Laman

Senin, 27 Oktober 2014

Kebas-kebus Rokok Kimcil CL


CL UB


(CL, Riwayatmu Kini)
Berawal dari tempat ini saya mulai mencintai Kota Malang. Ya, CL adalah tempat terbaik melibas bosan sambil ngopi, ngudut, baca buku, main catur dengan hape, atau menebak-nebak nomor togel paling ciamik.
Awalnya, saya kenal tempat ini saat masih di PPMI (organ absurd yang sekarang hampir modar). Saat itu, kalau tidak salah, ada agenda rapat kerja PPMI sekaligus konsolidasi. Dan orang yang berjasa dalam membuat saya mencintai CL adalah Andi Mahifal, Sekjen PPMI, yang kerap menyebut dirinya sebagai: Aktivis Muda Progresif Berbakat Multi Talenta (mati muda masuk tempo). Berkat pemuda berpantat tepos dan kurus kering ini saya jadi senang berlama-lama di CL.



Awak dewe ngopine neng CL wae. Enak! Nonton arek wedok-wedok rokok an,” kata Buto Mubal, sapaan akrab Andi.  
Sedangkan pria yang pertama kali mengajak saya ke tempat ini adalah Fatur Rahman, aktivis PPMI dari LPM Dians FIA UB, yang sekaligus menjadi kader organ berlambang Kebo, sekaligus kader militan Partai Kaipang. Pria yang diduga pernah ritual tapa nggendeng ini mengajak ke CL untuk menghibur saya dan Defy yang jengkel setengah mati lantaran semalaman ditelantarkan di Terminal Arjosari, Malang, karena kebiadapan bokong Lukito. Pukul 00.00 Sekjen Kota Malang, pria yang sempat sudrun beberapa saat ini mengaku mencret dan setelah itu tak ada kabar hingga pagi tiba. Dan setelah sampai di CL, Sekjen PPMI Kota Malang yang pernah beken dengan penyakit hysteria kompleks ini hanya diam dan murung. Yang paling menyebalkan, ketika diajak bicara, dia menampakkan ekspresi aneh tanpa rasa bersalah. Sudah lupakan durjananya bokong Lukito, dan kembali lagi soal CL.
Saat itu, entah mengapa kata-kata Andi soal ”akeh arek wedok rokok an” begitu mensugesti dan membuat saya selalu mampir ke CL ketika datang ke Malang. Mungkin karena di kehidupan sebelumnya Andi adalah seorang seles panci, sehingga promosinya soal CL membuat saya jadi ibu-ibu berdaster yang mudah tersihir bualan kosong. Atau mungkin saya menyukai CL karena saya teramat jengah dengan pemandangan kantin kampus saya yang sejak dulu hanya dipenuhi perempuan berjilbab dengan make up menor. Padahal Trunojoyo bukan kampus Islam, dan perempuan dengan hijab ala kadarnya itu tak bisa disimpulkan bila mereka alim. Karena track record dalam hal kamar kos juga tidak kalah dengan kampus lain.
CL Universitas Brawijaya
Tapi, bagi pria macam saya, melihat perempuan-perempuan merdeka yang bibirnya kebas-kebus asap rokok menjadi tontonan yang melenakan dan langka. Saat itu, kendesoan saya yang kelewat batas membuat saya menganggap perempuan perokok adalah sesuatu yang sakral. Meski, di rumah kedua saya (baca: terminal mbungur) pengamen perempuan atau emak-emak penikmat nikotin tak terbilang banyaknya. Tapi, dalam kasus perempuan kebas-kebus di CL entah kenapa menjadi fenomena baru. Mungkin kebentoan dan inverioritas mahasiswa pinggiran membuat saya mendefinisikan konsep perempuan cantik adalah mahasiswi berbody semlohay, berparas cantik dan perokok. Karena di mata saya mahasiswi cantik yang merokok itu MasyaAllah seksinya. Serta bagi pria yang lumayan mesum seperti saya, perempuan yang merokok itu nampak bergairah. Padahal di kota-kota besar banyak sosialita yang merokok.
