab—yang bukan negara demokrasi—menyediakan tanahnya untuk jadi pangkalan sebelum menghabisi Irak? Pernahkah kalian berpikir bila apa yang terjadi di Irak adalah murni penerapan demokratisasi atau perampokan yang sistematis, memalukan dan merendahkan nurani?
Ya, mungkin ini yang disebut orang tua dulu sebagai sifat bajingan paling modern. Di satu sisi kita diam; tak melakukan apapun, tapi di sisi lainnya kita jadi penghujat yang taat seakan-akan kita pernah merasakan diperintah oleh Saddam.
Siapa yang peduli seseorang itu melakukan penindasan dan opresi pada rakyat. Bukankah menindas atau tidak itu bergantung dari rakyat yang merasakan pemerintahan Saddam. Kalau mereka merasa Saddam adalah bajingan yang otoriter, tapi di sisi lain dia mambawa manfaat bagi rakyatnya lewat kebijakan-kebijakan yang pro kemajuan rakyat. Apa itu salah?
Bukankah dalam sekali hidup tak ada kebaikan dan kedurjanaan yang berjalan beriringan? Bukankah baik-buruk adalah subjektivitas yang tak pernah kita pahami dengan baik. Dan sementara kita tak dapat memutuskan dan memilah baik-buruk, tapi dunia terus saja mendesak dan memaksa kita untuk memilih: memihak atau mengutuk Saddam.
Kalau suatu ketika rakyat Irak merasa Saddam tak pantas diturunkan, mengapa pula kita yang mesti ribut dan merasa seakan-akan kita adalah pihak yang paling sah menghakimi Saddam lalu merasa diri sudah paling pantas menembak biji mata Saddam dengan pistol air cabe. Kalau rakyat Irak merasa Saddam pantas diturunkan, tapi sedang tak punya daya melawan kebengisan Saddam, toh dunia selalu menunjukkan siapa yang terbaik.
Ah, dasar aktivis demokrasi laknat. Kau sumbat dengan sampah macam apa otak dan nuranimu hingga kau bisa memaklumkan sebuah negara diporakporandakan tank demi tegaknya demokratisasi? Apa tak pernah dihitung bila akibat agresi ini banyak kepala bocah-bocah yang kepalanya terbelah hingga berdarah-darah. Tak ada kah yang menghitung bila selama invasi ini, berapa banyak perempuan yang tewas untuk sesuatu yang tak mereka tau. Kalau kau pikir mereka senang dengan demokrasi, apa para perempuan di Irak yang mendadak jadi janda dapat terhapus air matanya hanya karena sarapan demokrasi yang bentuknya sama seperti leleran muntahan kucing? Apa softek bermotif bendera Amerika itu sudah pasti dapat menghapus air mata bocah-bocah yang kehilangan bapak?
Dulu, orang-orang masih percaya: seseorang bisa tidur nyenyak di malam hari karena ada satu atau sekelompok orang melakukan kekerasan di tempat lain. Tapi, bisakah kita tidur nyenyak dengan memaklumkan pembunuhan besar-besaran di tempat lain dengan cara invasi? Bisakah kita melegalkan sebuah pembantaian hanya karena demokrasi menjadi sesuatu yang mutlak dan telah diwariskan turun-temurun sejak di sekolah dasar sampai kita tua. Sehingga saat kita melihat keluar banyak pembantaian yang bukan lahir dari rahim demokrasi adalah salah. Meski apapun motifnya, segala macam pembantaian adalah salah, tapi yang ingin saya maksud adalah: bisakah kita bisa jujur dan mengakui bila demokrasi pernah punya sejarah dalam membuat kengerian di Irak. Ya, bisakah kemanusiaan kita berani menentang kebiadapan dari sumber manapun termasuk demokrasi?
Heh, dua aktivis pecandu bokep. Apa kau pikir Bush yang inverior seks itu hanya datang ke Irak untuk motif demokrasi? Apa kau pikir Bush tidak memperhitungkan berapa ganti rugi untuk setiap peluru yang ditembakkan, roket yang diluncurkan, dan ongkos serdadu yang modar karena ambisi tengik Bush. Apa kelak kita bisa menjamin pasca perang, kenyataan menggelikan hanyalah kerjasama pemerintah Irak (versi demokrasi) dengan Amerika untuk kerjasama ekonomi dan deal pengelolaan minyak?
Aku pikir, otak kalian sudah dipenuhi jembut hingga kalian tidak menghitung body cost dari sebuah perang. Apa kalian tidak berpikir berapa calo yang beredar untuk pemulihan sebuah negara dari keterpurukan? Apa kalian tidak berpikir bila segala kebijakan pasca perang dari pemimpin boneka tak lebih dari dagelan yang tergesa-gesa?
Heh, pemuda-pemuda yang lembut hatinya! Mungkin dengan mendukung tegaknya demokrasi merupakan sebuah pola kearifan tersendiri agar masyarakat dunia yang terus bertumbuh ini harus lebih disederhanakan. Mungkin dunia yang padat ini butuh ber KB, dimana salah satu metode KB yang dipakai adalah demokrasi dan metode KB lainnya adalah kediktatoran Saddam. Kalau kita mengatasnamakan nurani dan berkata tidak pada pembantaian model apapun, mestinya kita tidak bersyukur ada pembantaian dengan model demokrasi atau pun kediktatoran.
*
Tiba-tiba orasi Saiful Jamil telah usai. Buk warung sibuk berkemas-kemas sebelum tutup. Usai membayar, buk warung berkata dengan setengah mendesis, ”Pembantaian dunia akan terus berlangsung seperti sinetron. Diulang-ulang dengan berbagai dalih.”

Citra D. Vresti Trisna

1 komentar:

paket outbound mengatakan...

thanks gan atas infonya salam semangat

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.