Laman

Sabtu, 01 Februari 2014

Demromor 2

#Pentas di Perpus UB#

Apa yang lebih menjengkelkan ketimbang melihat sebuah adegan telanjang di sebuah kampus yang agak bersih dan gemar membangun gedung dan suka membuat ramai malang dengan mahasiswa bermuka bersih setiap tahun ajaran baru. Dan yang menyesakkan adalah ketika pelakunya temanmu sendiri. Siapa dia? Ya,tidak ada yang berkelakuan seperti itu ketimbang kawan lama yang mengaku merdeka karena berani onani di sembarang tempat. Dia adalah Rori.
Kalau kamarin aku menjumpainya di warung, sekarang aku menjumpainya di perpustakaan UB. Kali ini, dia mengundang perhatian dari setiap mahasiswa jomblo yang kebetulan sedang goblok untuk menghabiskan waktunya dengan online. Tentunya ini adalah tontonan menarik, meski wajah para ”mutan” di sini terlihat jijik dengan kelakuan Rori, tapi aku percaya di sebalik muka sok jijik mereka, tersimpan sesuatu yang purba: menganggap orang (gila) sebagai hiburan.
Yang bikin aku kesal dengan manusia kemplo ini adalah ketika ia joget di depan banyak orang hanya dengan selembar kancut bergambar kartun Digimon, sembari tangannya memegang seplastik es marimas dan mulutnya kepul-kepul rokok utisan. Dia berjoget sambil berjalan ke segala arah dan jogetnya melambat dan semakin pelan ketika berjalan ke arahku sampai akhirnya ia berhenti dan duduk di hadapanku.
Kemudian ia mengacungkan tangan ke atas sambil berkata cukup lantang, ”Salaman sek, TuhanBro, biar gak salah paham dan tampak akur.” Setelah itu, ia mengajakku bersalaman dan aku sambut tangannya dengan malu-malu. Seandainya kalian semua menyaksikan senyumnya yang lebar, sudah pasti anda akan kem bali menemukan harga diri anda sebagai manusia. Tapi, mungkin tidak bagiku, karena sekarang sorot-sorot mata geli dari para intelektual UB tertuju ke mejaku. Disangkanya aku adalah bagian dari kegilaan yang sangat tidak pantas di pabrik toga ini.
”Kapan kau berhenti membikin aku malu?” kataku kesal.
Kini dia kembali mengacung-acungkan tangannya ke langit. ”TuhanBro...! Aku ini siapa? Ciptaanmu atau bukan, sih? Kenapa bandit dan sampah terminal yang telah dicuci status ’bukan penganggur’ ini sombong padaku? Kalau aku adalah bagian dari kehendakmu, sebagaimana daun-daun jatuh ketika sore mulai muram, mengapa  kawan saya yang kini terlihat necis dengan sweater hijau dan sepatu boots warna kebiru-biruan ini tidak suka aku mendatanginya?”
Nah, sudah kuduga. Hal ini yang paling kuhindari. Ketika dia sudah mulai jadi tontonan dan ngelantur seperti seorang alay yang kehilangan Bb-nya. Sekarang aku tidak bisa berkutik. Kali ini sorot-sorot mata dari para penerus bangsa ini bergantian pula ke Rori dan kepadaku.
Dancuk...! kenapa tidak menemui saya di warung saja. Kenapa kamu muncul di sini?”
Kini Rori semakin menjadi-jadi karena kata-kataku. Kalau tadi ia hanya tiduran di meja, kali ini ia berdiri di atas meja. Ia mengambil botol air mineralku untuk dijadikannya mikrophone dan mulailah ia berorasi.
”Saudara-saudara insan akademik sekalian. Lihatlah ini, manusia yang sekarang sudah berhenti menyanyikan lagu jalanan dan beralih ke Payung Teduh. Sekarang, di matanya, saya adalah sampah menjijikkan yang patut disingkirkan. Mungkin pria seperti inilah yang patut dianiaya di gudang-gudang kosong oleh tentara merah. Kesalehan intelektual macam inilah yang tidak dikehendaki di jaman Tunggulametung sunat sampai jaman ke-sengkuni-an Arya Wiraraja. Ia sudah mengingkari suara alam. Ia tidak lagi punya kemerdekaan sebagaimana bualan kosong Kontras dan konco-konconya soal HAM. Tapi, mungkin pria yang ada di bawah saya ini yang mencoret daftar saya sebagai sesuatu yang layak dilindungi HAM. Mungkin,”
Ceramah Rori terhenti. Kini ia berjongkok tepat di depanku, dan aku masih terpaku di tempat yang sama. ”Ssst, aku minta rokokmu, ya, biar ceramahku lebih bersemangat.”
Setelah ia membakar rokoknya, ia menyeruput kopi pahit yang baru kupesan dan kembali berdiri di atas meja untuk bersiap melanjutkan orasinya.
”Oya, sampai mana tadi?” tanya Rori kepada para mahasiswa yang ada di sekitarnya.
”Sampai di perlindungan HAM, mas” celetuk salah seorang mahasiswa sambil bibirnya menahan senyum dikulum.