Alhasil, perpaduan antara kendesoan dan tengiknya mental playboy membuat saya jadi ikut bergairah ketika menyaksikan mereka ngobrol dan bicara soal kemapanan yang melangit sembari sesekali menghisap rokok. Boleh jadi, perempuan yang merokok di CL ini semacam Roro Mendut modern yang membuat saya jadi sering menelan ludah dan tergelitik masuk dalam kehidupan mereka.
Perempuan yang merokok di CL ini bias dibilang cukup berjasa dalam proses kreatif  perjalanan-perjalanan. Karena berkat mereka, saya jadi sadar. Begitu banyak tempat yang harus didatangi. Dan saya juga sadar bila, hal-hal semacam ini tak hanya ada di CL UB, tapi di tempat lain juga tak kalah banyak. Sehingga salah satu motif perjalanan saya waktu itu adalah mencari kebas-kebus mahasiswi yang merokok di kantin. Meski saya sadari bila hal ini aneh, tapi, ya, inilah saya.
Dan perjalanan-perjalanan selanjutnya pun dimulai. Dari tempat ke tempat yang saya singgahi, ada sedikit upaya untuk mencari CL baru. Dan saya berhasil, bahkan aku pun dapat memacari beberapa Roro Mendut modern di sepanjang perjalanan.
   ***
Sebagaimana hidup dan perjalanan yang butuh “puasa”, maka saya pun juga harus puasa dalam hal perjalanan. Dan puasa saya waktu itu adalah mengerjakan skripsi (baca: pembodohan sistemik) agar dapat ijasah. Lebaran yang saya dapat dari puasa saya waktu itu adalah bertemu seorang perempuan asli Malang hingga saya ber PDKT dan pacaran sebagai selayaknya remaja-remaja modern. Karena terus terang saya sudah capek dengan kehidupan saya (yang meski masih muda, bisa dibilang cara hidup saya ndeso).
Kini saya kembali merindukan CL. Meski tak berniat mencari jodoh di CL, proses ziarahku ke CL ini adalah semacam mencari asal-usul dari beberapa hal yang pernah lahir di sini. Tapi, sebagaimana proses ziarah, selalu ada sedikit sesal di dalamnya. Karena yang pasti dari ziarah hanya kehilangan.  
Mungkin CL bisa dibilang salah satu kampung halaman. Karena ada beberapa hal yang bisa dibilang lahir di sini. Dan kini, ketika aku duduk di bangku yang pertama kali kududuki, aku temukan segalanaya berubah. Mungkin waktu yang cemburu adalah satu-satunya yang bersalah hingga membuat kampung saya berubah.
Jujur saja ada sesal yang tertinggal. Di CL, aku tak lagi menemukan kebas-kebus asap yang keluar dari bibir mahasiswi. Perokok perempuan seperti seperti lenyap digantikan perempuan berjilbab bermuka menor dan perempuan ngalem berwajah boneka. Ya, sekarang tempat ini tak ubahnya markas girl band dengan kosmetik setebal tembok.
Meski sebelum saya datang kembali ke sini, kerap saya temui perempuan-perempuan yang ngobrol dengan rokok terselip di lentik jarinya, tapi tetap saja tak sama. Seperti kata padi, ”semua tak sama; tak pernah sama”. Dan sekarang, sembari menikmati kopi pahit, saya temukan diri saya sendirian dan terasing sambil menunggu kekasihku datang.
Mungkin semua yang hilang di sini telah digantikan dengan yang baru: kekasih. Tapi, meski tak sama, aku rasakan itu sepadan dan sudah menjadi garis Tuhan yang tak perlu diperdebatkan macam mana yang lebih baik antara Jokowi atau Prabowo.   
Ya, sekarang saya masih tetap terasing sendiri diantara keramaian CL sambil ngudut dan menikmati kopi pahit. Saya berharap di tengah-tengah ngopi, perempuan-perempuan perokok yang dulu sering saya temui datang dan duduk di hadapanku. Tapi, perempuan-perempuan itu tak pernah datang.
CL, 27 Oktober 2014
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.