Laman

Jumat, 22 September 2017

Kencing Warna Ungu dan Toilet Jakarta

#DUDAKARTAdanJAKARTA10
Citra D. Vresti Trisna


Ketika buang air di sebuah mall, mata Wakebol nampak serius membaca-baca tulisan tentang indikator urine dan sesekali melihat warna urinenya. ”Mbong, warna urinmu apa?” tanya Wakebol ke Mas Rombong yang juga sedang buang air di sebelahnya. Karena tak kunjung dapat jawaban, kepala Wakebol melongok ke urinoir sebelahnya.
”Buseeeet... Warna urinemu kok sangar yah? Warnanya ungu! Ndak ada di indikator,” kata Wakebol terheran-heran. Melihat Wakebol yang melongo melihat warna kencingnya, Mas Rombong pasang muka stay cool dan menyelesaikan kencingnya lalu mengambil air di wastafel dan cebok.
Sontak saja cleaning service yang melihat sikap Mas Rombong langsung geregetan dan tak bisa menahan diri. ”Mas, itu bisa keluar air sendiri kok malah ke wastafel ambil air? Ndak sopan!” Protes ob.
Gundulmu! Saya ndak ngerti. Meski bisa keluar air sendiri, saya ndak mau memasrahkan urusan cebok saya dengan mesin yang ndak punya rasa-pirasa. Alat kencing ini ndak tau apakah saya sudah merasa cukup bersuci atau belum. Salah siapa bikin alat kencing kaya gini?” kata Mas Rombong yang tak mau kalah.

”Ndeso!”
”Kalau saya ndeso, mau apa kamu?” Tantang Mas Rombong. ”Kalau urusan bersuci, mending kita duel,” lanjutnya.
Ketika kondisi makin memanas, Wakebol berusaha menahan Mas Rombong agar jangan sampai berkelahi di mall. Ia mengambil inisiatif untuk melerai dan mengajak Mas Rombong keluar sambil menyalami ob uang dua puluh ribu sebagai tanda damai. Karena masih tidak terima, Mas Rombong terus ngomel. Sebagai orang yang paling mengerti kehidupan dunia modern, Wakebol berusaha menenangkan Mas Rombong.
”Kalau nantinya saya tak bisa sholat karena najis, apa ob itu mau menaggung dosa? Dasar sontoloyo!”
Mbah Ripul yang menunggu di luar, bertanya mengapa Mas Rombong marah-marah dan Wakebol menceritakan kejadian di dalam toilet. ”Sudah-sudah, besok kalau sudah punya uang sendiri, kita bikin saja mall sendiri; bikin mall yang paham urusan paling remeh kaya buang air kecil,” kata Mbah Ripul.
Selain wudhu dan sholat, Mas Rombong hanya bisa diredam emosinya dengan nguntal sesuatu. Akhirnya, mereka bertiga nyangkruk di lapak penjual donat.
”Lha iya, mbah. Katanya modern kok urusan kencing yang jadi kegiatan rutin saja masih bodoh. Apanya yang modern?” kata Mas Rombong sambil mulutnya penuh nguntal donat dan makan es cream.
Mbah Ripul mengingatkan Mas Rombong agar sabar dengan kehidupan di Jakarta. Ia paham mengapa Mas Rombong marah, tapi ia juga menyalahkan temannya karena harus ribut dengan ob. Karena, menurutnya, ob hanya menjalankan tugas. Di mall itu, ob cari makan dengan membersihkan toilet dan lantai sehingga tidak punya kuasa untuk mendesain tempat kencing yang ideal. Ob tidak bisa memilih apa yang akan dibersihkan.
Tempat kencing di mall besar didesain untuk mewadahi kemalasan manusia-manusia kota yang kebanyakan teramat malas bersuci dan tidak punya urusan bersuci. Kalau pun hendak membuat toilet yang memungkinkan bersuci dengan sempurna, tentu saja itu jadi masalah tersendiri. Mereka tidak ingin mallnya sepi pengunjung hanya karena urusan buang hajat.
”Kelak, kalau kemalasan warga kota sudah meningkat 200 persen, pekerjaan ob adalah menceboki orang yang hendak ke toilet. Jadi bukan toiletnya saja yang dibersihkan, anu dan pantat orang yang buang hajat akan dibersihkan sebagai bagian dari service plus-plus kepada pengunjung. Bahkan pengunjung mall, bisa pilih dibersihkan dengan ob wanita, pria atau wandu,” kata Mbah Ripul.
”Hahaha...!? Kalau bakal seperti ini, saya akan rajin kencing,” kata Wakebol.
Mas Rombong yang sudah reda ikut menimpali. ”Kalau begitu, kamu bukan kencing di toilet, tapi mengencingi.”
”Mbong, kok tadi kencingmu bisa warna ungu sih?”
Mendengar pertanyaan Wakebol, Mas Rombong senyum-bangga. ”Warna kencing saya tak ingin diterka dengan dunia kesehatan modern. Ndak perlu sok mengurai dan menganalisis warna air kencing kalau belum mampu bikin toilet bagus. Lagi pula bagaimana mungkin rekomendasi yang ditawarkan indikator kencing itu adalah banyak minum air putih. Tubuh butuh sepertiga air, makanan dan udara. Terlebih urusan kesehatan dan berbagai indikatornya ada di dalam pikiran. Jadi kesehatan tak hanya cukup dengan indikator warna urine,” jelas Rombong.
Wakebol manggut-manggut tanda mengerti. ”Kalau arahan harus minum air delapan gelas sehari itu bagaimana, Mbong? Tanya Wakebol.
”Itu lebih sinting lagi. Yang perlu dilakukan manusia agar tetap ’sehat’ adalah minum air putih segelas tapi dengan rasa syukur hingga delapan kali itu yang masuk akal.”
”Jadi itu sebabnya, kencing sampean berwarna ungu?” Kejar Wakebol. Mas Rombong tidak menjawab lagi dan hanya manggut-manggut. ”Oalah, bisa sinting aku Mbong dengarkan omonganmu,” kata Wakebol.


Jumat Kliwon, September 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.