”Oya, terimakasih. Baiklah....! Oportunisnya intelektualitas yang hanya tunduk pada baju sebagai indikator derajat kemanusiaan paling rendah inilah yang membuat RSJ tidak lagi pro aktif dalam menjaring orang macam saya ini. Mungkin mereka hanya mau menerima pasien-pasien mantan pengusaha yang stress usahanyaa gulung tikar. Dan untuk orang macam saya ini, tetap berkeliaran dan kedinginan menyusu pada air comberan. Diselimuti oleh TuhanBro sang kekasih sejatiku dengan debu jalanan. Tidakkah kalian lihat rambut saya ini sudah jadi gimbal karena tidak pernah tersentuh shampo? Ngomong-ngomong ada yang bawa shampo  sasetan? Saya minta satu.”
Kini adegan gilanya mendapat perhatian dari para mahasiswa yang sekarang sudah berkumpul untuk menyaksikan bualannya. Bahkan satpam pun yang hendak menertibkannya pun juga turut berdesak-desakan dengan para mahasiswa untuk menyaksikan hiburan langka ini.
Karena merasa mendapat tontonan, kini si Rori sudrun ini semakin bersemangat. Ia menikmati dan mengacuhkan pandangan-pandangan geli yang dialamatkan padanya. Mungkin ia merasa terkenal sekarang. Lain halnya denganku yang membatu karena terjebak dan menjadi bagian dari properti panggung bersama air mancur dan lampu kuning yang berderet rapi.
”Hey, bugil blank, katanya sampean gila, tapi kok sadar kalau gila? Berarti tidak gila donk?” timpal salah seorang penonton diikuti oleh tawa panjang lebar dari penonton.
”Huuuuuuuuu, turuuuuun turuuuun. Teaternya gak logis,” keluh dari sorak sorai penonton.
”Baik. Baik. Saya mengaku kalah. Saya mengaku dosa. Saya memang tidak gila, tapi sedang berpura-pura gila. Sebenarnya tujuan saya ini sedang menolong kalian menemukan kemanusiaan dan harga diri kalian. Ibaratkan saja saya ini munyuk, monyet yang kalian bawa-bawa keliling mall, keliling taman seperti perempuan-perempuan eropa dulu.
Bukankah dengan adanya saya tampil dengan celana dalam unyu ini agar kalian bisa tampil gagah, ganteng di mata orang lain. Bukankah seharusnya anda bersyukur karena ada yang mau berkorban untuk membuat anda berpikir bila masih ada orang yang lebih memalukan dari anda, sehingga harga diri saya saja yang terkoyak. Kalian tidak usah. Kalian tetap suci dalam kabut dan kotoran mata sebesar tong sampah dan menutupi mata kalian yang sudah lama abai dengan urusan memuliakan sesama mahluk Tuhan.”
Tak terasa, rokokku sudah tandas dihisap jelmaan patung Suku Maya ini; demit pra sejarah.
”Heh, ketimbang kau membisu sejak tadi macam kuda kayu, sebaiknya kau belikan lagi saya rokok. Biar semakin asik aku menggauli adek-adek agent of change ini,” perintahnya.
Rupanya ia menggunakan jurus andalannya. Sepertinya kata-katanya mengandung mantra kegelapan dari negeri antahbrantah. Hingga aku jadi menurut saja dan tergopoh-gopoh menuruti keinginannya. Sial benar aku hari ini. Tapi, semoga dia tidak dipukuli atlit-atlit silat kampus ini karena kata-katanya.
***
Setelah rokok terhidang di meja, ia menyuruh penonton bertepuk tangan untuk memberi apresiasi padaku. Dan hanya terlihat beberapa penonton pun mengikuti kata-katanya. Dada dan mukaku semakin lebam dihajar malu.
”Anda ini dari komunitas teater apa? Membawa ide apa? Penampilan anda payah. Berangkat dari realitas mana dan menganut madzhab apa monolog anda ini? Tapi untuk totalitas, okelah.” Tanya salah satu penonton yang dari penampialannya sepertinya salah seorang penggiat teater.
Tapi, bukan Rori namanya kalau ia tidak tersulut.
”Dengan berat hati saya katakan. Sebagai orang teater dan sebagai penoton, anda ini buruk. Mungkin anda bisa mencontoh Tuhan sebagai figure sekalugus dalang paling ampuh. Ia tak berkomentar sejak tadi. Beda denganmu, kau banyak mulut.
Dari bapakmu menjajah mamamu di malam pengantin sampai lahir pria dengan rambut menjijikan macam kau adalah peristiwa teater. Adalah realitas panggung yang real, dan Tuhan bersama seluruh staff malaikatnya untuk menonton kedunguan-kedunguan. Teater ala kadarnya ini.
Dan yang paling menyesakkan adalah: ’tanpa KB pun usaha  orang tuamu tetap lancar kan? Apa bapakmu butuh dramaturgi  sebelum resmi menikah?”
”Jangan bicara seperti itu. Saya tidak suka diskusi ini dengan cara melecehkan orang tua saya dengan kata-kata macam itu,”
Tiba-tiba Rori diam sejenak lalu tertawa keras sekali.
”Bagaimana kalau kau berkemas dan kita kabur dari obrolan ini.”
”Apa maksudmu?”
”Tenang saja, aku sebenarnya hanya ingin memancing mereka agar marah. Kan lucu kalau seperti ini.”
Duh Gusti kenapa mahluk satu ini bisa muncul dan menggangu hidup saya macam ini.
---dilanjutmene---

Malang, 1 Februari 2014
Cdv_t
   

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.