Tidak ada lebih
puitis dari berada diantara dua pemuda yang sedang berdiskusi dengan semangat
membara.
Pemuda I: ”Apa kau tidak sinting, hah? Bagaimana
mungkin rakyat bisa benar-benar berdaulat tanpa ada demokrasi? Hellow...!
Jangan mimpi kau. Apa kau lupa bagaimana keadaan kita sebelum revormasi?”
Pemuda II: ”Bukan begitu, bro. Aku percaya demokrasi
adalah jalan menuju rakyat yang berdaulat. Tapi, bagaimana kita bisa membawa
demokrasi masuk ke dalam sebuah negara yang pemimpinnya terlanjur otoriter?
Misal, nih, ya. Kalau kita dipimpin Prabowo, sudah barang tentu negara ini akan
menjadi seperti masa Orba. Lha, kalau sudah begitu apa yang bisa dilakukan mahasiswa
untuk mengembalikan demokrasi? Nah, itu yang saya maksud....”
*
Suatu ketika
dimalam lelah, saya terjebak pada diskusi dua pemuda di warung kopi dekat
Kampus Unair. Saya tidak pernah mengenal mereka. Sehingga dalam diskusi itu
saya hanya menjadi penonton yang mengantuk karena tak tertarik pada apa yang mereka
bicarakan. Tapi, bagaimana pun juga
sebagai orang yang pernah muda dan labil, saya terpaksa tidak pindah
tempat dan sedikit menyimak apa yang mereka perdebatkan.
Bukankah
akhir-akhir ini sudah jarang ditemukan pemuda yang serius berdiskusi kecuali soal
kamar kos yang hangat?
Waktu itu,
perhatian saya terpecah antara diskusi mereka dan sinetron di tipi yang
kebetulan ditonton dengan khusuk oleh pemilik warung. Terus terang, waktu itu
tayangan sinetron lebih membius kesadaran saya ketimbang debat kusir dua pemuda
tadi. Selain itu, yang membuat saya semakin betah nongkrong adalah cara dua
pemuda tadi menyindir saya yang sedang asyik hanyut dalam sinetron. Karena selain berdiskusi, sesekali mereka
nyeletuk soal cerdas media dan pembodohan televisi dengan suara yang agak
dikencang-kencangkan agar kita yang rame-rame menonton sinetron di tipi jadi insap.
Tapi, rupanya
mereka berdua salah orang. Jangan panggil saya Dalbo kalau kuping saya panas
hanya karena disindir. Justru saat itu, saya malah makin semangat menonton
sinetron dan nyeletuk balik: ”Oalah, buk.
Saknone lakone mati. Seng nangis niku bojone seng mati wau ta? (Oh, bu.
Kasihan jagoannya mati. Itu yang nangis istrinya yang mati tadi kah?)” tanyaku
ke buk warung dengan suara dikeras-keraskan.
”Enggeh, wuuu kulo nggeh gregeten kale seng
wedok niki. Wes dikandani bojone gak ngereken, saiki mati ditangisi. Kapok koen
saiki nangisi bojomu (Iya, wuuu saya juga jengkel sama yang perempuan ini.
Sudah dibilangi tidak mau dengar, sekarang mati ditangisi. Rasakan kamu
sekarang menangisi suamimu).” Jawab buk warung. Saya semakin senang karena buk
warung menanggapi saya dan semakin buat dua pemuda tadi panas.
