Laman

Minggu, 16 Februari 2014

Puritanisme, Walisongo, dan Syiah

Saya membayangkan bagaimana mungkin seseorang melakukan perjalanan kaki menempuh ratusan kilometer demi sebuah keyakinan. Sebagaimana pada tahun 1558-1603, pada masa pemerintahan ratu Elisabeth I, kaum puritan yang tidak senang dengan apa yang dipraktekkan oleh Gereja Inggris (Anglican Church) memilih untuk bermigrasi ke Amerika untuk memurnikan doktrin dari Gereja Anglikan tersebut.
Di dunia baru tersebut, kaum puritan tidak menutup mata dengan dunia baru yang kini mereka tempati. Mereka pun paham dengan beragamnya masyarakat di Amerika pada waktu itu; yang terdiri dari koloni-koloni. Tapi, sepertinya di dunia baru tersebut, nasib berpihak pada kaum puritan. Paham yang mereka ajarkan pada koloni-koloni di Amerika menyebar hampir ke seluruh wilayah. Dan waktu itu puritanisme menjadi penting di Amerika karena dicatat dalam sejarah.
Kaum puritan datang ke Amerika dengan impian (dream) di bawah pimpinan Wiliam Bredford bermukim di Plymouth pada tahun 1960. Imigran ini datang ke Amerika dengan cita-cita hidup bermasyarakat di bawah sebuah pemerintahan yang diatur berdasarkan agama; sebuah pemerintahan dengan prinsip teokrasi. Yang dalam perkembangannya kemudian bernama religion intolerance.
Putitanisme adalah perpaduan antara gerakan agama dan sekaligus (dapat disebut) politik yang berkembang di Inggris pada abad 16 dan kemudian berkembang luas di Amerika. Puritanisme menjadi sebuah gerakan politik ketika situasi masyarakat berada di titik kulminasi rasa jengah pada kelas-kelas sosial; terutama kelas yang bersumber dari  gereja (pendeta). Sehingga datangnya puritanisme waktu itu dianggap sebagai jawaban dari konsep keberagamaan yang dicita-citakan: setiap orang punya posisi yang sama di mata Tuhan.
Menurut Martin Luther, salah satu tokoh puritanisme, menyumbangkan sesuatu yang penting dalam konsep kependetaan. Menurutnya,  seorang pendeta hanya seseorang yang terdidik dalam agama, dan mereka ada untuk mengajarkan agama pada yang bukan pendeta. Sehingga di mata Tuhan, seseorang itu pendeta atau bukan, memiliki posisi yang sama.
Pada awalnya saya masih terus berpikir, mengapa di abad 17 agama masih merupakan sesuatu yang jadi ”prioritas” dan sangat prinsipil. Tapi, ternyata religiusitas dan fundamentalisme hanya bisa dipicu dan digerakkan dari rasa bosan seseorang atas rutinitas. Sehingga selamanya fundamentalisme tidak akan mungkin kita kenali dengan baik, kecuali mengenang kerasnya fundamentalisme itu memukul sesuatu yang dianggap sebagai ”musuh”. Meski bukan berarti musuh kaum puritan waktu itu adalah feodalisme gereja dengan kelas-kelas sosial di hadapan Tuhan.
Di Indonesia, hal yang sama juga pernah terjadi. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, terjadi perpindahan agama besar-besaran di Jawa. Meski waktu itu ada perdebatan mengenai apakah rasa jengah atau patos dari walisongo yang terlalu besar sehingga perpindahan agama besar-besaran dalam waktu singkat bisa terjadi.
Salah satu pendapat mengatakan bila masyarakat Jawa waktu itu telah jengah dengan kastanisasi agama Hindu, yang waktu itu begitu kental. Kemunduran kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara waktu itu juga membawa pengaruh besar --- yang  ditandai dengan banyaknya pertumpahan darah dari perebutan kekuasaan membuat masyarakat Jawa memimpikan sesuatu yang baru. Karena agama pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah sesuatu yang politis. Sehingga ketika Islam datang di kehidupan masyarakat, maka beramai-ramailah orang berpindah agama. Dan (mungkin) saat itu setiap orang menginginkan ketenangan; menginginkan mendapat posisi yang sama di hadapan Tuhan.
Dimana-mana kasta dalam agama selalu menjadi bom waktu yang mengerikan. Ia dapat meledak kapanpun dengan berbagaimacam pemicu, dan itu bisa soal perut, atau politik. Dan sejarah-sejarah dunia selalu mengulang sesuatu yang sama. Karena perubahan keyakinan secara massal hampir tidak mungkin terjadi tanpa pertumpahan darah.
Diakui atau tidak, puritanisme mengubah wajah Amerika sebagaimana dengan tersebarnya Islam di Jawa oleh wali songo. Tapi, keduanya bercerita sama: fundamentalisme akan berseteru dengan fundamentalisme lainnya. Meski sayangnya semua itu tidak perlu terjadi bila seseorang bisa menemukan korelasi antara agama dengan fluktuasi kehidupan bermasyarakat. Karena agama adalah agama dengan berupa-rupa dogma di dalamnya. Dan kehidupan punya bahasa sendiri, termasuk kejenuhan yang tak satupun diantara kita sanggup merubah logika hidup.
Mungkin kelompok puritan di Inggris dengan masyarakat Islam di Jawa adalah sebuah pembelajaran bila keyakinan adalah sesuatu yang murni. Sehingga ketika ia (keyakinan) itu datang, seseorang akan berani mengambil pilihan-pilihan hidup. Termasuk melakukan migrasi besar-besaran agar apa yang diyakini mendapat tempat.
Yang harus kita catat adalah bila perubahan keyakinan secara massal bukan perkara yang aneh. Suka atau tidak, perubahan keyakinan akan kembali menyapa manusia sejalan dengan perputaran hidup dan kebosanan. Tapi, yang paling ditakutkan adalah ketika keyakinan dirumahkan dalam sebuah lembaga-lembaga formal di masyarakat --- dimana dalam lembaga itu politik pun ikut ambil peran --- dan membuat perubahan keyakinan secara massal sulit diterima.
Hari ini (mungkin) perpindahan ”keyakinan” dalam satu atap agama adalah konflik Sunni-Syiah di Sampang karena adanya kelompok yang telah meletakkan keyakinannya dalam lembaga-lembaga agama. Tapi, semoga saja saja saya salah mengambil contoh dan apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang saya pikirkan, amin.
Sampang, 16 Februari 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.