![]() |
CL UB |
(CL,
Riwayatmu Kini)
Berawal
dari tempat ini saya mulai mencintai Kota Malang. Ya, CL adalah tempat terbaik
melibas bosan sambil ngopi, ngudut, baca buku, main catur dengan hape, atau
menebak-nebak nomor togel paling ciamik.
Awalnya,
saya kenal tempat ini saat masih di PPMI (organ absurd yang sekarang hampir
modar). Saat itu, kalau tidak salah, ada agenda rapat kerja PPMI sekaligus
konsolidasi. Dan orang yang berjasa dalam membuat saya mencintai CL adalah Andi
Mahifal, Sekjen PPMI, yang kerap menyebut dirinya sebagai: Aktivis Muda
Progresif Berbakat Multi Talenta (mati muda masuk tempo). Berkat pemuda
berpantat tepos dan kurus kering ini saya jadi senang berlama-lama di CL.
”Awak dewe ngopine neng CL wae. Enak! Nonton
arek wedok-wedok rokok an,” kata Buto Mubal, sapaan akrab Andi.
Sedangkan
pria yang pertama kali mengajak saya ke tempat ini adalah Fatur Rahman, aktivis
PPMI dari LPM Dians FIA UB, yang sekaligus menjadi kader organ berlambang Kebo,
sekaligus kader militan Partai Kaipang. Pria yang diduga pernah ritual tapa nggendeng ini mengajak ke CL untuk
menghibur saya dan Defy yang jengkel setengah mati lantaran semalaman ditelantarkan
di Terminal Arjosari, Malang, karena kebiadapan bokong Lukito. Pukul 00.00
Sekjen Kota Malang, pria yang sempat sudrun beberapa saat ini mengaku mencret
dan setelah itu tak ada kabar hingga pagi tiba. Dan setelah sampai di CL, Sekjen
PPMI Kota Malang yang pernah beken dengan penyakit hysteria kompleks ini hanya diam
dan murung. Yang paling menyebalkan, ketika diajak bicara, dia menampakkan
ekspresi aneh tanpa rasa bersalah. Sudah lupakan durjananya bokong Lukito, dan
kembali lagi soal CL.
Saat
itu, entah mengapa kata-kata Andi soal ”akeh
arek wedok rokok an” begitu mensugesti dan membuat saya selalu mampir ke CL
ketika datang ke Malang. Mungkin karena di kehidupan sebelumnya Andi adalah
seorang seles panci, sehingga promosinya soal CL membuat saya jadi ibu-ibu
berdaster yang mudah tersihir bualan kosong. Atau mungkin saya menyukai CL
karena saya teramat jengah dengan pemandangan kantin kampus saya yang sejak
dulu hanya dipenuhi perempuan berjilbab dengan make up menor. Padahal Trunojoyo bukan kampus Islam, dan perempuan
dengan hijab ala kadarnya itu tak bisa disimpulkan bila mereka alim. Karena track record dalam hal kamar kos juga
tidak kalah dengan kampus lain.
![]() |
CL Universitas Brawijaya |
Tapi,
bagi pria macam saya, melihat perempuan-perempuan merdeka yang bibirnya kebas-kebus asap rokok menjadi tontonan
yang melenakan dan langka. Saat itu, kendesoan saya yang kelewat batas membuat
saya menganggap perempuan perokok adalah sesuatu yang sakral. Meski, di rumah
kedua saya (baca: terminal mbungur) pengamen perempuan atau emak-emak penikmat nikotin
tak terbilang banyaknya. Tapi, dalam kasus perempuan kebas-kebus di CL entah
kenapa menjadi fenomena baru. Mungkin kebentoan dan inverioritas mahasiswa
pinggiran membuat saya mendefinisikan konsep perempuan cantik adalah mahasiswi
berbody semlohay, berparas cantik dan perokok. Karena di mata saya mahasiswi
cantik yang merokok itu MasyaAllah
seksinya. Serta bagi pria yang lumayan mesum seperti saya, perempuan yang
merokok itu nampak bergairah. Padahal di kota-kota besar banyak sosialita yang
merokok.