”Acara niki bendinten ta? Kok sae. Kulo
mboten nate nontok seng niki. Timbangane
nontok berita seng elek-elek, kulo tasih remen sinetron (Acara ini setiap
hari kah? Kok bagus. Saya tidak pernah lihat yang ini. Daripada melihat berita
yang jelek-jelek, saya lebih senang melihat sinetron)”
”Lho... Emane. Apik acara iki. Cumak yo rodok
nggregetno bojone seng mati maeng. Wingi malah wapik mas, seng mati wau mateni
bojone seng wedok klambi abang seng jahat. Sak iki ceritane balas dendam
(Lho... Sayang sekali. Bagus acara ini. Hanya saja agak menjengkelkan istrinya
yang mati tadi. Kemarin malah bagus, mas, yang mati tadi bunuh istrinya
perempuan baju merah yang jahat tadi. Ini ceritanya balas dendam)”
”Halah, mas. Sami mawon. Kadang-kadang bapak
e niku nek kulo pas nontok nggeh ngganti sak enak e dewe. Pokok e nek wes onok
bal-balan karo berita-berita ngunu, wes gak ngreken kiwo tengen ( Ah sama
saja, mas. Kadang-kadang suami saya juga suka mengganti se enaknya sendiri.
Pokoknya kalau sudah ada acara sepak bola atau berita gitu, sudah tidak
menghiraukan kiri-kanan)” tambah buk warung.
—Nah, modar ora raimu, ndeng-gendeng—
Obrolan saya
dengan buk warung tadi telah saya pastikan bisa membuat membuat dua aktivis
tadi hilang fokus dan kuping panas. Buktinya selama saya berdialog, dua orang
tadi diam mendengarkan. Padahal sebelumnya mereka nyerocos. Setelah saya
bicara, dua pemuda tadi geleng-geleng kepala. Mungkin karena tak habis pikir
dengan saya.
”Niki lo, mas. Sinetrone sae. Sampean nontok
o disek. Engko sue-sue lak seneng. Timbang sampean ngomong ngalor ngidul (Ini,
mas. Sinetronnya bagus. Kamu nonton saja dulu. Nanti lama-lama pasti suka.
Daripada kamu bicara kesana-kemari tak jelas)” goda saya ke dua pemuda tadi.
Mereka berdua
tak menanggapi kata-kata saya. Hanya aku lihat salah seorang pemuda melongo dan
menatap saya tak suka. Sementara kawannya hanya tertawa tertahan.
Dan setelah
sukses membuat dua pemuda tadi jengkel, saya pun kembali diam. Saya jadi tak
tega dengan dua pemuda tadi yang dibakar kejengkelan. Saya tidak peduli karena
saya senang. Dan tak lama kemudian, dua pemuda tadi melanjutkan diskusinya.
Pemuda I: ”Blablablabl ablablabla*( %&#(#(*
(#)@#$%blablabla ))(####(*%$&* ()#)++##(%co k4934(*)#*%&asu008**%)”
Pemuda II: ”BlaBlaBlaB laBlagatel)*&
^$#@*@telek* &^$(@jembut**&* @))&&^gar1n6*&^##”
*
Saya tak tau
dari mana muaranya, tapi tiba-tiba pembicaraan dua pemuda tadi merembet sampai
kemana-mana, sampai soal Saddam.
”Tapi, yang
jelas, bro. Hal-hal yang patut disyukuri dari invasi Amerika ke Irak—terlepas
benar-salah dan omong kosong senjata pemusnah massal—adalah Rezim Saddam
dibabat habis. Demokrasi yang diidam-idamkan rakyat Irak dapat terealisasi
meski untuk membayar demokrasi itu harus berdarah-darah,” kata seorang pemuda.
”Iya juga sih.
Saya memang tak sepakat dengan invasi itu. Tapi, bagaimanapun juga invasi itu
sudah terjadi. Berdarah, memang. Tapi, masyarakat harus mengambil hikmah dari
runtuhnya Saddam, yakni: demokrasi terwujud,” ujar pemuda lainnya, menimpali.
Nah, ini baru
namanya cok. Setelah tidak konsen
nonton sinetron gara kepikiran kata-kata dua pagebluk ini, saya memutuskan untuk ikut campur dalam diskusi
mereka. Tapi, sialnya, sebelum saya gabung, dua pemuda tadi membayar kopi yang
mereka pesan. Su!
Kini giliran aku
dibakar amarah. Mataku buram. Kepalaku berdenyut-denyut menyaksikan betapa suuempak-nya kata-kata dua pemuda tadi.
