Laman

Rabu, 19 Juli 2017

Perempuan Baik di Pasar Jalanan Gelap

#DUDAKARTAdanJAKARTA9
Citra D. Vresti Trisna

Yang menyenangkan sepulang ngantor adalah melewati sepanjang jalan samping sungai di belakang studio Indosiar hingga tembus ke Mall Ciputra. Di sana berdiri mbak-mbak yang wangi. Bajunya aduhai dengan sorot mata yang peka pada lirikan pejalan yang melintas. Untuk hal seperti ini Dalbo tidak pernah ketinggalan. Sehingga eksistensinya ia luapkan dalam bentuk menyapa mereka yang berdiri menunggu tamu. Tapi sialnya Dalbo ini tergolong pemalu, sehingga sapaan itu selalu dalam hati, ”Assalamualaikum, mbak.”
Monggo, mas, 300 ribu saja,” jawab mbak-mbak dari langit ini juga dalam hati. Begitu tahu salamnya berbalas, Dalbo menggeber gas motornya kencang-kencang dan berlalu. Meski begitu, apa Dalbo benar-benar melepaskan para bidadari itu? Tidak! Ingatan tentang bidadari itu selalu dibawa pulang, minimal sampai depan pintu gerbang kos, mbak itu disuruh pergi.
Mungkin di zaman modern ini, hampir seluruh perempuan dewasa sudah hafal isi kepala lelaki. Kalau tidak tentang anu, ya, anu lainnya. Apalagi lelaki itu hidup di kota besar dimana banyak sekali dijumpai mbak-mbak baik hati yang bisa “begitu-begitu” tanpa cinta. Jadi kalau ada pria yang mampu setia dengan satu perempuan di kota besar sudah tentu dia patut dapat nobel ngempet radikal in this year.

Jadi kalau ada teman Wak Dalbo yang kebetulan suka menerima kebaikan mbak-mbak di pinggir jalan atau panti pijat, tentu Dalbo bisa memaklumi. Dalbo berbaik sangka bila para lelaki itu sedang melakukan observasi soal dalamnya kebahagiaan hakiki, tingkat kefanaan penetrasi beberapa menit dan menangkap sekaligus mempelajari sekelumit sesal setelah menggapai puncak di ladang yang bukan miliknya.
Dalbo juga yakin bila para lelaki yang suka menerima kebaikan itu juga tergerak apabila melihat mbak-mbak yang terbungkus rapi dalam jilbab. Ia tak meragukan kemampuan imajinasi lelaki yang mampu menembus jilbab itu dan menjadikan perempuan itu miliknya, meski hanya dalam angan. Tapi yang membedakan mbak-mbak yang jilbabnya brukut ini tentu lebih sulit dibayangkan ketimbang mbak-mbak menor yang begitu ramah ke tiap lelaki.
Tidak semua mbak-mbak berjilbab itu pelit ke lelaki yang bukan suaminya, karena nyatanya, ya, ada saja diantara mereka yang baik ke tiap lelaki. Meski, mungkin hanya sebagian kecil saja. Dalbo pun pernah berpikir: mengapa tidak semua perempuan baik kepada lelaki? Mengapa sebagian besar yang baik hanya yang berjajar di kegelapan jalan di belakang Indosiar atau di Mangga Besar atau tempat lainnya? Pertanyaan yang mudah itu cepat saja ia jawab sambil njundu kepalanya sendiri, “ya, tentu saja mereka hanya baik ke suaminya, gimana, sih? Goblok bener kamu ini Bo-Dalbo!”
“Kalau begitu, mengapa mereka tidak ingin berpakaian sebagaimana mbak-mbak baik hati itu?” Tanya Dalbo pada dirinya. “Padahal para lelaki justru menginginkan yang nampak kinyis-kinyis, bau semerbak dan dengan pakaian yang tidak sulit diakses. Bahkan mungkin suami para mbak berjilbab juga berpikir demikian. Kenapa, ya?” Ia kembali bertanya pada dirinya.
Karena Dalbo sedang cerdas, maka saat itu juga mendapat jawaban. Ia sadari bila yang menyenangkan dari jilbab, selain itu menaati perintah Allah, adalah misteri di dalamnya. Jilbab adalah sesuatu yang menyelubungi dan membuat pemakainya diliputi “misteri”. Bukankah banyak anugrah dari Allah dilimpahkan dalam bentuk misteri: Al Qur’an dengan misteri kebenaran tafsir, akal manusia, kejutan-kejutan dari Dia, dan alam semesta. Kalau tubuh manusia terdiri dari 80 persen air, cinta itu terdiri dari 80 persen misteri.
Kalau pada akhirnya mbak-mbak berjilbab itu memutuskan hanya memberikan dirinya pada suami itu wajar. Karena secara tidak langsung mereka menghadirkan cinta; misteri yang akan disibak dengan debaran dari sang suami. Misteri dan cinta hanya dihadirkan pada sesuatu yang benar-benar prinsipil dan tidak untuk dipajang di pasar jalanan gelap. Sehingga untuk mendapatkan misteri itu, perlu perjuangan, pengorbanan dan biaya yang tidak murah. Dan kalau pun pria sudah bisa mendapatkan, bukan tidak mungkin juga masih belanja. Sehingga untuk menepis pertanyaan: apakah suaminya selain makan di rumah, juga masih jajan, akan diajawab dengan iman, atau rasa percaya di sekala yang lebih kecil. Karena misteri adalah bentuk lain dari cinta, yang tentu saja perlu dibarengi dengan iman.
Lain halnya dengan mbak-mbak baik yang menyajikan kebaikan mereka kepada tiap pria dengan rasa ingin tahu yang tinggi? “Keterbukaan” mbak-mbak itu adalah kemegahan dan daya tarik. Semakin terbuka, kadang semakin memantapkan niat customer. Tapi bagaimana pun juga keterbukaan yang minim misteri itu dihadirkan untuk sesuatu yang tidak prinsipil. Karena bukan pria itu yang diinginkan, tapi uang mereka. Jadi wajar saja, kalau perempuan itu tak memberikan suguhan tambahan kecuali sedikit sesal dan rasa plong usai pertempuran.

Dudakarta, Rabu Kliwon, Juli 2017
Citra D. Vresti Trisna 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.