Alhasil,
perpaduan antara kendesoan dan tengiknya mental playboy membuat saya jadi ikut
bergairah ketika menyaksikan mereka ngobrol dan bicara soal kemapanan yang
melangit sembari sesekali menghisap rokok. Boleh jadi, perempuan yang merokok
di CL ini semacam Roro Mendut modern yang membuat saya jadi sering menelan
ludah dan tergelitik masuk dalam kehidupan mereka.
Perempuan
yang merokok di CL ini bias dibilang cukup berjasa dalam proses kreatif perjalanan-perjalanan. Karena berkat mereka,
saya jadi sadar. Begitu banyak tempat yang harus didatangi. Dan saya juga sadar
bila, hal-hal semacam ini tak hanya ada di CL UB, tapi di tempat lain juga tak
kalah banyak. Sehingga salah satu motif perjalanan saya waktu itu adalah
mencari kebas-kebus mahasiswi yang merokok di kantin. Meski saya sadari bila
hal ini aneh, tapi, ya, inilah saya.
Dan
perjalanan-perjalanan selanjutnya pun dimulai. Dari tempat ke tempat yang saya
singgahi, ada sedikit upaya untuk mencari CL baru. Dan saya berhasil, bahkan
aku pun dapat memacari beberapa Roro Mendut modern di sepanjang perjalanan.
***
Sebagaimana
hidup dan perjalanan yang butuh “puasa”, maka saya pun juga harus puasa dalam
hal perjalanan. Dan puasa saya waktu itu adalah mengerjakan skripsi (baca:
pembodohan sistemik) agar dapat ijasah. Lebaran yang saya dapat dari puasa saya
waktu itu adalah bertemu seorang perempuan asli Malang hingga saya ber PDKT dan
pacaran sebagai selayaknya remaja-remaja modern. Karena terus terang saya sudah
capek dengan kehidupan saya (yang meski masih muda, bisa dibilang cara hidup
saya ndeso).
Kini
saya kembali merindukan CL. Meski tak berniat mencari jodoh di CL, proses
ziarahku ke CL ini adalah semacam mencari asal-usul dari beberapa hal yang pernah
lahir di sini. Tapi, sebagaimana proses ziarah, selalu ada sedikit sesal di
dalamnya. Karena yang pasti dari ziarah hanya kehilangan.
Mungkin
CL bisa dibilang salah satu kampung halaman. Karena ada beberapa hal yang bisa
dibilang lahir di sini. Dan kini, ketika aku duduk di bangku yang pertama kali
kududuki, aku temukan segalanaya berubah. Mungkin waktu yang cemburu adalah
satu-satunya yang bersalah hingga membuat kampung saya berubah.
Jujur
saja ada sesal yang tertinggal. Di CL, aku tak lagi menemukan kebas-kebus asap
yang keluar dari bibir mahasiswi. Perokok perempuan seperti seperti lenyap
digantikan perempuan berjilbab bermuka menor dan perempuan ngalem berwajah
boneka. Ya, sekarang tempat ini tak ubahnya markas girl band dengan kosmetik setebal tembok.
Meski
sebelum saya datang kembali ke sini, kerap saya temui perempuan-perempuan yang
ngobrol dengan rokok terselip di lentik jarinya, tapi tetap saja tak sama. Seperti
kata padi, ”semua tak sama; tak pernah sama”. Dan sekarang, sembari menikmati
kopi pahit, saya temukan diri saya sendirian dan terasing sambil menunggu
kekasihku datang.
Mungkin
semua yang hilang di sini telah digantikan dengan yang baru: kekasih. Tapi,
meski tak sama, aku rasakan itu sepadan dan sudah menjadi garis Tuhan yang tak
perlu diperdebatkan macam mana yang lebih baik antara Jokowi atau Prabowo.
Ya,
sekarang saya masih tetap terasing sendiri diantara keramaian CL sambil ngudut dan menikmati kopi pahit. Saya
berharap di tengah-tengah ngopi, perempuan-perempuan perokok yang dulu sering
saya temui datang dan duduk di hadapanku. Tapi, perempuan-perempuan itu tak
pernah datang.
CL, 27 Oktober 2014
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.