Saat mataku tertuju pada tipi,
samar-samar aku lihat Saiful Jamil joget di acara ndangdut. Dia nampak hot
dengan stelannya. Apalagi di samping Saiful Jamil ada Ivan Gunawan dengan kaus
yang dadanya terbuka lebar.
Ya, sinetronnya
memang telah selesai dan buk warung menggantinya dengan acara ndangdut, tapi, yang bikin aku merinding
adalah wajah Saiful Jamil yang tiba-tiba berjenggot macam orang arab. Mataku
masih berkunang-kunang. Sehingga aku lihat dan mendengar Saiful Jamil
membacakan sebuah naskah. Kira-kira begini yang dibaca Saiful Jamil:
Memang Saddam
bukan seorang santo. Meski demikian, dia dipuji dan mendapat kejayaan sebagai
seorang diktator yang sukses di Irak. Aku pikir, di Irak tak banyak persoalan
yang timbul karena kediktatorannya. Kecuali Amerika yang sudah tak tahan dengan
Saddam yang menolak tunduk dan menerapkan demokratisasi Irak.
Sebenarnya tak
ada masalah dengan presiden berjenggot tebal ini, kecuali kita di sini sibuk mengkritik
apa yang dia lakukan.
Indonesia adalah
negara cukup besar yang kaya akan tambang dan sumber daya manusia
masalah namun dermawan dan perhatian pada urusan orang lain serta dapur orang
planet. Kurang bangkrut apa negara ini? Tapi, meski demikian, ternyata kita masih
bisa memperdebatkan: apakah kediktatoran Saddam pantas dihadiahi moncong senapan
oleh Amerika yang kalap? Tapi pernahkah anda mendiskusikan tentang bagaimana
sistem pemerintahan di Arab? Pernahkah kalian mendiskusikan mengapa tidak
pernah ada serbuan ke Arab meski sejak dulu tak pernah ada demokratisasi
diterapkan? Atau mungkin mendiskusikan, mengapa Arab—yang bukan negara
demokrasi—menyediakan tanahnya untuk jadi pangkalan sebelum menghabisi Irak?
Pernahkah kalian berpikir bila apa yang terjadi di Irak adalah murni penerapan
demokratisasi atau perampokan yang sistematis, memalukan dan merendahkan
nurani?
Ya, mungkin ini
yang disebut orang tua dulu sebagai sifat bajingan paling modern. Di satu sisi
kita diam; tak melakukan apapun, tapi di sisi lainnya kita jadi penghujat yang
taat seakan-akan kita pernah merasakan diperintah oleh Saddam.
Siapa yang
peduli seseorang itu melakukan penindasan dan opresi pada rakyat. Bukankah
menindas atau tidak itu bergantung dari rakyat yang merasakan pemerintahan Saddam.
Kalau mereka merasa Saddam adalah bajingan yang otoriter, tapi di sisi lain dia
mambawa manfaat bagi rakyatnya lewat kebijakan-kebijakan yang pro kemajuan
rakyat. Apa itu salah?
Bukankah dalam
sekali hidup tak ada kebaikan dan kedurjanaan yang berjalan beriringan?
Bukankah baik-buruk adalah subjektivitas yang tak pernah kita pahami dengan
baik. Dan sementara kita tak dapat memutuskan dan memilah baik-buruk, tapi
dunia terus saja mendesak dan memaksa kita untuk memilih: memihak atau mengutuk
Saddam.
Kalau suatu
ketika rakyat Irak merasa Saddam tak pantas diturunkan, mengapa pula kita yang
mesti ribut dan merasa seakan-akan kita adalah pihak yang paling sah menghakimi
Saddam lalu merasa diri sudah paling pantas menembak biji mata Saddam dengan
pistol air cabe. Kalau rakyat Irak merasa Saddam pantas diturunkan, tapi sedang
tak punya daya melawan kebengisan Saddam, toh dunia selalu menunjukkan siapa
yang terbaik.
Ah, dasar
aktivis demokrasi laknat. Kau sumbat dengan sampah macam apa otak dan nuranimu
hingga kau bisa memaklumkan sebuah negara diporakporandakan tank demi tegaknya
demokratisasi? Apa tak pernah dihitung bila akibat agresi ini banyak kepala
bocah-bocah yang kepalanya terbelah hingga berdarah-darah. Tak ada kah yang
menghitung bila selama invasi ini, berapa banyak perempuan yang tewas untuk
sesuatu yang tak mereka tau. Kalau kau pikir mereka senang dengan demokrasi,
apa para perempuan di Irak yang mendadak jadi janda dapat terhapus air matanya
hanya karena sarapan demokrasi yang bentuknya sama seperti leleran muntahan
kucing? Apa softek bermotif bendera Amerika itu sudah pasti dapat menghapus air
mata bocah-bocah yang kehilangan bapak?
Dulu,
orang-orang masih percaya: seseorang bisa tidur nyenyak di malam hari karena
ada satu atau sekelompok orang melakukan kekerasan di tempat lain. Tapi,
bisakah kita tidur nyenyak dengan memaklumkan pembunuhan besar-besaran di
tempat lain dengan cara invasi? Bisakah kita melegalkan sebuah pembantaian
hanya karena demokrasi menjadi sesuatu yang mutlak dan telah diwariskan
turun-temurun sejak di sekolah dasar sampai kita tua. Sehingga saat kita
melihat keluar banyak pembantaian yang bukan lahir dari rahim demokrasi adalah
salah. Meski apapun motifnya, segala macam pembantaian adalah salah, tapi yang
ingin saya maksud adalah: bisakah kita bisa jujur dan mengakui bila demokrasi
pernah punya sejarah dalam membuat kengerian di Irak. Ya, bisakah kemanusiaan
kita berani menentang kebiadapan dari sumber manapun termasuk demokrasi?
Heh, dua aktivis
pecandu bokep. Apa kau pikir Bush yang inverior seks itu hanya datang ke Irak
untuk motif demokrasi? Apa kau pikir Bush tidak memperhitungkan berapa ganti
rugi untuk setiap peluru yang ditembakkan, roket yang diluncurkan, dan ongkos
serdadu yang modar karena ambisi
tengik Bush. Apa kelak kita bisa menjamin pasca perang, kenyataan menggelikan
hanyalah kerjasama pemerintah Irak (versi demokrasi) dengan Amerika untuk kerjasama
ekonomi dan deal pengelolaan minyak?
Aku pikir, otak
kalian sudah dipenuhi jembut hingga
kalian tidak menghitung body cost
dari sebuah perang. Apa kalian tidak berpikir berapa calo yang beredar untuk
pemulihan sebuah negara dari keterpurukan? Apa kalian tidak berpikir bila
segala kebijakan pasca perang dari pemimpin boneka tak lebih dari dagelan yang
tergesa-gesa?
Heh,
pemuda-pemuda yang lembut hatinya! Mungkin dengan mendukung tegaknya demokrasi
merupakan sebuah pola kearifan tersendiri agar masyarakat dunia yang terus
bertumbuh ini harus lebih disederhanakan. Mungkin dunia yang padat ini butuh
ber KB, dimana salah satu metode KB yang dipakai adalah demokrasi dan metode KB
lainnya adalah kediktatoran Saddam. Kalau kita mengatasnamakan nurani dan
berkata tidak pada pembantaian model apapun, mestinya kita tidak bersyukur ada
pembantaian dengan model demokrasi atau pun kediktatoran.
*
Tiba-tiba orasi
Saiful Jamil telah usai. Buk warung sibuk berkemas-kemas sebelum tutup. Usai
membayar, buk warung berkata dengan setengah mendesis, ”Pembantaian dunia akan
terus berlangsung seperti sinetron. Diulang-ulang dengan berbagai dalih.”
Citra D. Vresti
Trisna
1 komentar:
thanks gan atas infonya salam semangat
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.